Konflik Azerbaijan dan Armenia bergejolak hebat. Pertempuran yang terjadi antara pasukan Azerbaijan dan kelompok separatis dukungan Armenia di Nagorno-Karabakh menelan korban sedikitnya 100 orang, termasuk di antaranya adalah warga sipil. Kondisi ini memperparah eskalasi konflik kedua negara tersebut.
Tidak hanya itu, kerugian material dan biaya perang dengan dikerahkannya peralatan tempur, mulai dari tank hingga pesawat nirawak, yang ditaksir mencapai puluhan juta dollar AS. Jika konflik keduanya diteruskan, maka akan semakin banyak korban berjatuhan.
Banyak negara yang mendesak untuk menghentikan perang antar kedua negara dan kembali mencari jalan tengah melalui jalur diplomasi. Jerman, Perancis dan Belgia meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk bersikap untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyatakan keprihatinannya terhadap pecahnya kembali pertempuran di Nagorno-Karabakh. Melalui Stephane Dujarric, Juru Bicara Sekjen PBB, ia menyatakan bahwa Sekjen PBB mengecam keras penggunaan kekuatan militer dalam konflik ini. Ia sangat menyesalkan mengenai tindakan yang berakibat jatuhnya korban jiwa warga sipil.
Sengketa Nagorno-KarabakhÂ
Konflik antara Azerbaijan dan Armenia adalah perseteruan lama yang terus bergejolak. Konflik di Nagorno-Karabakh merupakan konflik yang kompleks karena konflik tersebut terkait dengan sejarah masa lampau ketika Azerbaijan dan Armenia masih berada dalam kekuasaan Uni Soviet.
Berdasarkan sejarahnya, pada Desember 1920, wilayah Nagorno-Karabakh pernah diserahkan pengelolaannya kepada Armenia. Namun, situasi berubah beberapa bulan kemudian. Ketika saat itu, Joseph Stalin, penguasa Uni Soviet, menyerahkan pengelolaan kawasan Nagorno-Karabakh kepada Azerbaijani Soviet Socialist Republic (ASSR).
Tetapi, ada alasan lain yang menyebabkan situasi konflik saat ini. Alasan yang mengemuka diantaranya yakni saat perang itu dimulai, salah satu alasan pemerintah Armenia ingin menarik wilayah Nagorno-Karabakh ke dalam wilayahnya adalah karena di dalamnya terdapat beberapa gereja tua peninggalan bersejarah bangsa Armenia. Di wilayah yang sama juga banyak akar sejarah Turki yang masih ada.
Hal inilah yang membuat Turki juga campur tangan dalam konflik kedua negara. Oleh karena itu, diduga dalam konflik kedua negara, Turki bermain didalamnya yakni dengan mengirimkan tentara bayaran dari Suriah utara untuk membantu pasukan Armenia.
Upaya melepaskan diri oleh sejumlah entitas Armenia di wilayah yang disengketakan menjadi pilihan melalui referendum. Pada tahun 1988, menjelang bubarnya Uni Soviet, sejumlah entitas Armenia mengadakan referendum untuk lepas dari Azerbaijan dan bergabung dengan Armenia.
Tahun 1991, wilayah itu mendeklarasikan kemerdekaannya dengan nama Republik Artsakh. Namun, tak ada satu pun negara anggota PBB yang mengakui keberadaannya. Bahkan, Pemerintah Armenia yang semula diharapkan mendukung penuh juga tidak mengakui keberadaan Artsakh.
Melihat kompleksitas konflik yang terjadi antara Azerbaijan dan Armenia pun menjadi persoalan yang rumit. Pasalnya, ada pelbagai entitas yang terlibat dalam perseteruan kedua negara. Maka, diplomasi dan perundingan diatas meja perlu dilakukan dengan segera.
Mencari Solusi
Konflik kedua kubu yang terus memanas menjadi perhatian dunia internasional. Proses penyelesaian sengketa wilayah Nagorno-Karabakh mau tidak mau harus diselesaikan dengan cara damai dan adil. Tanpa ada pihak yang dirugikan dan sengsara. Sehingga, ada solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Jika dilihat dari pihak-pihak yang bertikai dan negara-negara yang mendukung proses perdamaian, menurut catatan dari Crisis Group, dapat dilihat bagaimana kondisi pada awal tahun 2019 saat kedua pemerintahan,dari pihak Azerbaijan maupun Armenia, telah sama-sama siap mencari solusi damai masalah Nagorno-Karabakh. Kerja sama proyek kemanusiaan antar kedua negara di wilayah konflik bisa menjadi pintu masuk perundingan damai di antara para pihak yang tengah bertikai.
Maka, seharusnya perdamaian mampu ditegakkan dalam sengketa Nagorno-Karabakh. Pasalnya, kedua negara tersebut bertetangga dan mau tidak mau mereka saling bekerjasama dalam pelbagai sektor penting. Jika kedua negara tak mau berdamai, maka konflik berkepanjangan akan terus terjadi.
Desakan internasional untuk menahan diri dan segera menghentikan pertempuran di Nagorno-Karabakh telah dilakukan. Namun, hingga Kamis (1/10/2020) atau hari kelima, pertempuran berlangsung semakin sengit antara militer dari pihak Armenia dan Azerbaijan, setelah para milisi asal Suriah ikut dikerahkan dalam konflik ini.
Perkembangan terakhir yng terbaru menyebutkan mengenai keterlibatan milisi Suriah dalam sengketa Nagorno-Karabakh. Hal ini disampaikan oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron. Macron, dalam pernyataannya, Kamis (1/10/2020), menyebutkan bahwa para milisi Suriah telah bergabung dalam pertempuran di wilayah Nagorno-Karabakh melalui pihak Turki. Ia menilai pengerahan itu sebagai fakta baru yang serius dan bisa mengubah situasi konflik tersebut.
Selain itu, pihak pemerintah Armenia menarik duta besar Armenia untuk Israel untuk proses konsultasi. Pemerintah Armenia menuding bahwa Israel telah menjual senjata ke Azerbaijan yang digunakan dalam konflik tersebut.
Keprihatinan yang sama juga disampaikan Pemerintah Rusia. Kementerian Luar Negeri Rusia, dalam pernyataannya, Rabu (30/9/2020), mengatakan bahwa, pihaknya prihatin tentang adanya laporan keterlibatan militan dari kelompok bersenjata ilegal dari Suriah dan Libya yang dikirim ke zona konflik di Nagorno-Karabakh.
Memasuki hari kelima, pertempuran semakin sengit antara militer Armenia-Azerbaijan. Jumlah korban yang terkonfirmasi bertambah menjadi 136 orang pada Kamis (1/10/2020). Sementara dari pihak Kementerian Pertahanan Armenia menyatakan, pasukannya memukul mundur militer Azerbaijan, menjatuhkan helikopter tempur lawan hingga menghancurkan pesawat nirawak dan kendaraan lapis baja lawannya.
Kementerian Pertahanan Armenia juga menyatakan bahwa militer Azerbaijan secara sporadis menyerang dua desa di wilayah Armenia, di dekat Karabakh, yang mengakibatkan satu orang warga sipil tewas. Kondisi ini semakin membuat perseteruan kedua negara terus memuncak.
Tak ada lagi solusi terbaik kecuali perundingan dan diplomasi. Mediasi negara-negara lain, terutama organisasi internasional PBB harus bersikap atas persoalan ini. Jika tidak, maka akan semakin banyak korban berjatuhan, khususnya dari masyarakat sipil.