Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar menampilkan ragam cara beribadah, strategi dakwah, dan berbagai fenomena khas di kalangan penganutnya. Di antara faktor yang memengaruhi fenomena itu adalah luasnya wilayah, ragam suku, adat istiadat, bahasa, dan tradisi di setiap daerah yang berbeda-beda. Kita dapat menyaksikan bahwa tradisi keislaman yang ada pada masyarakat Jawa, berbeda dengan masyarakat Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Salah satu kajian menarik yang memotret keragaman model dakwah dan cara beribadah di Indonesia terlihat dalam buku “Mosques and Imams: Everyday Islam in Eastern Indonesia”. Buku yang disunting oleh Kathryn M. Robinson ini memotret bagaimana keragaman itu nampak di bagian Indonesia Timur. Buku ini menjelaskan bagaimana migrasi, jaringan, perubahan otoritas keagamaan di Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
Lebih jauh, buku yang diluncurkan dan menjadi bahan diskusi pada acara International Symposium on Religiuous Life 2020 ini memiliki keunggulan dalam menyeimbangkan kajian lokal ke-Indonesiaan di tengah kajian Islam Indonesia. Sejauh ini, barangkali banyak kajian tentang kehidupan keberagamaan masih terlalu banyak yang menyoroti organisasi inklusif dan radikal ekstrim di Jawa. Sehingga kajian-kajian semacam ini perlu banyak dilakukan di beberapa tempat yang kemudian memberikan gambaran warna praktik keberagamaan dan keragaman tersendiri dalam kajian Islam di Indonesia.
Adlin Sila yang hadir dalam acara tersebut dan merupakan salah satu penulis buku ini menjelaskan bahwa jaringan pendakwah migram masyarakat Bugis Makassar memainkan peran sebagai pedagang sekaligus pendatang.
“Mereka menggunakan strategi kesopanan sebagai pendatang agar diterima dan bisa menjalankan ibadah dengan nyaman di masyarakat yang mayoritas non-Muslim. Setelah itu, perlahan mereka membangun mushola, masjid dan menjalankan misi dakwahnya,” jelas Adlin.
Selain itu, Kathryn M. Robinson juga menegaskan bahwa para imam yang merupakan para hafiz dan tergabung dalam kelompok as’adiyah tidak semata-mata mencari penghidupan sebagai seorang imam, melainkan juga berupaya menyambungkan hirarki ke-ulama-an di Sulawesi.
Salah satu caranya, demikian Kathryn, adalah dengan menyambungkan hierarki ke-ulama-an ini adalah dengan membangun jaringan dakwah.
Buku ini tentu sangat penting dibaca oleh para pengkaji Islam Indonesia, khususnya para pegiat kajian Islam lokal. Pembaca buku ini, boleh jadi, akan teringat pada buku Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur karya Hilful Fudhul Sirajuddin Jafar yang terbit belum lama ini.
Dengan mendalami dan menghayati hasil kajian islamisme lokal seperti ini, kita dapat melihat bahwa kemajemukan tidak hanya terjadi pada lintas agama, tapi dalam Islam sendiri. Selain itu, fenomena ini kemudian juga dapat direfleksikan temuannya dalam kehidupan sehari-hari, untuk lebih arif bergumul dengan ‘liyan’.