Dalam menyikapi problem toleransi dan kerukunan antar umat beragama, para cendekiawan terdahulu telah melakukan satu terobosan dan juga ikhtiar untuk menjawab tantangan ini. Banyak sekali Tokoh yang sering menyampaikan pentingnya toleransi di Indonesia, seperti Gus Dur, Nur Cholis Majid, selain mereka berdua ada juga tokoh yang lebih dulu melakukan hal ini, yaitu Mukti Ali, bapak toleransi.
Perjalanan Keilmuan Mukti Ali
Mukti Ali lahir di Cepu pada tanggal 23 Agustus 1923. Saat itu, ia diberi nama orangtuanya dengan nama Boedjono. Namanya berganti menjadi mukti Ali ketika nyantri di pesantren Termas, Pacitan. Nama ini merupakan pemberian gurunya, Kiyai Hamid.
Mukti Ali merupakan orang yang sangat giat belajar. Ia pun aktif mengikuti pengajian di Pesantren Tebuireng Jombang, di Rembang, dan pesantren di daerah Tuban selama bulan Ramadhan. Pada tahun 1945, ia mulai berhenti menuntut ilmu di pesantren.
Tahun 1946, ia mencoba terjun ke dunia politik dan menjabat sebagai Dewan Wakil Rakyat Blora, namun kiprah nya di politik tidak bertahan lama, sehingga pada tahun berikutnya ia memutuskan untuk meneruskan sekolahnya di STI (Sekolah Tinggi Islam) Yogyakarta.
Nahasnya, Mukti Ali tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Situasi Agresi Militer Belanda II saat itu memaksanya untuk bergabung dengan angkatan perang Sabil, pimpinan Kiai Abdurahman untuk melawan penjajah.
Menurut Khaira Husin, pada tahun 1950 ia melanjutkan perjalanannya ke Mekah untuk beribadah haji sambil menuntut ilmu, kemudian dilanjutkan ke Karachi Pakistan. Dengan bermodalkan kemampuan bahasa Arab, Belanda dan Inggris yang baik, ia pun diterima di Fakultas Sastra Arab program sarjana muda di Universitas Karachi.
Ia mengambil program Sejarah Islam di fakultas tersebut dan berhasil menamatkannya dalam waktu lima tahun. Perjalanan akademisnya tidak berhenti di sini. Ia pun segera melanjutkan jenjang pendidikannya melalui program Ph.D di Universitas yang sama. Lulus dari Karachi, ia terbang kembali ke Kanada untuk melanjutkan studinya di Universitas Mc Gill, spesialisi perbandingan Agama.
Pengabdian dan Prestasi Akademik
Setelah melakukan pengembaraan Panjang, Mukti Ali pun kembali ke Indonesia. Kehadirannya di tanah air membawa dampak luar biasa bagi kemajuan akademik negri ini, khususnya daerah Yogyakarta.
Ia menjadi dosen di Perguruan Tinggi Agama iIslam Negri (PTAIN) Yogyakarta yang saat ini lebih dikenal dengan UIN Sunan Kalijaga, Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta, IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta juga di departemen Agama.
Pada tahun 1960 IAIN Sunan Kalijaga membuka bidang keilmuan perbandingan agama dan Mukti Ali langsung diangkat menjadi ketua prodinya. Ia merupakan pelopor lahirnya Ilmu perbandingan agama di tanah air sehingga ia dijuluki Bapak Perbandingan Agama.
Tahun 1964 Mukti Ali diangkat menjadi wakil rektor urusan Ilmu pengetahuan umum. Ia sangat aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi Yogyakarta, seperti UGM dan kampus Islam lainnya.
Mukti ali merupakan seorang yang sangat aktif dan memiliki mobilitas tinggi. Selain bekerja di dunia kampus, ia juga mendirikan Limited Group yang menjadi wadah bagi anak muda untuk berdiskusi dan mendalami masalah keagaman, budaya, juga masyarakat.
Di tempat diskusi ini lah banyak terlahir cendekiawan seperti dirinya, seperti Ahmad Wahib dan yang lainnya.
Tidak berhenti sampai di sini, ia pun pernah berkarir sebagai seorang birokrat. Pada tahun 1971 ia dilantik menjadi Menteri Agama menggantikan KH Muhammad Dahlan. Pada titik ini lah ia mulai melakukan analisis terhadap problem keagamaan.
Saat menjabat sebagai menteri agama, ia memiliki beberapa tugas dan program. Pertama, menjadi pelindung urgensi sosial keagamaan umat islam. Kedua, ia memainkan peran sebagai pemelihara pluralitas keagamaan di Indonesia. Ketiga, ia berusaha memajukan umat Islam melalui perbaikan lembaga pendidikan Islam sekaligus meningkatkan akademiknya. (Ali Munhanif, Mukti Ali: Modernisasi Politik Keagamaan Orba).
Saat menjadi menteri agama, ia fokus pada pencarian solusi terhadap masalah kerukunan umat beragama, sehingga ia sering membuat atau memfasilitasi dialog-dialog antar umat beragama.
Ihtiar membangun Toleransi
Kenyataan pluralisme yang tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia ini masih menjadi problem mendasar hingga saat ini. Keragaman dalam masyarakat memang terkesan unik dan otentik, Keragaman ini menjadi budaya, dan untuk menumbuhkan nilai positif tentu dibutuhkan toleransi dan juga sikap budi luhur terhadap berbagai kepercayaan yang berbeda. (Budi Munawar, Resolusi Konflik Agama dan Klaim Kebenaran).
Menurut Ngainun Naim, Mukti Ali melihat wacana pluralitas masyarakat Indonesia secara serius dan berusaha menggagas suatu cara untuk merekatkan hubungan baik antar golongan. Cara tersebut adalah dengan berdialog.
Maksud dari dialog menurut Mukti Ali ialah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk agama. Singkatnya, setiap umat beragama harus mengedepankan dialog, duduk bersama mencari solusi atas setiap permasalahan yang sedang terjadi, terutama masalah keagaman. (AN)