Poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Jika pengertian tersebut digabungkan, maka poligami mempunyai arti sebagai suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari satu orang. Hal ini dapat diartikan sebagai sistem perkawinan yang banyak atau seorang lelaki mempunyai istri lebih dari satu orang.
Sebaliknya, seorang perempuan yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan pada dasarnya juga disebut poligami. Sementara, pengertian poligami menurut KBBI adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/ mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Terdapat perdebatan dari berbagai kalangan mengenai boleh tidaknya poligami dalam Islam. Sebagian kelompok mengatakan boleh melakukan poligami dengan dasar hukum al-Quran surat an-Nisa’ ayat 3. Sementara, kelompok lain melarang poligami dengan dasar yang sama dan dipadukan dengan ayat 129 dalam surat an-Nisa’ juga.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu sukai: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa’: 3)
Sementara, dalam surat an-Nisa’ ayat 129 ditegaskan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (an-Nisa’: 129)
Penafsiran gaya klasik hingga abad ke 18 M/ 13 H mengatakan bahwa poligami boleh secara mutlak dan jumlah maksimalnya adalah empat. Tidak ada pro kontra mengenai bolehnya poligami, dan semuanya sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Adapun sebab kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti). Kebolehan ini ditambah dengan kondisi seperti keadilan dalam kasih sayang, perasaan cinta dan selama kemampuan berbuat adil di bidang nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan.
Di sisi lain, para pemikir kontemporer dan undang-undang Muslim modern memperbolehkan poligami dengan syarat dan kondisi tertentu yang sangat terbatas. Mereka berpendapat bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah dan hanya bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan dengan mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Keadilan yang dituntut disini termasuk dalam bidang nafkah, mu’amalat, pergaulan, serta pembagian malam.
Bahkan, ada sebagian pemikir kontemporer yang mengharamkan dan menentang poligami. Hal ini didasari dengan anggapan bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar istri dengan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.
Adapun konteks pewahyuan ayat 3 surat an-Nisa’ sebagaimana tersebut dalam kitab asbab an-Nuzul al-Quran karya an-Naisaburi adalah: “Ada seorang gadis yatim di bawah asuhan walinya dan dia berserikat dengan walinya dalam masalah hartanya. Wali tersebut tertarik kepada harta dan kecantikan si gadis yatim. Akhimya, dia bermaksud menikahinya tanpa memberikan mahar yang layak.” Maka kemudian turun ayat ini.
Pada dasarnya, ayat ini berisi peringatan untuk tidak bertindak semena-mena terhadap orang yang lemah secara sosial yakni para anak yatim dan perempuan. Perlu diketahui bahwa orang-orang Arab pada masa jahiliyah senang menikahi banyak perempuan, lalu menghabiskan harta anak-anak yatim yang berada dalam perwaliannya. Ayat ini memberi penegasan betapa posisi perempuan pada saat itu sangat lemah dan rentan terhadap segala bentuk penindasan. Dalam konteks ini, al-Quran turun untuk melakukan pembelaan dan pembebasan terhadap mereka dengan bersandar pada dasar moralitas dan keadilan.
Praktik poligami sebenarnya sudah terjadi sejak masa pra-Islam, terutama oleh bangsa-bangsa seperti Yunani, China, India, Babilonia, Assyiria dan Mesir. Beberapa bangsa lainnya yang melakukan praktik poligami, tidak memiliki aturan dan pembatasan. Maka, Islam dalam hal ini justru yang meletakkan batasan-batasan atas poligami meskipun tidak menghapusnya secara total.
Bangsa Arab sebelum Islam tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa lain dalam hal poligami. Setelah Islam datang, masyarakat masih mempraktikkan poligami dikarenakan pengaruh sosial-budaya yang berlaku pada saat itu. Ketika Rasulullah membawa syiar Islam, tidak ada larangan poligami dan tidak pula dibiarkan poligami secara bebas. Datangnya Islam selain membatasi poligami, juga menjelaskan persyaratan-persyaratan dan kriteria dianjurkannya berpoligami yang sebelumnya tidak ada.
Dalam konteks seperti ini, poligami tidak bisa dihapuskan secara tiba-tiba dan menyeluruh. Islam membatasi poligami maksimal hanya empat istri dan ini merupakan peran al-Quran untuk mengkritik dan memberikan batasan-batasan yang jelas. Pembatasan oleh al-Quran harus dipahami sebagai penjelasan bahwa dalam konteks sosial di mana perkawinan dengan banyak istri sudah menjadi tradisi, maka pembatasan sangat diperlukan, baik secara kuantitas, yaitu empat, maupun secara kualitas, yaitu moralitas keadilan.
Dengan demikian, poligami sebenarnya tidak dianjurkan al-Quran. Al-Quran hanya melakukan reformasi mengenai praktik poligami yang telah terjadi pada masa dahulu dengan melakukan pembatasan-pembatasan. Di sisi lain, al-Quran juga mengkritik praktik poligami saat itu, terutama terkait moralitas keadilan yang harus menjadi dasar pertimbangan utama. Prinsip keadilan inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama poligami karena keadilan merupakan salah satu inti ajaran Islam.
Dengan al-Quran menyinggung isu ini, maka poligami sebenarnya tidak bisa sepenuhnya diharamkan. Ayat ini tidak mengandung perintah untuk berpoligami, melainkan sebuah bentuk adaptasi dari al-Quran yang mampu menyikapi berbagai dimensi kehidupan yang ada sepanjang masa. Pada intinya, ayat 3 surat an-Nisa’ hanya berbicara tentang bolehnya poligami yang merupakan salah satu bagian kecil dari ayat dan itupun hanya dapat ditempuh oleh orang yang sangat membutuhkan dengan syarat-syarat ketat berdasar pada ayat 129.
Wallahu A’lam bissawab.