Belajar adalah suatu keharusan. Apalagi yang berkaitan dengan agama, khususnya perihal aturan wajib dalam agama. Islam mewajibkan belajar kepada setiap muslim. Belajarlah kepada orang yang mengerti dan otoritatif dalam Islam. Salah memilih guru, salah pula cara beragamanya.
Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menjelaskan ada beberapa cara populer menuntut ilmu dalam Islam. Pertama, musyafahah, yaitu belajar langsung kepada seorang guru, tatap muka, dan tinggal bersama mereka. Pendidikan seperti ini kerapkali ditemukan di pesantren, di mana seorang santri belajar langsung kepada Kiainya, mereka tidak hanya menyaksikan ilmu gurunya, tetapi juga bagaimana ibadah sehari-hari, adab, dan lain-lain. Sehingga, mereka tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian cara kedua adalah dengan membaca karya-karya ulama. Tidak semua orang mampu memahami karya ulama. Apalagi yang tidak menguasai ilmu pengetahuan dasar. Membaca buku berbahasa Arab misalnya, kita harus belajar gramatikal dan menguasai istilah teknis keilmuan tertentu. Walaupun istilahnya sama, tapi maknanya bisa berbeda dalam bidang ilmu tertentu.
Menurut Imam al-Syatibi, di antara dua acara ini, cara pertama lebih bagus dan baik. Sebab cara kedua, dengan mentelaah karya ulama memiliki banyak kelemahan, khususnya kita tidak mampu menangkap secara utuh apa yang dimaksud oleh pengarang. Bahkan, kita sulit menemukan apakah pendapat yang ada di dalam kitab itu sudah direvisi penulisnya atau belum.
Karenanya, menurut Imam al-Syatibi, alasan ulama terdahulu jarang menulis karya adalah karena metode Musyafahah, tatap muka langsung lebih bagus dibanding kitabah, menulis buku. Umar bin Khattab disebut sosok yang sangat tidak setuju dengan penulisan, khususnya penulisan hadis. Tulisan dibolehkan dalam kondisi tertentu, misalnya bagi orang yang tidak kuat hafalannya dibolehkan menulis agar tidak lupa. Jadi menulis pada zaman dulu dikhususkan bagi orang yang daya ingatnya tidak terlalu kuat.
Imam Malik juga termasuk ulama besar yang karyanya sedikit. Beliau termasuk ulama yang tidak menyukai tulisan. Maksudnya, menulis buku. Mengapa? Karena ilmu itu harus dihafal, dipahami, sehingga tidak butuh pada tulisan. Bahkan, Imam Malik tidak mau karyanya, al-Muwatta’ dikodifikasi, disebarluaskan, dan dijadikan panduan negara. Sebab, dalam suatu riwayat dikatakan, Imam Malik mengingatkan agar fatwanya tidak ditulis dan disebarluaskan. Khawatir pendapatnya berubah, sementara tulisannya sudah menyebar kemana-mana.