Apakah betul Islam mengajarkan kekerasan dan kebencian? Mengapa banyak aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam? Sam mengajukan pertanyaan tersebut setelah membaca berita dari BBC UK tiga hari lalu: “Indonesia bombing: Worshippers wounded in Makassar church attack”. Nama lengkapnya Samuel Babade. Dia teman satu flat yang berasal dari Tanzania. Sam penganut Kristen. Saya adalah seorang muslim.
Seperti tak ada habisnya. Kali ini, Mabes Polri menjadi sasaran serangan teror (31/3/2021). Dari informasi yang dikumpulkan sejauh ini, teroris merupakan simpatisan ISIS. Sebelumnya, pasangan suami istri yang merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) juga melakukan bom bunuh diri pada hari Minggu di Gereja Katedral Makassar (28/3/2021). Nampaknya, iming-iming surga telah menjadi sumber militansi dalam beragama.
Akar Terorisme
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Institute for Economics and Peace (2020) terkait masalah Global Peace Index (GPI) dan Global Terrorism Index (GTI), fakta menunjukan tingkat perdamaian paling rendah dan tingkat terorisme tertinggi memang berada di negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Baca juga: Kenapa Aksi Terorisme Terus Terjadi?
Dalam masalah GPI misalnya, enam peringkat terbawah dalam hal negara paling tidak damai (the least peaceful country) ditempati oleh Somalia (158), Yaman (159), Sudan (160), Iraq (161), Suriah (162), dan Afghanistan (163), sedangkan negara paling damai (the most peaceful country) masih ditempati oleh Islandia (1). Berdasarkan data GTI (2020), tingkat aksi terorisme tertinggi ditempati oleh Afghanistan (1), Iraq (2), Nigeria (3), Suriah (4), dan Somalia (5).
Coba pikirkan. Mengapa terorisme tidak didominasi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, Buddha, Hindu, Yahudi, dan lainnya? Adakah yang salah dengan ajaran Islam?
Beberapa studi yang dilakukan Sageman (2004), Moghaddam (2005), Morley et al. (2006), Abrahms (2008), Nelson-Pallmeyer (2015), Ali dan Li (2016), Hoffman (2017), dan Höflinger (2020) mengungkapkan ada banyak faktor yang melatarbelakangi terorisme seperti jaringan pertemanan, lingkungan, ketidakadilan, balas dendam, sosial, solidaritas, perubahan politik, psikologi, ekonomi, ideologi, dan lainnya.
Namun, ideologi kekerasan bisa menjadi faktor utama seseorang untuk melakukan aksi terorisme. Misalnya, di dalam sejarah Islam ada sebuah doktrin atau pemahaman keagamaan yang skripturalis dan literalis. Pemahaman ini akan berpotensi besar melahirkan kekerasan dan terorisme.
Paham ini mengabaikan substansi dan kontekstualisasi keagamaan, sehingga terpenjara oleh teks, dogma, dan simbolisme keagamaan. Dalam pandangan al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer dari Maroko, pandangan semacam ini tergolong ke dalam nalar bayani, sebuah pemahaman yang sangat tekstual, yakni ketika teks menjadi rujukan paling ideal. Menurutnya, konsekuensi dari pemahaman yang bercorak tekstual seperti ini akan membawa para pengikutnya menjadi individu yang eksklusif dan mudah mengkafirkan yang lain (takfiri), sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk menerima yang lain (the other), dan segala hal yang baru (al-far). Pendangkalan agama semacan inilah yang menjadi akar dari terorisme.
Baca juga: Wajah Islam Indonesia di Mata Publik Internasional
Sebagai contoh, ayat-ayat seperti QS 2:190-193, QS 2: 216-217, QS 8:39, QS 9:5, QS 9:14, QS 9:73, QS 9:123, QS 47:4, jika dipahami secara skripturalis akan sangat berbahaya dan menjadi sumber masalah. Ayat-ayat ini biasanya menjadi justifikasi bagi kelompok teroris serta kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya untuk melakukan serangkaian aksi kekerasan dan terorisme atas nama agama. Padahal, jika kita telaah melalui konteks kesejarahan (asbab al-nuzul), beberapa ayat-ayat perang tersebut hadir untuk merespon konflik politik dan sosial yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan bukan berasal dari masalah agama. Namun, sekarang seolah-olah ayat-ayat perang tersebut telah dijadikan legitimasi dan bahan bakar untuk melakukan kekerasan, kebencian, dan permusuhan.
Melawan Terorisme
Terorisme berawal dari rasa benci. Memberantas terorisme sama halnya seperti kita mematikan sebuah pohon, jika kita hanya memotong batang dan mencabut daun-daunnya saja, tanpa kita fokus mematikan akarnya, pohon akan tumbuh kembali, baik batang, daun, dan bahkan buahnya. Apalagi, jika didukung oleh lingkungan yang baik, tanah yang subur, dan pupuk yang bagus. Pohon pasti akan berdaun lebat dan berbuah banyak.
Begitu halnya dengan terorisme. Jika kita hanya fokus melakukan sosialisasi terkait bahayanya terorisme, deradikalisasi, penggrebekan teroris, membentuk duta damai, dan memperkuat tim densus antiteror, hal ini mungkin tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Karena hal ini tidak menyentuh akar persoalan. Padahal, secara tidak sadar kita seringkali menjumpai akar-akar atau cikal bakal terorisme di sekeliling kita.
Misalnya, apakah kalian pernah mendengar ceramah-ceramah pemuka agama di youtube, pengajian, media sosial, ataupun khatib Jumat yang mengobarkan kebencian satu sama lain? Apakah pernah mendapat broadcast message dari teman atau saudara yang bernada kebencian? Hanya berbekal satu-dua ayat mereka mudah sekali mencap orang lain masuk neraka, sesat, kafir, dan halal darahnya. Hal tersebut merupakan benih-benih terorisme.
Ada beberapa cara yang bisa kita tempuh untuk melawan terorisme. Pertama, melawan terorisme harus dimulai dari diri sendiri. Kita harus memeriksa dan mempertanyakan ulang corak pemahaman keagamaan kita sekarang seperti apa. Sebagai contoh, apakah Islam yang kita pahami sekarang sudah berorientasi ke ajaran cinta kasih atau ada benih-benih kebencian dan klaim merasa paling benar? Jika masih ada kebencian, sudah saatnya kita diskusi, bergaul, dan memperbanyak teman yang berbeda agama atau kepercayaan. Diskusi bukan berarti mencari siapa yang paling benar, tapi mencari titik temu (kalimatun sawa).
Baca juga: Bolehkah Mengajarkan Al-Quran kepada Non-Muslim
Kedua, jika sekarang kita diajarkan oleh pemuka agama, guru atau teman yang mengajarkan kebencian dan kekerasan, jika tidak bisa diajak diskusi secara rasional, tinggalkanlah. Baiknya kita segera mencari pengajian dan lingkungan pertemanan baru yang lebih mengedepankan ajaran cinta kasih, perdamaian, dan lainnya.
Ketiga, diperlukan sebuah penafsiran yang humanistik dan inklusif, yang mengedepankan nilai-nilai universal dalam Al-Qur’an seperti kemanusiaan, toleransi, kesetaraan, persaudaraan, cinta kasih dan perdamaian. Hal ini penting agar Al-Qur’an tidak dijadikan justifikasi untuk melakukan kekerasan dan terorisme.
Keempat, membaca ulang secara kritis sejarah Nabi Muhammad. Kita akan mendapatkan contoh langsung semangat keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, dan kebebasan. Dalam hubungan toleransi misalnya, dalam kitab at-Tabaqat al-Kabir karya Ibnu Sa’d, pada tahun 10 hijriah, Nabi pernah memperkenankan sekelompok Nasrani dari Najran untuk mengadakan kebaktian di masjid beliau. Bayangkan. Apa yang akan terjadi jika itu terjadi hari ini? Sayangnya, kisah-kisah seperti ini jarang kita dengarkan. Kita harus lebih sering membicarakan praktik toleransi yang sudah diajarkan Nabi Muhammad. Sebanyak-banyaknya. Sekencang-kencangnya.
Kelima, toleransi itu tidak cukup hanya diajarkan tapi harus dirasakan dan diteladankan. Keteladanan ini harus dimulai dari lingkungan terkecil: keluarga. Ada baiknya orang tua meneladankan bentuk toleransi sejak anak masih kecil seperti mengucapkan selamat dan silaturahmi ke keluarga atau teman yang sedang merayakan hari raya keagamaannya. Selain itu, keteladanan dari guru-guru di sekolah dan pemerintah harus terus dilakukan. Perlu ada kolaborasi dan sinergi antara banyak pihak. Sebagai bentuk keteladanan, negara juga perlu hadir untuk memastikan hak-hak Ahmadiyah, Syiah, GKI Yasmin, dan lainnya.
Keenam, kampanye pesan-pesan perdamaian di media sosial harus terus dilakukan. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga harus lebih berperan aktif untuk mempromosikan Islam yang penuh kedamaian, toleransi, dan cinta kasih. Bukan hanya sibuk mengurus fatwa halal haram vaksin atau fatwa-fatwa diskriminatif yang bisa menyulut api kebencian.
Sudah lama citra Islam sebagai agama perdamaian terkikis oleh ideologi kekerasan. Mereka telah merusak, merobek, dan membajak citra Islam. Kita harus mengakui fakta bahwa teroris itu punya agama. Apakah berarti Islam mengajarkan terorisme? Tidak. Hal ini karena teroris keliru dan sepotong-potong dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Oleh karena itu, kita harus bisa mengembalikan fungsi agama Islam sebagai rahmatan lil’ alamin. Kita harus bisa menyelamatkan Islam dari sebagian muslim yang terpapar ajaran kekerasan. Saya percaya kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, bukan untuk saling membunuh. “Donny, saya percaya ujung pangkal setiap agama adalah kemanusiaan bukan kekerasan,” kata Sam.
Itu kesimpulan Sam. Sebagaimana Sam, saya juga meyakininya. (AN)