Mundurnya Febri Diansyah dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentu saja mengundang banyak pertanyaan. Tapi, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul rasanya telah kentara sejak lembaga anti rasuah ini mulai dibatasi ruang geraknya serta beredarnya kabar burung tak berdasar. Yang paling dekat adalah RUU KPK dan rumor talibanisasi KPK.
Febri mengajukan surat pengunduran diri kepada pimpinan KPK sejak 18 September lalu, namun baru mencuat ke publik pada Kamis, 24 September kemarin.
“Saya sudah 11 bulan mencoba situasi yang baru (menjadi Kepala Biro Humas KPK), tapi ruang gerak untuk berkontribusi lebih terasa makin terbatas sehingga saya harus keluar,” kata Febri Diansyah, dirilis wawancara Detikcom di ruang Perpustakaan KPK, Kamis petang kemarin.
Ia mengaku butuh waktu lebih dari seminggu untuk bisa menulis pengunduran diri. Sebelumnya dia mengaku telah melakukan istikharah, berdiskusi dengan teman-temannya, serta orang tua dan keluarga.
“Isteri saya bilang surat ini seperti ditulis orang yang putus cinta,” ujar Febri.
Mundurnya Febri Diansyah dari KPK ini patut diacungi jempol. Lembaga anti-rasuah itu sudah dikebiri. Ketuanya baru saja melakukan pelanggaran etik yg serius, tetapi tidak mendapatkan sanksi apapun. Dewas pun tidak bergigi.
Sedih. https://t.co/crABa9clsi
— Ulil Abshar-Abdalla (@ulil) September 24, 2020
Menurutnya, setahun setelah revisi UU KPK disahkan, apa yang dikhawatirkan publik soal pelemahan KPK rasanya menjadi kenyataan.
“Kalau mau bicara efektifitas pemberantasan korupsi, dan kerja KPK, yang paling utama adalah independensi. Kalau independensi sudah tidak ada, kita tidak tahu nasib pemberantasan korupsi akan seperti apa,” terang alumnus Fakultas Hukum UGM, 2007 itu.
Lebih jauh, Febri mengaku bahwa pengunduran dirinya tak terkait dengan vonis Dewan Pengawas KPK terhadap Ketua KPK Firli Bahuri.
Seperti diketahui, Firli belum lama ini mendapat putusan pelanggaran kode etik. Pasalnya, ia diketahui menggunakan helikopter mewah dalam perjalanan dari Palembang ke Baturaja pada Sabtu, 20 Juni 2020.
Padahal, aturan tentang larangan insan KPK bergaya hidup mewah itu telah benderang adanaya.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, poin 27 aspek integritas mengatakan: Kode Etik dari Nilai Dasar Integritas tercermin dalam Pedoman Perilaku bagi Insan Komisi sebagai berikut: Tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat, terutama kepada sesama Insan Komisi.