Presiden Joko Widodo membuat sebuah gertakan baru dalam rangka penanggulangan doktrin radikalisme dan aksi terorisme yang menghantui Indonesia. Ia mengeluarkan Peraturan Presiden No. 7/ 2021 yang berisi tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada terorisme. Kebijakan itu berisi sekitar 125 rencana aksi yang harus dijalankan oleh lebih dari 20 kementerian dan lembaga.
Hal ini membuktikan bahwa ekstremisme ini bukan lagi hanya sekedar tugas BNPT dan urusan polisi, tetapi sudah menjadi urusan kementerian dan lembaga. Memang agak telat karena sebenarnya peraturan ini sebenarnya sudah diproyeksikan sejak 2017, namun tertunda 3 tahun dan baru sekarang ditandatangani, namun telat lebih baik daripada tidak sama sekali.
Jika hendak kembali ke masa lalu, para kelompok radikal ini menemukan perannya setelah jatuhnya rezim orde baru. Reformasi seakan menjadi hujan yang menjadi ajang menjamurnya doktrin radikalisme di Indonesia. Puncaknya adalah pada rezim SBY periode kedua dengan teori zero-enemy, di mana HTI diberikan slot siaran langsung di TVRI untuk menyiarkan kegiatannya sekaligus dalam rangka mempropagandakan mimpi khilafah. Mengerikannya begini, TVRI adalah stasiun televisi negeri yang mendapatkan dana operasional dari publik, namun ia memberikan ruang bagi kelompok yang tujuannya menghancurkan ruang publik, Indonesia.
Atau di Cikeusik misalnya, ketika kelompok Islamis garis keras menyerbu lokasi perkumpulan kelompok Ahmadiyyah. Digambarkan bahwa para penyerang bergantian memukuli tubuh-tubuh anggota Ahmadiyyah yang sudah tak sadarkan diri dan mungkin sudah tak bernyawa itu dengan tongkat kayu, kadang dengan sekuat tenaga hingga tongkat tersebut retak dan pecah. Mungkin saja tragedi itu pecah salah satunya akibat propaganda salah satu pimpinan FPI, Sobri Lubis, yang muncul dalam sebuah video di YouTube yang muncul jauh sebelum kejadian Cikeusik, ia berceramah sambil meneriakkan, “Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh Ahmadiyah!”
Kebijakan presiden tersebut mengindikasikan bahwa gerakan-gerakan radikal tidak boleh terlalu dekat dengan kekuasaan. Bukan berarti bahwa penguasa takut digulingkan, namun pemerintahan yang lemah dan rapuh akan sangat mudah disandera oleh kepentingan asing, termasuk tersandera oleh kepentingan ideologi radikalisme. Kasus di Suriah, Iraq, dan Libya bisa menjadi cermin bagaimana ideologi ini bersatu dengan para ekstremis lokal dan berhasil mengintervensi bahkan menggulingkan pemerintahan yang tadinya aman dan tentram.
Kriteria keberhasilan kementerian dan lembaga-lembaga boleh dilihat dari seberapa baik mereka mengelola bidangnya sehingga terbebas dari korupsi, namun di sisi lain, presiden seakan memberi kriteria penilaian baru bahwa kementerian dan lembaga akan dinilai sebagai kementerian dan lembaga yang baik jika berhasil membersihkan anggotanya dari doktrin-doktrin radikalisme.
Oleh karena itu, semua potensi-potensi yang mampu merusak Indonesia harus dibabat hingga akar-akarnya. Untuk menumpas ideologi asing ini, tidak cukup hanya lewat tangan aparat negara dan tindakan hukum. Masyarakat harus dilibatkan dalam upaya ini. Perpres No. 7/2021 ini juga merupakan salah satu landasan hukum bahwa masyarakat sipil mempunyai tanggung jawab yang sama untuk terlibat aktif dalam menghadapi gelombang ekstremisme yang membahayakan negeri ini.
Perpres ini juga muncul sebagai isyarat bahwa seluruh lembaga dan institusi di bawah negara kudu bersih-bersih. Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak ASN, dosen, pegawai BUMN, dan bahkan mahasiswa-mahasiswa yang menjadi tulang punggung bangsa Indonesia sudah keracunan ideologi impor ini. Mungkin efek samping awalnya hanyalah sikap intoleransi dan ekslusif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Namun, efek samping itu berlanjut kepada sikap yang ekstrem. Mereka hanya menunggu momentum saja untuk melangkah menjadi teroris, atau paling tidak mereka akan mendukung aksi terorisme.
Maka akhirnya, kita perlu menyadari bahwa akal sehat dalam beragama sangat dibutuhkan. Melalui perpres ini, kita memiliki basis hukum untuk terlibat aktif dalam menjaga negeri dari preman-preman berjubah agama. Dengan akal sehat, Indonesia tidak akan menjadi seperti suriah, dengan akal sehat masyarakat Indonesia akan tetap toleran dan hidup berdampingan dengan damai.