Pernyataan Emmanuel Macron dengan segala motif sekularismenya memang tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Begitu juga respon umat muslim, di Indonesia khususnya, terhadapnya. Di beberapa daerah di Indonesia, Aksi Bela Nabi digelar dalam rangka untuk memastikan ‘keselamatan’ harga diri Islam. Corak dan variasi penyelenggaraannya tidak berbeda dengan kasus Ahok beberapa tahun lalu, hanya beda skala dan daya dobraknya saja. Ada mobil pick-up untuk berorasi, panji-panji, banyak anggota yang memakai syal dan pakaian putih. Sebagian ada yang menggunakan cargo-pants dan baju gombrong sepanjang paha.
Di Jogja misalnya, Aksi Bela Nabi digelar hari Jumat lalu (30/10/2020). Massa mulai memenuhi kawasan Nol KM (Malioboro) selepas shalat Jum’at dan diperkirakan bubar sekitar pukul 4-5 sore.
Seminggu setelah Aksi Bela Nabi, video teaser aksi tersebut rilis di salah satu akun Instagram gerakan dakwah. Video itu memuat massa aksi yang sedang melakukan shalat asar yang terguyur hujan di area simpang Nol KM. Langit kelabu dan tetes-riak air di video itu semakin syahdu ketika dibubuhi shalawat sebagai latar musiknya. Siapa yang tidak tersentuh melihat umat Islam membela Nabi, lalu shalat asar sambil diguyur hujan?
Namun, kita tidak tau di mana najis di Nol Km berada. Saat air hujan turun, tidak ada di antara kita yang tau najis mana saja yang telah membatu sekian lama, lalu mencair, luruh, kemudian mengalir meresap ke kerumunan jamaah. Lantas apa gunanya shalat kalau salah satu syarat sahnya tidak dipenuhi?
Andai Nabi masih hidup dan melihatnya, Nabi mungkin akan mengatakan―apa yang teriwayatkan di Kitab Tanqihul Qoul: “faqihun wahidan mutawarri’an asyaddu ‘ala syaiton min alfi ‘abidin mujtahidin jahilin wari’in” (seorang ahli fiqh yang menjaga diri hal-hal haram itu lebih berat bagi setan dibanding 1000 hamba yang bodoh yang berusaha sungguh-sungguh ibadah dan menjaga diri dari hal-hal haram).
Shalat setidaknya bisa ditinjau dari dua dimensi, yaitu ‘permukaan’ (biasanya menjadi urusannya fiqh) dan asketis (wilayah milik tasawuf). Komitmen pada fiqh adalah gerbang awal menuju asketisme yang sehat, meskipun dimensi asketis sendiri adalah wilayah yang tidak patut untuk diklaim secara sepihak, dan bukan sesuatu bisa dikuantifikasi.
Akan tetapi, shlat sekarang punya dimensi ketiga: dimensi performatif. Ketika shalat telah berubah menjadi video, maka shalat telah berubah menjadi pagelaran afek (laku yang menularkan emosi komunal). Ketika ada salah satu aspek fiqh yang tidak dipenuhi, maka apa yang tersisa dari shalat yang demikian selain performasi?
Penulis melihat bahwa, feeling of sacredity (perasaan kesakralan) selalu dibawa dan disematkan di banyak kegiatan dan simbol oleh kalangan islamis, namun dengan porsi dan ketelitian yang tidak terukur dan tidak terarah. Saat feeling of sacredity tersebut terkena bias gramatika dunia digital, maka timbullah perilaku yang sering kali permukaannya saleh tapi substansinya sering kali mengorbankan dimensi fiqh ataupun dimensi asketis.
Bahagia di dunia ya dengan ilmu, bahagia di akhirat juga dengan ilmu, bahagia di dua tempat itu juga dengan ilmu.
Semua ilmu, entah Barat, Timur, atau luar angkasa, penting untuk―minimalnya―didengar supaya bisa memahami orang lain, tidak mudah marah, dan tidak ceroboh dalam bertindak. Kalau ilmu dunia tidak punya, ilmu fiqh tidak punya, lalu apa yang tersisa dari masa depan islamisme?