Terdepak dari Kepengurusan MUI 2020-2025, Tengku Zulkarnain berharap agar pengurus MUI tetap kritis terhadap pemerintah. Harapan itu dia utarakan lewat akun Twitter @ustadtengkuzul, Jumat (27/11).
Untuk diketahui, Tengku Zulkarnain adalah seorang pendakwah yang mengajak pengikutnya agar menerapkan nilai-nilai dari ajaran Islam. Soal ajaran Islam yang mana, ini tentu saja lain diskusi. Yang pasti, di ruang publik, dia kerap menonjolkan identitas keislaman, baik lewat simbol yang sejauh ini diasosiasikan sebagai yang islami atau petuah-petuah ideologis berbungkus dalil agama.
Rupanya, Tengku Zulkarnain paham betul bahwa bagi masyarakat Indonesia, politik simbol ini menduduki posisi yang cukup penting. Untuk alasan itulah barangkali ia selalu mengenakan gamis dan tudung ke manapun ia pergi, sekalipun memberi makan ayam peliharaannya. Dan, di atas itu semua, selentingan-selentingan berbahasa Arab sesekali ia utarakan, kendati belakangan sempat dikoreksi oleh netizen sewaktu dia merapal tashrifan yang keliru, kafaro-yukafiru-kufron.
Tapi tak apa, anggap saja itu adalah bagian dari eks Wasekjen MUI memantik daya kritis masyarakat.
Meski begitu, harapan Tengku Zulkarnain agar MUI tetap kritis kepada pemerintah itu sebetulnya kontradiktif dalam dirinya sendiri. Ada dua alasan untuk menjelaskannya. Pertama, yang namanya “tetap kritis” itu sudah tentu merupakan sebuah bentuk kontinuitas.
Masalahnya, dalam rekam jejak Tengku Zulkarnain sebagai Wasekjen MUI, apakah dia pernah bersikap kritis terhadap pemerintah?
Sejauh yang saya tahu, sulit menemukan kritisisme Tengku Zul kepada pemerintah, kecuali satu perkara, yaitu: komentar dia sehubungan dengan wacana pindah Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan. Itu saja, saya masih kesulitan menemukan letak kritisnya di mana.
Seperti biasa, melalui cuitan di akun Twitternya, Tengku Zulkarnain menilai bahwa pemindahan Ibu Kota tidak meningkatkan nilai ekonomi bagi negara dan rakyat Indonesia.
“Pindah ibu kota sama sekali tidak meningkatkan nilai ekonomi apapun bagi negara dan rakyat Indonesia,” kicau Tengku Zul, Selasa (27/8/2019).
Harus diakui bahwa muqadimah cuitan itu memang kelewat keren. Sialnya, hipotesa itu tidak didukung argumen yang memadai, bahkan cenderung banal.
Alhasil, menurut dia, wacana pemindahan ibu kota hanya akan membuat pertahanan nasional mudah dijangkau China karena posisinya lurus dan terbuka. Tengku Zul lalu meminta ahli intelijen berbicara, tidak diam.
“Malah, secara pertahanan sangat mudah dijangkau China dengan kapal perang, pesawat tempur, bahkan rudal China. Lurus dan terbuka! BAHAYA. Para ahli intelijen bicaralah. Jangan diam saja!” cuitnya.
Tidak cukup sampai di situ, dia bahkan mengunggah peta yang menunjukkan garis lurus antara Pulau Kalimantan dan Beijing, China. Oleh Tengku Zulkarnain, ini dibayangkan sebagai garis tegak lurus yang diibaratkan sebagai rute rudal China.
Maka, jika sekarang dia berharap agar MUI bersikap kritis kepada pemerintah, itu maksudnya kritis yang bagaimana?
Lalu, kedua, bila melihat sejarah berdirinya MUI, mula-mula MUI sendiri adalah institusi pendukung kepentingan pemerintah. Ceritanya, Soeharto sadar betul bahwa posisinya kala itu sangatlah rentan. Yang awalnya sangat represif terhadap umat Islam, belakangan Pak Harto jadi melunak bahkan cenderung mengakomodasi kekuatan politik umat Islam.
Alhasil, seperti dicatat James Rush dalam Adicerita Hamka (210), Soeharto dan para kroninya mencari “teman di kalangan umat (Islam) dan mengarahkan para pemimpinnya untuk kepentingan Orde Baru”.
Maka, muncullah gagasan untuk menyatukan ulama dalam sebuah wadah. Ditengarai, ide ini sudah ada sejak 1973. Harapannya, wadah tersebut dapat menjadi tempat para ulama membahas perkara-perkara umat dan mengeluarkan fatwa terkait hukum dan praktik Islam, di antaranya terkait halal-haram makanan/minuman atau kapan Ramadhan berakhir.
Setelah melewati dinamika yang tidak sederhana, Buya Hamka tercatat dalam sejarah MUI sebagai ketua pertama. Ini terjadi atas pertimbangan bahwa dia digadang-gadang dapat menjadi semacam jembatan bagi banyak golongan islamis waktu itu.
Meski begitu, dalam perjalanannya MUI mendapat stigma miring dari publik. Ini seperti dicatat M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013:277), bahwa MUI, betapapun itu, dimaksudkan sebagai sebuah wahana bagi pemerintah untuk mengontrol Islam demi kepentingan rezim. Sejurus kemudian, Hamka mundur sebagai Ketua MUI pada 1981 “sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah”. Demikian Ricklefs.
Pertanyaannya, apakah mundurnya Buya Hamka itu bisa disejajarkan dengan terdepaknya Tengku Zulkarnain dari MUI?
Tentu saja, tidak. Bila Buya Hamka mundur dari jabatan karena merasa tidak bisa bebas menyuarakan gagasannya, Tengku Zulkarnain justru sebaliknya: dia tampaknya sadar betul bahwa menjadi Wasekjen MUI adalah kesempatan emas untuk menyuarakan kepentingannya.
Sewaktu ramai-ramai pembahasan RUU PKS, misalnya, sikap Tengku Zulkarnain cukuplah kentara. Ya, dia tentu saja menolak. Sialnya, alasan penolakannya adalah kelewat menyederhanakan persoalan, bahkan cenderung kontra-produktif.
“Sampai kiamat nggak terima. Kalau hasrat (seks) sudah mau, ya mesti. Si istrinya mah diam aja, tidur aja, nggak sakit kok,” ujar Tengku Zulkarnain dalam dialog membahas pro kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di sebuah stasiun televisi.
Baca Juga, Bolehkah Suami Memaksa Istri untuk Berhubungan Badan?
Lebih dari itu, dia juga menuduh bahwa pemerintah akan melegalkan zina lewat RUU PKS. Tak butuh waktu lama, pernyataan Ayah Naen itu dihujani kritik dari publik. Malahan, pihak MUI sendiri menganggap bahwa pernyataan Tengku Zulkarnain tidak berdasar dan merupakan sebuah kecerobohan.
Jadi, sekali lagi, jika Tengku Zulkarnain berharap agar MUI tetap kritis kepada pemerintah, itu maksudnya kritis yang bagaimana?
Kritis kok minta maap. Bukan “minta maaf”-nya sih yang keliru, tapi mbok ya, anu, bedakan dong antara kritis dan malas berpikir.