Ceritaku Masuk LDII dan Kontroversinya di Mata Umat (1/2)

Ceritaku Masuk LDII dan Kontroversinya di Mata Umat (1/2)

Jamaah LDII dianggap ekslusif. Mereka mengelap apapun yang disentuh dan dipegang oleh orang lain yang bukan jamaahnya. Padahal tidak demikian juga.

Ceritaku Masuk LDII dan Kontroversinya di Mata Umat (1/2)
Foto: Economiczone

LDII trending lagi. Begitu kalimat yang saya baca di linimasa ketika login Twitter beberapa waktu yang lalu. Kebetulan Islami.co menantang kepada siapa saja yang mau untuk mengirimkan tulisan seputar ormas LDII. Namun sampai tulisan ini saya buat belum ada tulisan yang mengupas tentang LDII ini.

Seperti saya duga sebelumnya twit tentang LDII selalu saja berisi tentang kontroversi seputar pelaksanaan ibadah dan bagaimana para jamaahnya menganggap orang lain diluar jamaah LDII. Melelahkan sebenarnya membaca sesuatu yang tidak penting seperti itu.

Tapi baiklah, saya akan sedikit bercerita tentang pengalaman saya ketika mengaji di LDII. Tanpa bermaksud menelanjangi ataupun offensif tentu saja karena saya orang yang paling anti ketika melihat  ada orang berpindah dari satu keyakinan lalu menelanjangi keyakinan yang sebelumnya dia anut. Apalagi ini sebagai sama-sama entitas Islam, hanya kebetulan saja wadah aktualisasinya berbeda.

Saya mulai mengaji di LDII tahun 1997. Sebenarnya secara tidak sengaja, karena niat awal saya hanya untuk mengawal ibu yang sudah sepuh yang lebih dulu mengaji di kelompok ini sejak tahun 1995-an. Cerita awal ibu saya mengaji tidak akan saya tulis di sini karena akan terlalu panjang nantinya.

Selama itu saya tidak pernah melihat kejanggalan apapun terkait perilaku atau apapun yang melekat pada Ibu. Kehidupan sosialnya pun biasa saja, begitu juga hubungan ibu dengan saudara-saudaranya maupun kakak saya yang lain terlihat normal meskipun mereka bukan jamaah LDII. Kebetulan ibu juga termasuk warga masyarakat yang aktif di lingkungan baik di level PKK RT maupun RW sampai Dasa Wisma. Sebagai seorang pensiunan beliau juga aktif di kegiatan PWRI.

Begitupun saya, sebelum atau sesudah ngaji di LDII juga bersikap biasa saja. Tidak kemudian membatasi pergaulan hanya dengan teman sekelompok saja. Akan rugi sekali mengingat kebanyakan teman saya bukan dari jamaah LDII.

Saat mereka datang ke rumah saya juga biasa, tidak ada seremoni ngepel lantai atau ngelap kursi bekas duduk. Kalau itu sampai saya lakukan niscaya akan berat sekali karena teman saya banyak, demikian juga teman-teman ibu dan saudara yang sering silaturahmi ke rumah. Sebagai anak tertua, ibu sering sekali disowani adik-adiknya, om dan tante saya.

Rumah ibu terbilang cukup besar, penghuninya hanya kami berdua saja. Kakak saya yang lain sudah memiliki kehidupan sendiri di luar kota. Kebetulan saya tinggal di paviliun yang dihubungkan oleh pintu belakang. Karena itu hampir setiap tahun ibu menampung mubalighot LDII yang ditugaskan di kelompok tempat kami mengaji. Kelak ada mubalighot yang kemudian saya persunting sebagai istri.

Terlepas dari kontroversinya, pengajian di LDII ini tergolong intens dan terprogram dengan baik. Mulai dari level Pusat sampai ke daerah, bahkan sampai kepada kelompok terkecil. Juga terklasifikasi, mulai untuk mereka yang berusia lanjut, remaja, sampai ke anak-anak dengan materi yang sudah ditentukan oleh organisasi. Materinya tentu saja bersumber dari Al-Quran dan Hadis.

Seperti halnya organisasi lain struktur organisasi LDII pun memiliki kepengurusan mulai dari DPP, DPD sampai DPC. Turut berduka cita karena Ketua Umum LDII yaitu Prof. Dr. K.H Abdullah Syam, belum lama ini dipanggil menghadap Illahi setelah terpapar virus Covid-19.

Saya harus jujur mengakui melalui LDII juga saya diperkenalkan dengan Islam setelah sebelumnya Islam saya hanya pemanis di kolom KTP saja. Saya bisa baca dan tulis Al-Quran setelah ikut ngaji di LDII atas bimbingan dari para remajanya. Kebetulan kelompok pengajian kami dekat dengan kampus sehingga banyak jamaahnya yang berstatus mahasiswa.

Bahkan di tahun 2007 saya bisa pergi haji setelah adanya program arisan haji di LDII. Unik, kan? Saya terbengong ketika baru putaran pertama arisan nama saya yang paling dulu keluar. Waktu itu saya tidak tahu harus ngapain karena usia yang masih tergolong muda dan secara ilmu pun dibilang masih mentah. Tapi mengingat betapa bahagianya ibu, mustahil bagi saya untuk menolak. Apalagi jika mengingat tahun itu antrian untuk bisa berangkat haji juga sudah termasuk panjang. It’s point of no return. Mumpung masih muda, tenaga masih ada dan lagi panjangnya umur tidak ada yang tahu, kan?

Sebelum itu, tahun 2002 saya menikah, juga dengan mubalighot yang kebetulan waktu itu bertugas di kelompok pengajian saya dan ditempatkan di rumah ibu. Hehe, pagar makan tanaman. Itulah kebahagiaan ibu berikutnya setelah saya mau belajar Islam dan bisa baca tulis Al-Qur’an akhirnya pun saya menikah di usia yang relatif tidak muda lagi dengan wanita yang faham dengan nilai-nilai agama, wow ! Barangkali ini yang disebut berkah, blessing in disguise atau apalah ketika kita memiliki niat membahagiakan ibu walaupun seujung kuku.

Sebagai anak bungsu dari 5 bersaudara oleh kakak-kakak saya memang diamanahi menjaga ibu, baik secara fisik maupun penggalih ( perasaan ). Dan alhamdulillah amanat itu bisa saya laksanakan dengan baik. Termasuk ketika kemudian saya harus menemani beliau menghadiri setiap pengajian di LDII pun saya yang mengantar.

Ini juga yang dilakukan oleh kakak yang lain, ketika ibu kebetulan beberapa hari menginap di rumah mereka di luar kota mereka lah yang mengantar ibu ngaji. Bedanya karena intensitasnya tidak terlalu sering kakak saya yang lain tidak ikut dalam pengajian LDII, dan itu tidak jadi masalah buat ibu.

Begitulah sampai akhirnya pada tahun 2009 ibu meninggal. Kehilangan tentu saja, tapi kami merasa puas karena semua bisa memberikan peran terbaik buat ibu di ujung usianya walaupun tentu saja itu masih tidak seberapa dibanding perjuangan ibu membesarkan kami semua. Ibu menjadi single parent sampai akhir hayat sejak meninggalnya bapak tahun 1982.

Saat wafatnya jenazah ibu dipulasara oleh ibu-ibu jamaah LDII. Mulai saat menyucikan sampai mengkafani. Dalam jamaah LDII memang ada yang ditugaskan untuk menangani hal-hal tertentu. Salah satunya tim pemulasaraan jenazah apabila ada jamaah nya yang meninggal.

Ada juga tim perkawinan, jika ada jamaahnya yang sudah masuk dalam usia nikah dan dianggap siap secara fisik, ekonomi dan psikologis maka tim ini bergerak cepat. Tim ini akan bergerilya mencarikan pasangan, tentu saja tanpa paksaan. Pertimbangannya tentu saja untuk menghindari perzinahan. Jadi buat para jomblo, ngaji lah di LDII hahaha.

Itulah mengapa seorang jamaah LDII kebanyakan menikah dengan circle mereka sendiri. Ini sering ramai dibicarakan padahal, kan, tidak ada salahnya juga. Seperti halnya jamaah NU menikahi sesama NU atau seorang pria Muhammadiyah yang juga menikah dengan wanita Muhammadiyah, salahnya dimana ?

Bersambung ke tulisan selanjutnya: Ceritaku Masuk LDII dan Kontroversinya di Mata Umat (2/2)