Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia; maka barang siapa yang mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganku; dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Ibrahim: 35-36)
Ditengarai, ayat di atas merekam doa Nabi Ibrahim sejurus setelah meninggalkan istrinya, Siti Hajar, di sebuah lembah gersang di tanah Arab. Untuk diketahui, Siti Hajar adalah perempuan yang belakangan dinikahi Ibrahim (kelak, melahirkan Ismail), menyusul pengembaraannya ke Mesir bersama saudaranya, Luth, dan istri pertama Ibrahim, Siti Sarah.
Di Mesir, Ibrahim berhadapan dengan Firaun. Aura Sarah ternyata memikat Firaun. Ibrahim pun tanggap situasi macam apa yang hendak ia jumpai jika berterus terang perihal Sarah. Kepada Firaun, Ibrahim bilang bahwa Sarah adalah saudara perempuannya.
Tentu saja, situasinya tidak sesederhana itu. Sebuah kisah dalam rekaman Imam Bukhari menyebut jika Firaun sempat berupaya untuk menggoda Sarah. Tapi Sarah bukan orang biasa. Kesalehannya sundul langit. Setiap terbesit upaya upaya menggoda, di saat itulah tangan Firaun lumpuh. Ini berlangsung tiga kali. Dan, tiga kali itu pula Firaun memohon ampun sehingga tanggannya kembali normal. Walhasil, Firaun menyerah, tapi meminta agar Ibrahim dan Sarah meninggalkan Mesir. Oleh Firaun, Ibrahim dibekali pesangon dan seorang pelayan kerajaan bernama Siti Hajar.
Rombongan Ibrahim kemudian bertolak ke Palestina. Kini, dia tak lagi muda, jika ditakar dengan usia umat Nabi Muhammad. Di usia 83-an, Ibrahim telah mapan secara ekonomi. Demikian halnya Luth, keponakannya. Keduanya berkelimpahan aset dan ternak.
Walakin, masalah materialisme tetaplah sama. Toerstein Veblen (1899) dalam The Theory of the Leisure Class menyebut jika konsumerisme menciptakan kompetisi liar yang seolah mengharuskan setiap orang memiliki barang secara berlebih. Maka, terjadilah alienasi. Tentu saja, dinamika yang bergemuruh dalam rumah tangga Ibrahim dan Luth tidak bisa kita interpretasikan sesederhana itu. Yang jelas, kepemilikian berlebih itu berpotensi menciptakan keterasingan di antara keduanya.
Poinnya, derita memang bisa mereka tanggung, tapi kelimpahan harta rupanya telah menjadi alasan keduanya berpisah. Sekiranya 40 tahunan keduanya bersama-sama menegakkan kalimat Allah. Tapi kali ini adalah waktu yang tepat untuk berpisah. Maka, Luth memilih bermukim di bilangan sungai Yordan, sedangkan Ibrahim memantapkan pilihan untuk tinggal di Palestina, bersama keluarganya.
Belakangan, Siti Sarah meminta Ibrahim agar menikahi Hajar. Motifnya bisa diduga, Pasutri itu ingin berketurunan, sedangkan rahim Sarah barangkali sedang berhalangan. Dan, ya, Siti Hajar pun mengandung bayi Ibrahim. Betapapun, situasi ini jelas bikin rumah tangga kikuk.
Relasi kuasa yang tidak seimbang antara Hajar dan Sarah semakin membuat Ibrahim galau. Di satu pihak, Sarah merasa lebih senior, tapi sekaligus insecure karena tidak mengandung bayinya Ibrahim. Sementara itu, Hajar yang notabene adalah eks pelayan istana Firaun jelas-jelas menjadi peluang bagi Ibrahim untuk meneruskan generasi.
Walhasil, gerah dengan situasi rumah, Siti Hajar memancangkan niat untuk pergi. Ditengarai, Hajar bertekad menuju Negeb, membawa jabang bayi yang sedang dikandungnya. Saat itu belum ada angkot, apalagi Ojol. Maka, Siti Hajar membekali diri dengan sabuk yang, konon, sengaja diseret untuk menghapus jejaknya.
Perasaan Hajar jelas campur aduk. Tapi ini tidak berkepanjangan, sampai malaikat turun dan mengabarkan kepada Hajar bahwa masa depannya telah dijamin oleh Tuhan. Lebih dari itu, malaikat menggaransi bilamana anak yang dikandung Hajar adalah serupa dengan bapaknya, mengemban amanah sebagai penerus ajaran Tauhid. Kini, Siti Hajar menjadi lebih rileks lalu memutuskan untuk kembali ke rumah Ibrahim. Siti Sarah barangkali merasa bersalah, dan overthingking yang menyelimuti Ibrahim pun berubah menjadi ketenteraman.
Hanya saja, situasinya mungkin jauh lebih dramatis. Kendati malaikat sudah turun tangan mendinginkan suasana, dunia manusia sungguhlah kelewat rumit. Keduanya masih sulit untuk menerima satu sama lain. Bedanya, Siti Hajar sekarang sudah mantap beriman kepada Tuhan Yang Esa. Perjumpaannya dengan malaikat menitih keyakinan utuhnya tentang derita dan ujian. Kelak, keteguhan iman Siti Hajar ini menjadi ibroh teragung bagi umat-umat berikutnya.
Dan, wahyu Tuhan pun kembali turun. Kali ini titahnya adalah agar Ibrahim membawa Hajar bersama putranya, Ismail, ke sebuah tanah yang akan menjadi kenangan abadi, Mekah. Namun, sekali lagi, Nabi Ibrahim menghadapi situasi dilema. Lintasan waktu membuatnya tak bisa mengelak dari kekuatan perintah bahwa Ibrahim harus meninggalkan Hajar dan Ismail di sana.
Maka, di detik-detik perpisahan, Nabi Ibrahim merapal doa pamungkas seperti di awal tulisan ini. Meski begitu, ia bukan saja sebatas doa, tetapi juga sebuah warta yang cukup tegas mendedahkan bahwa syariat Nabi Ibrahim relatif kalem ketimbang Nuh. Kelak, tradisi inilah yang diikuti Nabi Muhammad jika menjumpai perkara yang bersifat skandal, atau dosa sosial, atau kemaksiatan. Pokoknya, empati harga mati!!
Meski begitu, Nabi Muhammad terkadang menerapkan apa yang telah diteladankan pendahulunya, Isa. Menjumpai perkara abu-abu, atau sesuatu yang sangat pelik, Nabi Isa relatif netral, atau memilih tidak intervensi (Q.S. al-Maidah: 118). Kapan-kapan kita bahas, insyaAllah…