Di masa pandemi covid 19 ini, banyak orang menanti solusi medis untuk segera keluar dari wabah mengganggu ini. Di antaranya adalah ikhtiar vaksinasi. Lalu, Apa vaksinnya? Muncullah nama vaksin AstraZeneca.
MUI Pusat dengan penelitian kolaborasinya, antara ahli agama dan peneliti obat-obatan menyatakan bahwa hukum vaksin AstraZeneca SK Biosciences Co .Ltd Andong Korea Selatan adalah HARAM karena dalam tahapan produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari Babi. Kendati demikian, MUI Pusat membolehkan penggunaan vaksin ini dengan alasan darurat dan amat dibutuhkan (dharurah syar’iyyah).
Berbeda dengan MUI Pusat, Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Jawa Timur dengan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) dan para penelitinya berfatwa bahwa vaksin AstraZeneca halal dan suci dengan alasan istihalah (keberubahan). Bahkan, para kiai di Jawa Timur akan menggelar vaksinasi AstraZeca secara berjamaah.
Titik persoalan dari dua perbedaan pendapat ini adalah cara pandang tentang enzim Tripsin. Konon, enzim Tripsin ini lazim dipakai sebagai katalisator dalam proses biokimia di laboratorium. Fungsinya, katanya, sebagai aplikasi untuk melepas sel virus, yang kemudian dikembangkan menjadi vaksin. Walaupun demikian, terkait enzim Tripsin dalam vaksin AstraZeneca masih perlu diteliti lebih dalam lagi.
Jadi kira-kira dalamm bahasa sederhananya, menurut MUI Pusat “Vaksin ini mengandung unsur babi”, sedangkan, bagi LBM PWNU Jawa Timur “Sudah terjadi istihalah/perubahan (fregmentasi sifat-bentuk/tertransformasi), sehingga vaksin ini sudah tidak dianggap ber-babi, maka terbilang suci dan halal.”
Baca juga: Hukum Vaksin dan Fatwa MUI yang Perlu Dicermati
Konsep berfikir istihalah ini memang ada di khazanah fikih Islam. Istihalah artinya berubah (at-taghayyur) dan keterbalikan (al-inqilab) dari satu kondisi ke kondisi yang lain, dari satu tabiat atau sifat ke tabiat atau sifat yg lain. Tetapi, persoalannya terletak pada hal pemicu keberubahan tersebut.
Ini asal-mulanya didasarkan pada perdebatan-pikir prihal cuka (vinegar) dari khamr (sejenis arak/minuman keras). Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 19 dan surat al-Maidah ayat 90-91, disimpulkan bahwa khamr itu haram. Akan tetapi, dalam hadis Nabi riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa;
نِعْمَ الْإِدَامُ الْخَلّ
Sebaik-baik lauk ialah cuka.
Kemudian, pada riwayat lain yang juga dari Imam Muslim dan Imam At Tirmidzi didapati;
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي اللّه عنه قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم عَنِ الخَمْرِ : تُتّخَذُ خَلاًّ ؟ فقال : لا
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang Khamr, yang diprosesi sebagai cuka (agar berguna)? Beliau menjawab,”Tidak boleh.”
Begitu pula, hadis riwayat Abu Dawud dalam Sunanya;
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَيْتَامٍ وَرِثُوا خَمْرًا قَالَ « أَهْرِقْهَا ». قَالَ أَفَلاَ أَجْعَلُهَا خَلاًّ قَالَ « لاَ »
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Thalhah pernah bertanya pada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengenai anak yatim yang diwarisi Khamr. Lantas Beliau katakan, “Musnahkan Khamr tersebut.” Lalu Abu Thalhah bertanya, “Bolehkah aku mengolahnya menjadi cuka?” Nabi menjawab; “Tidak boleh.”
Dari ayat dan riwayat-riwayat tersebut di atas, muncullah konsep Istihalah (keberubahan-keterbalikan), yaitu;
Pertama, at-Takhallul, yaitu; keberubahan-ketebalikan khamr menjadi cuka oleh pemicu alamiah (berubah dengan sendirinya). Maka, hal ini disepakati seluruh ulama Islam bahwa cuka tersebut suci dan halal, berdasarkan hadis “ni’mal idaam al kholl” (Sebaik-baik lauk adalah cuka).
Kemudian, hal ini dianalogikan (diqiyaskan) dengan hal-hal lain. Misalnya, darah yang terfregmentasi alamiah menjadi susu ibu bagi bayinya, sperma yang menjadi segumpal darah atau daging lalu menjadi mahluk hidup, bangkai yang terfregmentasi di laut berkadar garam tinggi hingga menyatu jadi garam, kayu yang terpapar najis kemudian terbakar menjadi Abu, kotoran hewan yang terfregmentasi alamiah menjadi debu, maka debunya suci untuk tayamum, begitu pula ikan Lele yang biasa makan kotoran manusia kemudian menjadi berdaging banyak dan gemuk, maka lele itu dihukumi halal dan suci, dan lain sebagainya.
Kedua, at-Takhlil, keberubahan-ketebalikan khamr menjadi cuka oleh pemicu non-alamiah (sebab rekayasa dan campur-tangan manusia). Lalu, apakah cuka ini suci dan halal? Nah, dalam hal ini, Ulama berbeda pandangan;
Pertama, Imam An-Nawawi dalam kitabnya al Majmu Syarh al Muhadzdzab mengatakan;
فالتخليل عندنا وعند الأكثرين حرام، فلو فعله فصار خلا لم يطهر.
Menurut kami (Madzhab Syafi’i) dan banyak Ulama, bahwa At-Takhlil (rekayasa Khamr menjadi Cuka) adalah Haram. Kalau ia melakukannya (prosesi takhlil) lalu menjadi cuka, maka cuka itu tidak suci (tidak halal).
Kemudian di halaman berikutnya, Imam Nawawi menegaskan kembali bahwa:
وأما إذ خللت بوضع شيء فيها، فمذهبنا أنها لا تطهر، وبه قال أحمد والأكثرون
Khamr yang berproses menjadi cuka dengan cara menabur sesuatu di dalamnya (rekayasa manusia), Maka Madzhab kami (Madzhab Syafii) menyatakan bahwa cuka tersebut tidak suci (tidak halal). Pandangan ini juga dipegang oleh Imam Ahmad dan juga banyak ulama.
Pandangan ini dasarkan pada dua hadis di atas, yaitu; (a) hadis riwayat Muslim dan Timidzi dari sahabat Anas ibn Malik. (b) hadis Abu Dawud dalam Sunannya perihal pertanyaan sahabat Abu Talhah. Dua hadis ini (dan atau yang semakna dengannya) kemudian dikompromikan (al-jam’u) dengan hadis “ni’mal idaam al khall“. Sehingga bisa diambil kesimpulan makna seperti berikut: untuk “ni’mal idaam al kholl” (sebaik-baik lauk adalah cuka) itu maksudnya keberubahan/fregmentasi (istihalah) Alamiah, sementara maksud dua hadis setelahnya adalah pelarangan untuk keberubahan (istihalah) non-alamiah (rekayasa manusia).
Baca juga: Vaksin Measle-Rubella Menurut Kaidah Fiqih, Ushul Fiqih, Akidah, dan Tasawuf
Kedua, Imam Ala’ud Dien al Kasani (ulama madzhab Hanafi) dalam Bada’iu As Shana’i’ Fi Tartibis Syara’i’ mengatakan;
فأما إذا خللها صاحبها بعلاج من خل أو ملح أو غيرهما، فالتخليل جائز، والخل حلال عندنا”.
Adapun khamr yg diprosesi jadi cuka dengan rekayasa melalui campuran garam atau lainnya (misalnya), maka at-Takhlil semacam ini hukumnya boleh dan cuka tersebut hukumnya halal (suci). Ini menurut kami ( Madzhab Hanafi).
Pandangan ini jg diikuti oleh Madzhab Adz Dzahiri sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibn Hazm dalam kitabnya Al Muhalla, juga diikuti oleh Imam Ats Tsauriy, Imam Al Auza’iy, dan Imam Al Laits ibn Sa’d. Lihat Imam Al Qurtubi dalam Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an
Imam Ibn Qudamah dalam Al Mughni juga meriwayatkan bahwa Imam Abul al Khatab al- Hanbali menyatakan, sekelompok ulama dari Madzhab Hanbali juga ada yang berpandangan semacam ini.
Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi riwayat Imam Muslim di atas yang menyatakan bhwa “ni’mal idaam al khall”. Ini berlaku umum, baik prosesinya alamiah maupun non-alamiah (rekayasa). Adapun soal, dua hadis berikutnya, bagi kelompok ini, maknanya adalah “hanya ekspresi pelarangan keras dan pencabutan keras-tegas dari Nabi atas kebiasaan terikat dgn Khamr-nya orang-orang Arab saat itu saja, bukan soal prosesi keberubahan.”
Dari konsep Istihalah, khususnya terfokus pada At-Takhlil(keberubahan/istihalah non-alamiah) ini, didapati cara pandang yang berbeda antara MUI Pusat dan LBM PWNU Jatim tentang Enzim Tripsin (dari Babi).
Sehingga, dalam hal ini disimpulkan bahwa MUI Pusat lebih condong dengan pandangan At-Takhlil, yaitu prosesi vaksin seperti ini merupakan prosesi rekayasa manusia, dan tidak suci (najis dan mengandung unsur babi). Sepertinya, MUI Pusat berpegang pada Statemen kelompok pertama yang dipresentasikan oleh Imam Nawawi dari Madzhab Syafi’i.
Sedangkan, LBM PWNU Jatim sepertinya berpandangan bahwa AstraZeneca ini memang At-Takhlil, non-alamiah karena campur tangan manusia, dan dihukumi suci dan halal dengan berpegang pada argumen kelompok kedua, yang dipresentasikan oleh Imam al Kasani dari Madzhab Hanafi. Namun, uniknya, dalam presentasinya LBM menggunakan contohnya konsep At-Takhallul (istihalah/prosesi keberubahan yang alamiah).
Kendati demikian, baik MUI Pusat maùpun LBM PWNU Jatim sepakat bahwa pemerintah diminta untuk mengadakan vaksin yang jelas halal dan sucinya, berpedoman pada sabda Nabi:
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِهِ
Orang yang menjaga diri dari perkara-perkara samar (syubhat) tersebut, maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. (H.R. Al Bukhari dalam Sahihnya dan Muslim dalam Sahihnya).
Jadi, perdebatan terkait kehalalan vaksin AstraZeneca ini adalah perdebatan ilmu. Murni ilmu. Janganlah termakan hoaks dan halusinasi cocoklogi di luar Ilmu Syariah. Semoga, Perdebatan ilmu semacam ini menjadikan kita makin dewasa dalam memandang dan makin ‘luas-dada’ kita, sehingga terlihat indah dan barakah.
Wallahu’alam bis shawab