Ribet banget, ya, untuk menentukan masuknya bulan puasa (dan lebaran), harus lihat bulan dulu dan diadakan sidang isbat. Kan, sudah ada kalender Hijriyyah? Kenapa tidak mengikuti kalender saja?
Tidak seperti kalender masehi yang jumlah hari dalam bulannya sudah pasti, tiap-tiap bulan di penanggalan Hijriyyah bisa 29 hari atau 30 hari. Tanggal 1 jatuh ketika sudah terlihat bulan sabit setelah lewatnya bulan purnama.
Tahun Hijriyyah dimulai ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah. Inilah asal muasal nama Hijriyyah. Tahun Hijriyyah juga bisa disebut tahun Qomariyyah. Nama Qomariyah diambil karena mengikuti siklus bulan. Oleh karena itu, dalam kalender Hijriyyah, hari dimulai pada waktu Maghrib.
Baca juga: Cara Rasulullah Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan
Karena puasa dan lebaran dilaksanakan sejak tanggal 1, maka rukyat al-hilal (melihat bulan sabit) harus dilakukan, untuk menentukan apakah Bulan Sya’ban dan Ramadan itu 29 atau 30 hari.
Bagaimana jika bulan tidak bisa terlihat karena mendung? Jika begitu, maka jumlah hari dalam sebulan akan digenapkan menjadi 30. Bagaimana dengan penanggalan kalender Hijriyyah yang bisa kita akses? Penanggalan kalender menggunakan metode hisab (perhitungan), yaitu menentukan penanggalan di masa depan dengan melihat pola penanggalan di tahun-tahun yang sudah lampau.
Nah, kadang hari pertama puasa dan hari lebaran suka ada yang beda, kan? Itu karena ada yang menggunakan metode rukyah al-hilal dan ada yang menggunakan metode hisab. Yang menggunakan metode hisab sudah menentukan dengan pasti kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadan atau tanggal 1 Syawwal. Sedangkan sidang isbat dilakukan setelah hisab dan rukyah dilaksanakan.
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلَّا أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُمْ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Rasulullah ﷺ bersabda, “Jumlah hari dalam sebulan itu adalah dua puluh sembilan malam. Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal (bulan sabit), dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihat bulan (terbit) kembali. Dan jika hilal itu tertutup dari pandangan kalian, maka genapkan harinya menjadi 30 malam.”
Dengan teknologi yang tersedia di Indonesia masa kini, rukyah al-hilal dilakukan di beberapa tempat yang strategis untuk melihat bulan dengan menggunakan teropong, atau dilakukan Observatorium Bosscha dan akan diumumkan melalui sidang isbat (isbat secara harfiah berarti penetapan).
Pada abad 17, para astronomer pada masa kesultanan Usmani juga sudah mulai mengobservasi langit di malam akhir bulan Sy’ban atau Ramadan untuk melihat hilal. Bagaimana dengan rukyah al-hilal pada masa Nabi SAW?
Ketika Nabi SAW masih hidup, rukyah al-hilal dilakukan dengan mata telanjang. Kawasan Arabia yang cendering cuacanya kering yang menyebabkan tidak banyak awan dan kabut di langit, sehingga memungkinkan untuk melihat bulan dan bintang-bintang dengan jelas. rukyah al-hilal juga dilakukan untuk menentukan masuknya bulan haji, yaitu bulan Dzulhijjah.
Baca juga: Menyambut Penghulu Bulan dalam Kalender Islam
Memperhatikan langit malam merupakan tradisi yang biasa dilakukan orang Arab terutama petani dan musafir. Sebelum adanya kalendar Hijriyyah, bangsa Arab sudah memiliki penanggalan yang juga didasarkan dari siklus bulan untuk kebutuhan agrikultur: mengetahui kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam dan kapan waktu yang tepat untuk panen.
Sedangkan bagi para musafir, penanggalan mereka lebih condong kepada pola posisi bintang-bintang (zodiak) untuk memudahkan mereka menentukan arah ketika dalam perjalanan agar tidak tersesat.
Langit malam juga seringkali menjadi inspirasi para penyair. Bersyair adalah seni yang dihormati di kalangan bangsa Arab saat itu. Bukankah menarik bahwa banyak petunjuk bagi manusia tersimpan di langit? Tinggal bagian kita, apakah kita mau memperhatikan? (AN)