Tunisia merupakan salah satu negara Afrika Utara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Sejak negara ini merdeka dari kolonialisme Prancis pada tahun 1957 M, presiden pertama, Habib Bourguiba, mengeluarkan berbagai kebijakan modernisasi yang berpengaruh pada perubahan aspek kehidupan di Tunisia, salah satunya adalah kesetaraan perempuan melalui pendidikan dan kebudayaan. Namun di balik itu, pada awal abad ke-20 muncul seorang ulama bernama Tahar Haddad, penggagas ide kebebasan dan kesetaraan perempuan melalui karya-karyanya.
Baca juga: Ini Shalawat yang Dibaca Timnas Tunisia Sebelum Pertandingan Piala Dunia 2018
Nama lengkap Tahar Haddad adalah Tahar bin Ali bin Balqasim al-Haddad. Lahir di Tunis pada tanggal 4 Desember 1899. Ia lahir dan hidup dalam keluarga yang sederhana. Pada umur 12 tahun beliau mengenyam ilmu agama di jami’ Zaytouna tahun 1911 .dia lulus pada tahun 1920, dan tepat setelah ayahnya meninggal ia memperoleh sertifikat untuk bekerja sebagai notaris di pengadilan agama.
Pada tahun 1921, dia melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Hukum Tunisia, sekaligus bergabung dengan partai Destour, partai yang didirikan oleh Syekh Abdul Aziz As-Sa’labi. Dia mulai menaruh perhatian terhadap dunia politik dan isu persatuan. Tahar juga mulia giat menulis gagasan-gagasannya di berbagai koran seperti al-Ummah, Mursyid al-Ummah, dan Afriqiya. Gagasan-gagasannya mengenai nasionalisme dan hak-hak buruh saat itu menjadi pusat perhatian berbagai kalangan, bahkan berhasil mencuri perhatian Syekh Abdul Aziz As-Sa’labi yang kemudian mengangkatnya menjadi petinggi di partai Destour.
Pada tahun 1924, Tahar bertemu dengan Muhammad Ali Al-Hami yang memiliki dan bersama-sama membentuk serikat pekerja bernama Confédération générale des travailleurs tunisiens. Namun adanya tekanan dan intervensi dari pemerintah kolonial Prancis membuat organisasi ini hanya mampu bertahan beberapa bulan saja hingga dibubarkan secara paksa pada bulan Pebruari tahun 1925
Tekanan dan upaya kolonial Prancis saat itu tetap tidak menyulutkan api perjuangan Tahar. Ia terus melawan melalui gagasan-gagasan yang terpatri di dalam setiap tulisannya. Ia gencar menyuarakan reformasi, yang menurut dia harus dimulai dari lingkungan kecil, yaitu keluarga. Pada tahun 1930, ia menulis buku mengenai perempuan Islam Tunisia berjudul berjudul “Imroatuna Fi Ash-Shari’ah wa al-Mujtama’” (Perempuan Kita dalam Syariat dan Masyarakat). Dalam buku ini, dia berbicara tentang pembebasan perempuan, kesetaraan hak, dan pendidikan bagi perempuan Islam Tunisia.
Karyanya ini mendapatkan respon yang luar biasa dari sejumlah kalangan. Banyak yang menentang gagasan dalam buku tersebut, terutama dari kalangan tradisionalis masjid Zaytouna. Banyak ulama saat itu menuduhnya sesat dan bid’ah. Segala kritikan tersebut selalu beliau respon dengan tulisan untuk mempertahankan argumennya. Sayangnya ia mendapatkan respon negatif. Bukunya dilarang beredar, bahkan ia dipecat dari posisinya sebagai notaris dan posisinya dikucilkan. Tekanan yang kuat dari berbagai arah ini membuat Tahar mengalami depresi berat dan berdampak pada kesehatannya yang semakin memburuk. Pada 7 Desember 1935 ia tutup usia saat umurnya masih 36 tahun. Dan hanya sedikit orang yang menghadiri acara pemakamannya.
Dalam buku “Imroatuna Fi Ash-Shari’ah wa al-Mujtama’” secara umum pemikiran Tahar Haddad dikategorikan menjadi 3 bagian utama, yaitu 1) emansipasi perempuan muslim Tunisia melalui reformasi pendidikan dan hukum, 2) menjaga nilai-nilai Islam terutama dalam bidang keluarga dan perkawinan, 3) Nasionalisme. Tahar Haddad berbicara banyak tentang posisi perempuan dalam Islam. Ia melihat Islam berhasil mengapresiasi hak-hak perempuan dan mengangkat derajatnya atas asas persamaan dan keadilan. Namun sayangnya, umat Islam saat ini mengalami kemunduran sehingga enggan merealiasasikan hal tersebut.
Pada bagian buku ini, ia melontarkan gagasan-gagasan yang sangat progressif untuk ukuran zaman itu. Ia menolak nikah paksa dan mengikuti pendapat mazhab Hanafi yang meniadakan hak ijbar (hak wali untuk menikahkan gadisnya secara paksa), sebab pernikahan harus didasarkan atas perasaan cinta dan kasih sayang antar individu. Ia juga menolak pernikahan dini yang waktu itu masih berjamur di kalangan masyarakat Tunisia. Menurutnya, pernikahan pada dasarnya menimbulkan timbal balik hak dan kewajiban antara suami & istri. Dan ini akan lebih berat dan sulit ditanggung bila pasangan tersebut belum dewasa.
Tahar Haddad juga menyuarakan kesetaraan gender dan emansipasi perempuan Tunisia. dalam sub bab al-ijtima’i pada bukunya, ia mengusulkan agar perempuan-perempuan Tunisia agar ikut berperan aktif dalam bidang perindustrian. Hal ini dalam rangka ta’awun atau saling kerja sama dengan suaminya untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Ia juga mengusulkan agar perempuan Tunisia untuk mencicipi pendidikan, agar ia menjadi istri dan ibu yang mencerahkan anak dan keluarganya.
Gagasannya yang tidak kalah menarik adalah penolakan terhadap praktek poligami. Menurutnya, Islam sebenarnya berupaya memberantas poligami dengan cara bertahap (tadarruj). Pemberantasan ini diawali dari pembatasan jumlah maksimal 4 istri, kemudian berproses dengan adanya syarat adil di antara keempat istri (Q.S. An-Nisa’:3), kemudian berproses lagi dengan adanya peringatan akan sulitnya merealisasikan keadilan kepada para istri (Q.S an-Nisa’:129). Beliau berasumsi bahwa seandainya tadarruj ini terus berproses, niscaya akan berujung pada pelarangan poligami.
Baca juga: Ibnu Asyur, Ahli Tafsir dan Maqashid Syariah dari Tunisia
Pemikiran dan gagasan Tahar Haddad di atas memang menuai kontroversi dan penolakan dari sejumlah kalangan ulama. Namun pada akhirnya diakui gagasan dan pemikirannya berpengaruh pada gerakan hak-hak perempuan Tunisia. Majallat al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah atau Hukum Keluarga Tunisia (Code of Personal Status) yang terbit pasca kemerdekaan Tunisia sebagai landasan hukum emansipasi perempuan Tunisia sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Tahar Haddad, setidaknya dalam pasal penghapusan hak ijbar, mitra kerjasama istri dalam mencari nafkah, proses perceraian yang harus di pengadilan, serta larangan praktik poligami. (AN)
Wallahu a’lam.