Kritik Hirsi Ali Soal Keperawanan Hingga Cerita Menstrual Cup di Indonesia

Kritik Hirsi Ali Soal Keperawanan Hingga Cerita Menstrual Cup di Indonesia

Hirsi Ali mengkritik salah kaprah selaput dara sebagai penentu keperawanan. Sesat pikir itu menunjukkan krisis pendidikan seksual di Indonesia.

Kritik Hirsi Ali Soal Keperawanan Hingga Cerita Menstrual Cup di Indonesia

Hirsi Ali, penulis asal Somalia dan juga mantan anggota parlemen Belanda menuliskan isu perempuan Islam yang mengalami ketidakadilan. “Belalah Hak-Hakmu: Perempuan dalam Islam”, adalah buku karya Ayaan Hirsi Ali yang baru saja diterbitkan oleh Odise Publishing pada bulan Oktober 2020.

Ketidakadilan terhadap perempuan ini ia tuliskan dari berbagai kisah nyata perempuan Somalia yang menjadi imigran di Belanda atau kisah yang dialami perempuan Belanda pada umumnya. Kesan pertama yang penulis rasakan setelah membaca buku ini adalah ada kesamaan diskriminasi antara perempuan Somalia yang menjadi imigran di Belanda, perempuan Belanda, maupun perempuan Indonesia. Semuanya sama, masih menjadi korban konstruksi sosial yang menetapkan “standar kemuliaan” perempuan yang justru menjadi bumerang kesengsaraan.

Tulisan ini akan membedah isu perempuan dalam buku “Belalah Hak-Hakmu: Perempuan dalam Islam” yang kondisinya tidak berbeda dengan ketidakadilan yang dirasakan perempuan Indonesia.

Sesat Pikir Standar Keperawanan

Di dalam buku Hirsi Ali, bab berjudul “Sangkar Para Perawan” menjadi gambaran umum bagaimana masyarakat memandang martabat perempuan diukur dari ada tidaknya selaput dara yang masih utuh sampai dia menikah. Anggapan umumnya, selaput dara yang terjaga oleh “perawan” dapat dibuktikan dengan keluar tidaknya darah dari vagina perempuan saat melakukan hubungan seksual pertama kali setelah menikah.

Glorifikasi terkait kesucian perempuan yang diukur dari selaput dara membuat ketakutan orangtua dalam “menjaga” anak perempuannya yang justru jatuh dengan memenjarakan dengan larangan beraktivitas dan aturan lain yang mengikat keperawanannya. Glorifikasi keperawanan ini berdampak pada keputusan mendorong anak perempuan untuk menikah dini agar orang tua bisa memastikan selaput dara anak perempuannya masih “aman”.

Malangnya, perempuan muslim yang selaput daranya sudah robek atau bahkan terlahir tidak memiliki selaput dara, membuat mereka diperlakukan oleh keluarga sebagai objek bekas, dianggap nakal, tidak bisa menjaga diri, dan tidak berharga. Apalagi yang melakukan seks di luar nikah, meskipun itu karena diperkosa. Perempuan tersebut akan mengalami pengusiran, pengurungan, atau bahkan dijodohkan dengan laki-laki yang oleh Hirsi Ali diistilahkan sebagai “pria murah hati”.

“Pria murah hati” seakan menjadi laki-laki mulia yang dengan tabah menerima perempuan yang seakan martabatnya sudah hilang hanya karena selaput dara. Menjadi korban dua kali selain sebagai korban perkosaan, perempuan yang dinikahkan paksa dengan “pria murah hati” ini harus menanggung beban sisa hidupnya karena kebanyakan “pria murah hati” adalah laki-laki yang miskin, berpikiran lemah, impoten, atau gabungan dari seluruhnya. Hirsi Ali mengkritisi peristiwa ini dan merasa bahwa perempuan tersebu “dibunuh” oleh keluarganya sendiri.

Perempuan yang ketakutan akan kondisi selaput daranya yang robek sebelum menikah atau bahkan kekhawatiran tidak mengeluarkan darah saat melakukan hubungan seks pertama setelah menikah berdampak pada permintaan operasi selaput dara. Hirsi Ali menggambarkan sekitar 10-15 operasi selaput dara dilakukan di rumah sakit Belanda.

Pemahaman salah kaprah tentang keterkaitan selaput dara dan keperawanan menjadi hal miris. Pasalnya, setiap perempuan memiliki kondisi selaput dara yang berbeda: ada yang elastis sehingga berberapa kali berhubungan seks pun tidak robek, ada yang tipis sehingga karena aktivitas sehari-hari, olahraga atau jatuh bisa membuatnya robek, atau bahkan ada yang tidak terlahir memiliki selaput dara.

Salah kaprah pemahaman ini melahirkan adanya keperluan di masyarakat tentang tes keperawanan dengan melihat kondisi selaput dara. Padahal, riset “Virginity Testing: a Systematic Review” yang telah dipublikasikan di jurnal Reproductive Health pada 18 Mei 2017 mengatakan bahwa mengecek selaput dara untuk mengukur keperawan perempuan tidaklah akurat. Di tahun 2018 WHO, UN Women, dan UN Human Rights Office (OHCHR), mengkritisi agar tes keperawanan dihapus di seluruh negara, terutama 20 negara yang masih melakukan termasuk Indonesia.

Sesat Pikir itu Masih ada di Indonesia

Human Rights Watch (HRW) menyebutkan bahwa sampai tahun 2018, di Indonesia masih ada keluhan soal tes keperawanan yang dilakukan oleh TNI dan Polri (Kumparan.com, 2020). Di dalam stigma masyarakat bahwa utuhnya selaput dara sebagai ukuran moral perempuan terlihat dari usulan Komisi D DPRD Jember di tahun 2015 tentang tes keperawanan yang dijadikan syarat kelulusan siswi SMP dan SMA  Jember karena alasan tingginya angka seks di luar nikah remaja di Jember. Usulan tersebut menimbulkan reaksi penolakan dari berbagai pihak dan akhirnya tidak ditindaklanjuti menjadi sebuah keputusan.

Salah satu akibat sesat pikir kerkaitan selaput dara dengan keperawanan juga bisa dilihat dari kontroversi penggunaan menstrual cup di Indonesia. Menstrual cup mulai marak didengungkan senafas dengan kampanye zero waste akibat penumpukan sampah pembalut sekali pakai. Menstrual cup merupakan kelengkapan perempuan saat menjalani masa menstruasi selain pembalut. Berbeda dengan pembalut yang direkatkan ke celana dalam, penggunaan menstrual cup dimasukkan ke dalam lubang vagina dan bisa digunakan berulang karena terbuat dari bahan silikon.

Cara pemakaian menstrual cup ini yang membuat pro dan kontra. Kebanyakan orang tidak setuju dengan cara tersebut karena menganggap sebelum menikah perempuan tabu untuk memasukkan apapun ke dalam vagina. Hal apapun yang masuk ke dalam vagina dikhawatirkan akan membuat robek selaput dara yang berarti oleh masyarakat dianggap keperawanan telah sirna. Padahal, dilansir dari berbagai sumber, menstrual cup tidak mencederai selaput dara karena posisi yang jauh dari mulut rahim sehingga tidak berpengaruh apapun terhadap selaput dara. Lagi pula dengan penjelasan sebelumnya yang menyatakan tidak ada kaitan antara selaput dara dan keperawanan, apakah kekhawatiran menggunakan menstrual cup masih berdasar?

Krisis Pendidikan Seksual

Andai saja pendidikan seksual sudah menjadi lumrah di Indonesia dan diajarkan dengan mudah oleh orangtua hingga institusi pendidikan, maka pengertian seputar keperawanan tidak diglorifikasi berlebihan. Kekhawatiran tentang “menjaga keperawanan” yang akhirnya membuat segala informasi mitos tentang selaput dara, tentang darah di hari pertama berhubungan seksual saat menikah, hingga keputusan menikah dini untuk melindungi keperawanan remaja, hingga menakut-nakuti para remaja agar tidak memasukkan apapun ke dalam vaginanya sehingga mengakibatkan salah paham tentang menstrual cup sebenarnya bukti pendidikan seksual masih menjadi barang yang jarang didapatkan.

 

*Artikel ini hasil kerjasama Islami.co dan Rumah KitaB