11 Maret 1829, Mendelshohn bersama Sing-Akdemie Berlin pernah mementaskan St.Matthew Passion karya Johann Sebastian Bach. Setelah pementasan itu, Sing-Akademie mulai lebih sering mementaskan musik berjenis oratorio seperti St. John Passion atau Mass in B Minor milik Bach, Misa milik G. F Handel, dan beberapa oratorio lain.
Berkat pementasan di tanggal 11 Maret 1829 yang dipimpin oleh Mendelshohn, nama Sing-Akademi Berlin naik daun, dan dikenal sebagai salah satu grup musik yang paling legit dalam mementaskan karya-karya Bach. Namun, baru di tahun 1859, atau sekitar 30 tahun setelahnya, Christmas Oratorio Bach dipentaskan oleh Sing-Akademie Berlin.
Jeda yang cukup lama itu disebabkan karena ada anggapan di sebagian besar musikolog dan kritikus musik pada masa itu, bahwa Christmas Oratorio terlalu kekanak-kanakan dan kurang sakral dibanding dengan St. Matthew Passion―yang di saat yang sama menjadi standar ideal suatu karya liturgi musikal.
Kritik terhadap Christmas Oratorio Bach beragam, dari mulai aspek lirik (libretto), kompeksitas melodi, dan struktur penyajiannya, yang pada intinya berpusar pada soal: Bach gagal membawakan sakralitas Natal dalam Christmas Oratorio-nya karena tiga aspek tersebut banyak dilanggar, sehingga menimbulkan resistensi kultural dan teologis di kalangan umat Kristiani Eropa (khususnya para kritikus musik dan teolog penyuka musik) pada masa itu.
Di samping itu, juga ada kekecewaan terhadap kualitas musikal Christmas Oratorio yang dianggap terlalu sederhana, to the point, dan tidak mencerminkan kualitas musikal sebagaimana ‘Bach’ yang biasanya (kompleks, ketat secara matematis, megah, dan kaya warna).
Kritik itu muncul karena konteks masyarakat pada masa itu masih memahami bahwa pementasan Oratorio atau Kantata ya harus di Gereja; dan format dan muatannya pun harus sesuai dengan ibadah yang hendak diselenggarakan. Prinsip ini penting karena sebuah kantata adalah jembatan antara pembacaan Gospel dan ceramah. Oleh karena itu, durasinya tidak boleh terlalu panjang: normalnya sekitar 30 menit. Oratorio, kurang lebih sama, namun dengan durasi yang sedikit lebih panjang.
Ketika seorang komposer disuruh membuat Passion, Oratorio, Misa atau Kantata, maka ia terikat pada kultur masyarakat yang ada. Dalam konteks masyarakat Kristiani Eropa abad 18-an, penggunaan Trompet dan Timpani dalam komposisi liturgi musikal dianggap kurang elok dan kurang sopan karena Trompet dan Timpani adalah representasi kemeriahan dan kebahagiaan, bukan representasi kesakralan dan kekhidmatan. Struktur penyajian kantata pun harus tersusun dari Chorus-Recitative-Aria-Recitative-Aria-Chorale, dan struktur muatannya harus terdiri dari biblical text-explanation-application-confirmation.
Akan tetapi, Bach membuka Christmas Oratorio-nya dengan Trompet dan Timpani. Jauzet Frochlocket―lagu pembuka dari bagian pertama Christmas Oratorio―justru mengantarkan pendengar pada kemeriahan dan suka cita yang tumpah ruah lewat Trompet dan Timpani. Lagu pembuka ini jugalah―di samping 14 lagu lain―yang menjadi bulan-bulanan kritikus musik. Jauzet Frochlocket pada mulanya adalah sebuah kantata sekuler Tӧnet ihr Pauken BWV 214 yang dikarang Bach untuk memenuhi sebuah pesanan lagu pesta ulang tahun seorang bangsawan yang kemudian dicomot Bach untuk keperluan selebrasi Natal.
Setidaknya ada sekitar 15 lagu dari total 55 lagu yang terbagi dalam 6 bagian Christmas Oratorio yang merupakan hasil parody, atau praktik mencomot template melodi lagu sekuler yang pernah dikarang, kemudian digunakan ulang dan diubah liriknya untuk keperluan tertentu. Di mata sebagian kritikus musik, Bach dianggap kurang kreatif, menjenuhkan, dan sejenisnya. Di mata sebagian ahli agama pada masa itu, Bach dinilai agak ngece karena tidak menggubah semangat Natal menjadi sesuatu yang sakral sebagaimana ia menggubah St. Matthew Passion.
Bach justru memasang lirik-lirik Biblical di melodi yang awalnya ditujukan untuk tujuan sekuler―perilaku yang tidak semestinya dilakukan. (pandangan seperti ini dapat dikatakan wajar karena musik, baik instrumen yang digunakan, substansi muatan, dan cara penyajian selalu terikat dengan konteks kultural tertentu. Marhabanan mungkin akan terdengar asing/wagu ketika diiringi oleh drum, pianika, gitar, dan bukan oleh rebana)
Bukan hanya itu, menciptakan Chrismas Oratorio dengan enam bagian kiranya adalah salah satu bentuk kenakalan Bach terhadap aturan Gereja. Upaya itu mungkin disebabkan karena Bach sepertinya memiliki ambisi musikal pribadi yang menginginkan komposisi yang melebihi 30 menit, meski di tahun 1723 (12 tahun sebelum Christmas Oratorio diciptakan) saat diangkat menjadi cantor St. Thomas, ia disumpah untuk “tidak membuat musik yang durasinya terlalu lama, tidak membuat musik yang mirip opera, dan harus membuat musik yang mengajak Jemaat pada ketakwaan.”
Enam bagian Christmas Oratorio di mainkan di beberapa hari pasca kelahiran Isa Al Masih. Masing-masing bagian merepsentasikan momen penting seperti Hari Kelahiran, Hari Perjamuan, Hari Sunatan hingga Hari taun baru. Umumnya dimainkan secara terpisah di pekan-pekan Natal dan pergantian tahun, namun dapat juga dimainkan secara terhubung. Pun, Bach memang dengan sengaja membuatnya menjadi satu kesatuan yang dapat dipecah.
Dari segi penyusunannya pun Christmas Oratorio menuai kontroversi karena berbeda dengan aturan Kantata pada umumnya. Sehingga, sering kali jemaat salah menangkap mana ayat Bible dan mana lirik sastrawi gubahan si komposer.
Dengan kata lain, Bach menjadi bulan-bulanan karena ia melakukan dekonstruksi peribadatan. Atau dalam bahasa pondoknya, Bach telah melakukan bid’ah via jalur kultural.
***
9 Desember 2014, atau 155 tahun pasca Sing-Akademie Berlin mementaskan Christmas Oratorio, Kedutaan Jerman bekerjasama dengan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga menggelar konser yang sama. Alih-alih menuai kritik, konser kali justru juga dihadiri oleh audiens non-kristiani―kesempatan yang mungkin sulit atau bahkan tidak mungkin terjadi di masa Bach dulu. Mengapa pelaku bid’ah kultural dapat menembus lintas identitas religi di kemudian hari? Penulis melihat bahwa, Bach sepertinya punya kejenuhan dengan aturan Gereja (khususnya perkara musik) dan memendam keinginan untuk meliberasi agama agar tidak sekedar berbentuk lagu-lagu dogmatik.
Ada beberapa alasan. Pertama, sekitar tahun 1707-1729, Bach sedang rajin-rajinnya bergulat dengan musik-musik sekuler berkat kesibukannya di Collegium Musicum dan mobilitas di lingkaran bangsawan Dresden. Kedua, Christmas Oratorio adalah salah satu titik cek poin kematangan musikal Bach setelah ia berhasil menyintesiskan beragam gaya musik (Inggris, Perancis, Italia) melalui beberapa karya monumental seperti Brandenburg Concerto, English Suite, dan French Suite.
Ketiga, ayah dan ibu Bach wafat saat Bach berusia 50-an. Duka ini mendorong Bach untuk menyalin, dan mempelajari komposisi-komposisi yang dulu pernah dibuat oleh leluhurnya. Pada fase ini, Bach tidak hanya telah menyintesiskan kebudayaan musikal yang berbeda. Tapi juga telah menyintesiskan tradisi musik yang pernah mewarnai keluarganya. Artinya, Christmas Oratorio dibuat setelah Bach mengalami kematangan musikal yang sangat kosmopolit.
Oleh karena itu, sepertinya Bach menyadari kalau dialog antara audiens dan musik dapat dimediasi oleh tonal, libretto, dan strukturnya. Jadi, meski Christmas Oratorio adalah parody, namun audiens masih tetap dapat berdialog dengan oratorio ini.
Di lagu nomer empat misalnya, Bereite dich Zion, pendengar akan menemukan bagaimana kompleksitas Bach memenggal kalimat Bereite dich Zion, mit zärtlichen Trieben dan mengepangnya bersama tumpukan suara biola dan suling yang diiringi oleh Organ.
Di bagian ke lima Christmas Oratorio, ada Ach wenn werd die Zeit, yang menyaji suara sopran, alto dan tenor yang memetafora intimasi kasih sayang beriring sahutan biola. Bagian ke dua Christmas Oratorio di buka dengan Simfonia bertempo 12/8 yang tersusun dari tumpukan nada panjang yang berpaut satu sama lain sehingga mereplika suasana pagi berembun dengan langit berawan.
Christmas Oratorio menyajikan kemeriahan, suka cita, rasa penantian, nina-bobo, bahkan intimasi. Orang bisa menikmati apa yang disuka, baik itu muatan estetik ataupun religi. Keduanya bisa dipilih salah satu ataupun semua. Bach menempatkan Christmas Oratorio pada wujud estetika yang universal sehingga agamanya menjadi tidak melangit, dan keramahan wajahnya menembus kemanusiaan.
Sayangnya, figur ataupun kualitas musik serupa tidak terlihat di dunia Islam, meski keberadaan instrumen seperti Ney, Faz, Oud dan sejenisnya cukup memadai. Di saat yang sama, sensibilitas estetik masih menjadi hal yang tersier. Sehingga, aset liturgi yang ada sering kali tidak dapat tumbuh ke arah yang lebih berkembang, dan hanya terbatas pada relung manusia yang seiman. Padahal, andai sensibilitas musikal menjadi hal yang dipupuk, maka universalitas itu akan menjadi bonusnya dan wajah Islam akan jauh lebih menyenangkan dan membanggakan.