Tepat di peringatan hari lahir Nahdlatul Ulama yang ke-95 ini, ada satu momen yang kembali menghampiri ingatan saya via pengingat memori di laman Facebook. Momen itu menyadarkan saya kembali tentang menjadi NU, yang uniknya datang dari seorang tokoh besar Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif.
Tidak tanggung-tanggung, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005 ini mengingatkan saya akan hal yang paling mendasar dalam menjadi NU: Membaca lagi Qanun Asasi yang menjadi prinsip dasar organisasi Nahdlatul Ulama.
Sekitar tiga tahun lalu, saya sowan ke Buya Syafii Maarif. Sowan ini dalam rangka menyampaikan undangan kepada beliau untuk hadir di acara Sewindu Haul Gus Dur tanggal 5 Februari 2018. Sebagai karib dari Gus Dur, Buya Syafii memang selalu diundang dalam acara Jaringan Gusdurian, yang saat itu saya aktif bergerak di dalamnya. Saat itu saya ditemani Mukhibullah, rekan saya yang saat ini bergerak aktif di lini filantropi Gusdurian Peduli.
Sowan Buya Syafii itu tidak sulit kok. Kalau kemarin Pandji Pragiwaksono sempat kepleset bilang bahwa tokoh NU-Muhammadiyah itu susah ditemui karena terlalu elitis, ini tidak berlaku bagi Buya Syafii.
Beliau mudah ditemui di Masjid Nogotirto Sleman. Utamanya di waktu bakda Jamaah Shalat Maghrib sampai Isya’. Beliau tetap bertahan di masjid setelah jamaah Maghrib, untuk tadarus Quran atau sekadar i’tikaf sampai Isya’. Namun seringnya beliau direpoti oleh tamu yang – entah lancang atau cerdas – memanfaatkan situasi ini untuk mencuri waktu bertemu beliau.
Di usia senjanya, Buya Syafii shalat dengan duduk di kursi lipat. Begitu selesai shalat jamaah dan wiridan, kami hampiri beliau. Sungkem cium tangan selayaknya adab kepada orang sepuh. Beliau tetap di kursi, kami ndlosor di bawah. Sebagaimana pesantren mengajari kami adab santri.
Sehabis kami sampaikan maksud undangan Haul Gus Dur tersebut, Buya Syafii bercerita bahwa tempo hari beliau mengisi satu seminar di Pesantren Tebuireng Jombang tentang pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Dalam hati saya kagum, di usia yang sepuh beliau belum lelah meluangkan waktu untuk berbagi ilmu.
Beliau menceritakan betapa hormatnya beliau kepada sosok hadlratussyaikh KH. Hasyim Asyari, sang pendiri Nahdlatul Ulama.
“Saya borong semua itu buku-buku dan kitab-kitab Hasyim Asy’ari. Pemikirannya (KH. Hasyim Asy’ari) dahsyat sekali itu, yang ada di Qanun Asasinya NU. Sikapnya tegas, melarang terjadinya perpecahan.”
Buya Syafii merujuk pada pidato KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian dirangkum dalam Muqaddimah Qanun Asasi yang menjadi landasan berorganisasi Nahdlatul Ulama.
Di antara pidato Hadlrarussyaikh adalah menukil pendapat Imam al-Suyuthi sebagai berikut:
فإن الإجتماع والتعاون والإتحاد والتآلف هو الأمر الذي لايجهل أحد منفعته، كيف وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “يد الله مع الجماعة، فإذا شذ الشاذ منهم اختطفته الشياطين كما يختطف الذئب من الغنم”
“Sesungguhnya, sikap sosial, saling tolong-menolong, menjaga persatuan, kasih sayang dengan sesama adalah fakta yang tiada seorang pun tidak mengetahui manfaatnya. Bagaimana mau menolak, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah bersabda: “Kuasa Allah bersama jamaah (persatuan). Maka dari itu, berpisah dari jamaah (persatuan), merupakan pintu masuk bagi setan-setan untuk memangsanya sebagaimana serigala yang memangsa kambing yang terpisah dari rombongannya.”
Buya Syafii juga mengungkapkan, di waktu dekat saat itu beliau akan banyak baca karya sang Rais Akbar Nahdlatul Ulama.
Obrolan berjalan hangat, sambil beliau terus menceritakan titik temu antara KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, seraya mengomentari dinamika NU dan Muhammadiyah terkini. Iya, setidaknya situasi tiga tahun lalu, saat beliau mengatakan hal tersebut.
“Hasyim Asyari itu satu guru dengan Kiai Dahlan. Ketemu di Kiai Saleh Darat Semarang. Hasyim Asyari masih setia dengan madzhab empat. Banyak yang bilang dia itu fanatik madzhab, tapi sebenarnya demokratis.”
“Kalau Ahmad Dahlan lebih merdeka. Sekarang soal khilafiyah NU-Muhammadiyah sudah mereda, eh malah politiknya makin nggak karuan”
Tokoh Muhammadiyah yang disebut Gus Dur sebagai Pendekar dari Chicago ini bertanya lagi kepada kami, “Orang NU masih banyak nggak yang baca Qanun Asasi?”
Saya diam. Rekan saya juga diam. Kami berdua senyum-senyum merasa bego sendiri. Kecut rasanya. Soal Qanun Asasi, saya sendiri cuma tahu. Tidak tekun membaca, apalagi mendalami. Tidak pernah terlintas di benak saya, seorang tokoh besar Muhammadiyah justru menyuruh kami orang NU untuk baca lagi Qanun Asasi Nahdlatul Ulama.
“Kalian yang muda harus baca lagi Qanun Asasi ya!” Sambil terkekeh-kekeh melihat kami salah tingkah.
Membaca kembali Qanun Asasi menjadi sangat relevan bagi siapa saja yang dengan sadar dan bangga mengaku warga NU, apalagi mengingat keriuhan di media sosial belakangan. Satu kesempatan, Kapolri Listyo Sigit mendaku sebagai warga Nahdliyyin, meski beliau adalah seorang Kristen. Di sisi yang lain, Abu Janda, buzzer yang norak itu juga kerap tampil dengan jaket Banser dan Ansor, mencitrakan diri sebagai warga NU pula. Sehingga ketika terjadi polemik, NU pula yang kena getahnya.
Dua peristiwa ini membuat saya secara pribadi perlu merenungkan kembali tentang menjadi seorang Nahdliyyin. Mungkin juga menjadi renungan anda semua.
Dan kalau saya pikir lagi, saran Buya Syafii mungkin adalah salah satu solusi konkret. Menjadi warga NU tidak semudah mengenakan jaket Banser ke mana-mana, atau memposting gambar NU di mana-mana. Amanat Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi NU adalah pijakan utama dan sangat mendasar yang wajib dibaca kembali oleh warga NU sebagai pijakan moral dan etik yang dihidupi sepanjang hayat.
Pun Qanun Asasi penting juga dibaca semua Muslim di luar NU, atas isinya yang melarang terjadi perpecahan. Seperti halnya Buya Syafii Maarif, seorang tokoh Muhammadiyah yang menyuruh kami membacanya kembali.