Perspektif Baru Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Bag.1)

Perspektif Baru Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Bag.1)

Seringkali kita mendengar dengung amar ma’ruf nahi munkar, tapi disertai dentuman caci-maki. Padahal, amar ma’ruf nahi munkar itu adalah bentuk kasih sayang. Rupanya, ada yang tidak beres.

Perspektif Baru Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Bag.1)
Al-Qur`an adalah salah satu mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad.

Ada banyak ayat tentang seruan menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, dicantumkan 8 ayat. Saya melihat masih banyak ayat lain yang tak dikutip dalam kitab Imam Nawawi ini.

Poinnya adalah jelas tiada keraguan bahwa menjalankan amar ma’ruf nahi munkar merupakan bagian dari perintah Allah Swt dan sunnah Rasulullah Saw. Yang lantas saya maksud “perspektif baru”–sebutlah demikian karena ini mungkin tidak populer—ialah:

Pertama, gerakan amar ma’ruf nahi munkar mengenal tingkatan-tingkatan praktiknya. Tidak semua orang, dalam semua posisi, kompetensi, dan modal, lalu memikul amanat yang sejajar. Tidak.

Ada tiga tingkatan yang diberikan oleh hadis Rasulullah Saw.

Satu, hadis riwayat Abu Said al-Khudri. Beliau Ra berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Siapa di antara kelian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak berkuasa (dengan tangan), maka dengan lisannya, dan jika tidak berkuasa (dengan lisan), maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Dua, hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud. Beliau Ra berkata, “Rasulullah Saw bersabda: tiada seorang nabi pun yang diutus sebelumnya kecuali memiliki sahabat-sahabat yang setia mengikuti ajaran-ajarannya dengan sungguh-sungguh, kemudian timbul di belakang mereka keturunan yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan; maka siapa yang menjihadi (maksudnya: mengubah perilaku melenceng) mereka dengan tangannya berarti dia mukmin, dan siapa yang menjihadi mereka dengan lisannya maka dia mukmin, dan siapa yang menjihadi mereka dengan hatinya  maka dia mukmin. Tidak ada lagi keimanan pada diri mereka yang di luar itu (tiga bentuk jihad itu) walau sebesar biji sawi.” (HR. Muslim).

Dari dua hadis ini (hadis dengan matan pertamalah yang paling dikenal luas), kita melandaskan tiga tingkatan dimaksud: amar ma’ruf nahi munkar dengan tangan (kekuatan, kekuasaan), lalu amar ma’ruf nahi munkar dengan lisan (peringatan, dakwah), dan amar ma’ruf nahi munkar dengan hati (hati menolak, membenci, kemungkaran yang terjadi).

Yang cenderung jadi soal umumnya adalah orang enggan untuk tertabalkan pada derajat “selemah-lemah iman” itu bila ber- amar ma’ruf nahi munkar dengan hati, karena tentu semua menginginkan iman yang tinggi, lebih tinggi, dan paling tinggi. Dampaknya adalah orang cenderung untuk merangsak ke derajat pertama (dengan tangan), minimal lisan, kendati sejatinya ia tak memiliki kewenangan dan kompetensi di situ.

Mengapa kita perlu melibatkan aspek kewenangan pada amar ma’ruf nahi munkar dengan tangan dan kompetensi pada amar ma’ruf nahi munkar dengan lisan?

Kedua jenis tingkatan praktik amar ma’ruf nahi munkar ini jelas tak bisa dijalankan oleh semua orang. Jika semua orang memaksakan diri untuk mengembannya, dapat dipastikan akan lebih banyak madharatnya timbang maslahat yang menjadi tujuan pokok amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri. Bukankah tak masuk akal untuk menjalankan suatu perintah tetapi dengan sekaligus menginjak-injak tujuan utama perintah itu?

Akan lebih jelas pada titik ini bila kita libatkan pemahaman perihal ulul amri. Ulu adalah bentuk jamak dari waliyu (artinya pemilik, pengurus, atau penguasa). Amrun artinya urusan. Jadi, ulul amri adalah orang-orang (atau pihak-pihak atau lembaga-lembaga) yang memiliki hak dan wewenang (bisa berdasar kewenangan kekuasaan maupun kompetensi) untuk mengatur, mengelola, atau mengurusi suatu urusan.

Lembaga seperti Dar al-Ifta’ al-Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) merupakan ulul amri bagi urusan fatwa-fatwa hukum di Mesir. LAZIS merupakan ulul amri bagi urusan zakat, infak, dan sedekah. Kementerian Agama merupakan ulul amri bagi pengaturan urusan haji, Hari Besar Islam (HBI), dan sebagainya. Polisi adalah ulul amri bagi segala urusan yang terkait dengan keamanan dan ketertiban masyarakat. Para kepala rumah tangga adalah ulul amri bagi kehidupan rumah tangganya masing-masing. Dan sekiannya.

Kini bayangkan!

Di negeri kita, perjudian terlarang, klop dengan syariat Islam. Hukum negara mengatur urusan pidananya. Polisi adalah ulul amri bagi pelaksanaan peraturan yang melarang perjudian.

Taruhlah kata di suatu malam Anda yang seorang sipil sedang naik motor hendak pulang, lalu Anda melihat sekelompok pemuda berjudi di sebuah warung kecil, apa yang seyogianya Anda lakukan?

Bila Anda berhenti, lalu mengobrak-abrik praktik judi itu atas nama amar ma’ruf nahi munkar, Anda telah luput benar. Jika Anda memaksakan diri dalam keluputan posisi tersebut, sejatinya Anda sedang melanggar syariat Islam itu sendiri, dikarenakan justru betapa sangat rawannya tindakan Anda itu bisa meletuskan pertikaian, permusuhan, dan perkelahian. Islam tidak pernah membolehkan kita meletuskan madharat –bahkan atas nama membasmi kemungkaran.

Yang mesti Anda lakukan adalah menolak praktik mungkar itu dengan hati dan kemudian bisa dilanjutkan dengan melapor pada polisi sebagai ulul amri di kasus tersebut, dan biarkan mereka dengan kewenangan legal-formalnya mengatasi praktik judi itu –sebagai jalan amar ma’ruf nahi munkar dengan tangan.

Tetapi bukankah dengan tidak membasmi kemungkaran dengan tangan, minimal lisan, merupakan derajat selemah-lemahnya iman? Mengapa kita membiarkan diri kita bertengger di derajat rendah ini?

Ini dia akar masalah umum kita.

Bersambung…