Dalam suatu kesempatan, Ibrahim al-Ajiri sedang duduk-duduk santai di pintu sebuah masjid. Tak lama berselang, lewat seorang lelaki (sebut saja Fulan) yang membawa dua kain lap. Ibrahim menduga, orang yang lewat di dekatnya itu adalah seorang pengemis. “Andai saja ia mau bekerja, pasti ia tak akan menjadi pengemis seperti ini,” kata Ibrahim membatin.
Malamnya, Ibrahim bermimpi didatangi dua malaikat. Mereka (dua malaikat) mengajak Ibrahim untuk masuk ke dalam masjid tempat ia duduk-duduk santai di siang harinya. Dalam masjid itu, ia melihat ada seorang yang tidur, dengan dua kain lap menutup wajahnya. Dua malaikat yang membersamai Ibrahim membuka kain itu dan ternyata yang sedang tidur adalah Fulan.
“Makan dagingnya!” perintah kedua malaikat itu kepada Ibrahim.
Ibrahim menolak karena memang ia tak suka dan tak mau. Kedua malaikat itu berkata, “Tapi kamu telah menggunjingnya. Tak ada orang suka digunjingi.” Sontak, kalimat itu membuat Ibrahim terkejut dan akhirnya ia terbangun dari tidurnya.
Selepas kejadian itu, Ibrahim benar-benar menyesal karena telah menggunjing Fulan. Ia kemudian berniat untuk meminta maaf kepada Fulan. Ibrahim pun menunggunya dengan duduk-duduk di pintu masjid. Dengan penuh kesabaran, ia selalu menunggunya dengan harapan semoga orang yang ia anggap pengemis itu lewat lagi. Ia tak beranjak dari tempat duduknya barang sedikitpun kecuali untuk melakukan shalat fardlu saja.
Hari pertama, Ibrahim tak bertemu Fulan. Hari kedua pun sama, tetap tak bertemu. Hari berganti hari, hingga akhirnya ia telah menunggu selama duapuluh sembilan hari lamanya. Pada hari ketigapuluh, Fulan pun lewat. Ibrahim pun segera bergegas menyusulnya. Setelah berhasil mendekatinya, Ibrahim berkata, “Aku ingin berbicara dengan Anda.”
Fulan pun menoleh dan ia berkata, “Wahai Ibrahim, kamu adalah salah satu dari sekian banyak orang mukmin yang menggunjing (ghibah) dengan hati.” Mendengar kalimat itu, Ibrahim langsung jatuh pingsan selama beberapa saat.
Ketika Ibrahim siuman, Fulan berdiri tepat di dekat kepalanya. Ia berkata, “Apakah kamu akan mengulangi lagi untuk menggunjing?”
“Tidak,” jawab Ibrahim.
Lelaki itu pun lantas pergi entah kemana dan Ibrahim tak pernah lagi bertemu dengan Fulan selamanya.
Kisah di atas penulis baca dari kitab Tarikh Baghad karya al-Khatib al-Baghdadi. Lewat kisah ini kita belajar tentang keharaman ghibah (menggunjing) orang lain, meski hanya dengan hati. Al-Jurjani mengatakan, ghibah adalah membahas/menyebut orang lain dengan hal-hal yang tidak ia sukai. Jika apa yang ia katakan benar, maka disebut ghibah. Namun jika salah (tidak ada pada diri yang dighibahi), maka itu namanya berbohong, dan pada derajat tertentu menjadi fitnah.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12)
Walhasil, membicarakan orang lain adalah perbuatan tercela, baik yang dibicarakan benar-benar ada atau tidak dalam diri yang dibicarakan. Baik lewat ayat atau kisah di atas, terbaca dengan jelas bahwa ketika seseorang ghibah berarti ia sama halnya dengan memakan daging saudaranya. Na’udzu billlah. Semoga kita terhindar dari perbuatan ghibah. Amin.
Sumber:
Al-Baghdadi, Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib. Tarikh Baghdad. Beirut: Dar al-Ghurab al-Islami, 2002.
Al-Jurjani, Muhammad al-Sayyid al-Syarif. Mu’jam al-Ta’rifat. Kairo: Dar al-Fadhilah, n.d.