Membincang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan merupakan hal yang selalu menarik untuk diketengahkan. Karena wacana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan isu yang terus berkembang sepanjang zaman. Tidak sedikit para pemikir dan tokoh agama yang kemudian merumuskan kesetaran antara laki-laki dan perempuan tersebut tersebut.
Perbincangan isu gender dalam Islam merupakan hal yang sudah lama dibahas, setidaknya bagi kaum apologetik (Kaum yang secara sisteamtis mempertahankan suatu ajaran) menurut sebagian besar dari mereka, wacana gender merupakan hasil atau buah dari proyek modernitas Barat yang haram diadopsi ke dunia Islam. Argumen Mereka adalah jauh sebelum dunia Barat giat mempropagandakan isu kesetaraan gender, sebelum itu Islam sudah terlebih dahulu mengatur perihal hak dan kewajiban perempuan.
Dari sejarah kita bisa melihat bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang datang dengan mengusung keadilan dan kesetaraan sesama manusia dengan konsep tauhidnya. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Islam lah yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dari posisi rendahnya pada zaman jahiliyah. Kedatangan Islam memberikan pengaruh yang signifikan bagi bergesernya budaya patriarki masyarakat Arab pada waktu itu, dengan perlahan Islam mereformasi sistem sosial masyarakat Arab menuju ke arah yang lebih manusiawi.
Meski demikian, Jika melihat kondisi dunia Islam hari ini nampaknya masih jauh dari ideal, utamanya berkaitan dengan hak-hak perempuan. Tidak bisa diingkai bahwa praktik-praktik penistaan nilai-nilai kemanusiaan terhadap perempuan masih terjadi di dunia Islam hingga saat ini. Kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, pembatasan hak perempuan untuk berkiprah di ruang publik dan marginalisasi perempuan secara sistemik merupakan fenomena yang marak terjadi di negara-negara Islam.
Paradigma berpikir masyarakat yang cenderung patriarkis, kebijakan negara yang juga tidak mengakomodir dan adaptif terhadap kepentingan perempuan, sistem ekonomi global yang dirancang untuk abai pada perempuan, ditambah dengan tafsir keagamaan yang seolah memberikan legitimasi atas hal tersebut, telah membentuk sistem yang mengebiri hak-hak perempuan.
Adanya budaya patriarki dalam masyarakat telah menempatkan perempuan pada ranah yang marginal dan menjadikan perempuan sebagai sumber fitnah yang makna dasarnya adalah cobaan atau ujian. Namun artian fitnah kini telah beralih makna menjadi sumber kekacauan dan kerusakan sosial. Dengan budaya dan pandangan tersebut kemudian muncul subordinasi laki-laki atas hak-hak perempuan, karena perempuan dianggap sebagai sumber fitnah. Ini juga merupakan stereotipe terhadap perempuan yang mendapatkan pembenaran dari teks-teks keagamaan. Sebagaimana Nabi pernah bersabda “Aku tidak meninggalkan, sesudahku satu fitnah yang lebih membahayakan laki-laki daripada kaum perempuan”
Pemikiran Bias Gender di Masyarakat
Pemahaman tentang makna gender pada dasarnya semua merujuk pada satu tafsiran bahwa gender adalah istilah yang dipakai untuk membedakan laki-laki dan perempuan, berdasar perannya dalam struktur sosial masyarakat. Dalam konteks ini, gender memiliki makna yang jauh berbeda dengan sex. Istilah sex merujuk pada pengertian pembedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dari sudut pandang biologis. Identitas fisik yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai konsekuensi biologis yang disandangnya merupakan kodrat alam (nature). sedangkan, karakter atau sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang gender lebih banyak dimunculkan oleh pandangan konstruktif masyarakat (nurture).
Pada saatnya, konsep pembedaan gender tersebut melahirkan ketidakadilan gender. Perempuan merupakan pihak yang sering menjadi korban dari lahirnya ketidakadilan gender ini, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki juga bisa menjadi korban. Namun dalam lintasan sejarah dan fakta sosial menunjukkab bahwa pihak perempuan lah yang selalu menjadi korban. Mansour Fakih, mengidentifikasi ketimpangan gender ke dalam lima bentuk. Pertama, kekerasan (violence) terhadap perempuan. Kondisi fisik sebagian besar perempuan yang cenderung lebih lemah tenimbang laki-laki membuat perempuan berpotensi menjadi korban kekerasan. Kekerasan dalam konteks ini bisa berwujud kekerasan fisik, seksual maupun psikologis. Kedua, marginalisasi atau pemiskinan terhadap perempuan. Seringkali, kebijakan baik itu di ranah domestik maupun publik disadari atau tidak telah meminggirkan kaum perempuan.
Permasalahan yang komplek terkait bias gender di masyarakat adalah dengan pemahaman substansi tauhid, yakni dengan mengesakan Tuhan dan dalam arti setiap individu merupakan manusia yang bebas dari segala belenggu, begitu juga belenggu manusia atas manusia. Jadi manusia bebas dari segala macam belenggu dan perbudakan dari benda-benda keduniawian dengan tujuan hanya mengesakan Tuhan. Tauhid dalam doktrin agamanya telah memberikan prinsip persamaan dan kesetaraan manusia. Sebab banyak ayat al-Qur’an menyebutkan keadilan menjadi prinsip yang harus ditegakkan dalam seluruh tatanan kehidupan manusia, baik dalam tatanan personal, keluarga, dan sosial.
Agama Islam telah memberikan otonomi kepada kaum perempuan sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur’an maupun Hadis. Hal Ini merupakan peluang bagi kaum perempuan untuk memainkan peran pada ranah publik, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan kebangsaan. Namun yang perlu diingat bahwa dengan diberikannya peluang dalam berbagai peran publik tetap harus kembali pada tujuan utama dari tauhid yakni ketakwaan dan menjalankan amal saleh.
Pada dasarnya perempuan dan laki-laki adalah sama di hadapan Tuhan sebagai hamba, tidak ada yang lebih unggul sala satu dari keduanya kecuali berdasarkan ketakwaanya, sehingga anggapan perempuan adalah manusia kelas dua dan hanya boleh berada di ranah domestik adalah tidak benar. Perempuan juga mempunyai kontribusi menjadi khalîfah di muka bumi dan juga sama-sama memiliki tugas untuk amar ma‘ruf nahi munkar. Perempuan dapat menentukan jalan mana yang ingin dipilih baik di ranah domestic (menjadi ibu rumah tangga) atau mengembangkan potensinya menjadi wanita karir di ranah publik.