Liputan TV One tentang fakta salah satu aliran dalam Islam, Syi’ah, justru membuat kehidupan keberagaman kita jadi rumit. Apalagi, TVOne membungkusnya sebagai narasi ‘fakta’ dengan data yang layak kita pertanyakan
Mendapatkan sorotan setiap melaksanakan ritual kadang menimbulkan ketidaknyamanan, bahkan rasa tidak aman. Mungkin itulah yang dirasakan oleh kelompok Syiah di Indonesia. Seperti, setiap di tanggal 10 Muharram, mereka sering mendapatkan mulai dari intimidasi, ancaman, teror hingga penyerangan.
Perilaku negatif di atas biasanya didasari dari anggapan pelaksanaan ritual peringatan Asyura mereka dianggap berlebihan dan menyesatkan. Informasi tentang kelompok Syiah yang biasa kita konsumsi adalah ada juga yang terkait ajaran atau warta terkait mereka namun lebih banyak beraroma misinformasi. Selain itu juga berisi kekerasan atau kekejaman yang mereka alami.
Rasanya, sudah menjadi pemandangan biasa jika pemahaman yang tidak utuh tentang Syiah yang disebarluaskan oleh berbagai pihak. Informasi tersebut kemudian kita konsumsi dan menjadi pengetahuan kita terkait kelompok tersebut. Sayangnya, kita jarang memverifikasi atau tabayyun atas apa yang kita percayai selama ini.
Misalnya, beberapa hari yang lalu, TVOne menyiarkan tentang kelompok Syiah dalam sebuah program “Fakta.” Menariknya, saya melihat program tersebut malah meneguhkan apa yang menjadi stigma terhadap kelompok Syiah, ketimbang memberikan penjelasan dan informasi yang membuat pemirsa bisa memahami fakta tentang ajaran dan ritual kelompok pengagum Imam Ali tersebut.
Bagaimana ini bisa terjadi? Dan apa yang seharusnya dilakukan oleh TVOne dalam bingkai kebangsaan dan kemanusiaan?
Pemberitaan TVOne yang “Terlihat” Adil, Namun Bermasalah
Dalam dunia media, istilah “Jurnalisme Damai” adalah sebuah produk jurnalisme yang menuntut editor dan jurnalis untuk membuat berita dengan mempertimbangkan apakah berita tersebut membuka kemungkinan peleraian konflik tanpa kekerasan atau setidaknya menguranginya. Remotivi dalam sebuah konten Youtube menjelaskan ada beberapa prinsip penting dalam model jurnalisme tersebut.
Pertama, model jurnalisme ini menuntut media massa untuk terus memverifikasi, selain itu para reporter dan editor juga dituntut untuk memberi konteks untuk setidaknya membantu warga dalam memahami keadaan yang sebenarnya. Kedua, jurnalisme damai juga harus berorientasi masyarakat yang terdampak. Media memiliki kewajiban bahwa konflik dan kekerasan yang terjadi tentu berdampak di masyarakat.
Ketiga, media juga dapat mengajak masyarakat untuk lebih berempati, ketimbang menyuburkan permusuhan. Terakhir, media juga harus berfokus pada solusi atas konflik atau kekerasan yang terjadi. Media perlu menghadirkan inisiatif siapapun yang dapat menurunkan potensi dampak buruk dari sebuah konflik.
Ketika TVOne menghadirkan pemberitaan lewat program investigasi mendalam lewat tayangan “Fakta,” sebenarnya kita bisa menghargai apa yang dilakukan mereka, karena ide mereka bisa diterima jika ingin menghadirkan kelompok Syiah dalam bingkai jurnalisme damai.
Sayangnya, terdapat beberapa kesalahan fatal dalam tayangan TVOne tentang kelompok Syiah kemarin. Mereka sepertinya tidak memiliki agenda perdamaian sama sekali dalam tayangan tersebut. Alih-alih, mencoba mengurai persoalan kehadiran kelompok Syiah di Indonesia yang bagaikan benang kusut, TVOne malah terlihat memanasi persoalan selama ini.
Mari kita lihat beberapa kekeliruan TVOne dalam tayangan “Fakta” tersebut. Pertama, judul pemberitaan tersebut jelas sekali memperlihatkan TVOne tidak memiliki agenda publik, yakni jurnalisme damai.
Judul yang mereka pasang adalah “Ramai Penolakan, Syiah Tetap Berjalan.” Dari diksi yang diambil TVOne jelas mereka hanya mengafirmasi massa atau kelompok mayoritas. Apapun alasan mereka mengambil judul tersebut, Syiah yang selama ini dituduh atau diberi berbagai stigma negatif oleh masyarakat, semakin diteguhkan dari judul yang diambil oleh TVOne.
Kedua, para sosok narasumber yang dijadikan sumber informasi. TVOne memang mengandalkan kode etik dalam jurnalisme di acara tersebut. Namun, mereka gagal melihat persoalan kehadiran kelompok Syiah di Indonesia, sehingga pemilihan narasumber pun turut gagal.
TVOne harusnya menyadari jika ingin menghadirkan kelompok Syiah dalam bingkai kedamaian, mereka harusnya bisa menghadirkan pembicara yang memahami dan bisa menjelaskan bagaimana duduk persoalan terkait kelompok Syiah, agama Islam dan Negara. Menghadirkan Ust. Haikal Hassan Baras, sebagai perwakilan ANNAS (Aliansi Nasional Anti-Syiah), justru memanasi permasalahan saja.
Ketiga, pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Saya tidak melihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan host acara tersebut kepada narasumber berlandaskan pada prinsip jurnalisme damai, jika tidak mau dibilang mereka tidak memiliki agenda sama sekali dalam tema kemarin.
Seperti host gagal menghadirkan pertanyaan kepada narasumber tentang posisi Syiah dalam agama Islam, dan bagaimana seharusnya melihat perbedaan pandangan dalam Islam. Pertanyaan host masih berkisar pada stigma yang ada di masyarakat, sehingga mereka gagal menghadirkan pemahaman yang utuh dalam mengetahui apa dan bagaimana itu Syiah dalam Islam.
Dalam banyak kegagalan di atas, TVOne sama sekali tidak memakai model jurnalisme damai dalam melihat kelompok Syiah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita seharusnya lebih bisa menghadirkan pemahaman yang baik dan empati terhadap kelompok Syiah. Sebab, kita sebenarnya bisa hidup berdampingan sebagaimana kelompok lain di Indonesia.
Dampak Buruk Banalitas Kekerasan dan Hegemoni dalam Pemberitaan Tentang Syiah
Ketika wacana tentang Syiah yang kita konsumsi berisi informasi yang menyesatkan dan hanya bersumber satu pihak, tentu imaji kita terhadap mereka sangat tidak adil. Sedangkan, saat ihwal yang kita serap berisi kekerasan, intimidasi dan kekejaman atas mereka maka kemungkinan besar kita akan memaklumi kekerasan yang mereka alami.
Hannah Arendt sebagai seorang filsuf berkebangsaan Jerman yang menjadi korban kekerasan rezim Nazi, pernah menggambarkan bahwa ada situasi di mana kejahatan dirasa bukan lagi sebuah kejahatan melainkan adalah hal yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Situasi tersebut disebut oleh Arendt dengan “Banalitas Kejahatan.”
Selain itu, pemberitaan yang tidak berimbang dan tidak memiliki agenda publik untuk mengurai konflik atau kekerasan sebagai sebuah kejahatan. Dalam kondisi seperti ini rentan sekali terdapat apa yang disebut oleh Antonio Gramsci, filsuf asal Italia, sebagai hegemoni kultural. Sebuah sarana kultural maupun ideologis bagi kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat untuk melestarikan dan mengamankan dominasinya terhadap kelompok yang liyan.
Kembali pada pemberitaan terhadap kelompok Syiah di Indonesia, pemberitaan yang dikuasai dengan informasi yang sesat tersebut kemudian dijadikan alat untuk melegitimasi oleh kelompok mayoritas. Dengan menonjolkan “kesesatan” yang sering disandarkan dari informasi diperoleh dari pihak dominan secara berulang-ulang, kelompok Syiah terus dituduh sebagai kelompok yang sesat dan membahayakan.
Tuduhan tersebut kemudian dapat dijadikan label yang bisa melegitimasi beragam intimidasi dan kekerasan terhadap kelompok Syiah. Dan ketika intimidasi dan kekerasan tersebut terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah masyarakat malah “merestui” atau minimal menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja atau sesuatu yang wajar.
Salah satu pemberitaan mereka di Sampang, Madura, yang mendapatkan penyerangan sekaligus pengerusakan. Kekerasan tersebut terjadi saat pelaksanaan perayaan hari raya ketupat di tahun 2012 di kelompok Syiah. Kejadian ini merupakan ulangan dari penyerangan yang terjadi di tahun sebelumnya.
Dalam berita kekerasan di Sampang yang disebarluaskan oleh media ini, kelompok Syiah hanya dijadikan objek belaka. Kebanyakan media gagal menghadirkan pemahaman pada masyarakat bahwa kita semua adalah korban dari beragam tindak kekerasan yang terjadi di publik, baik yang merasakan atau tidak.
Selain itu, beberapa tahun lalu di Banjarmasin pernah viral sebuah postingan berupa sejumlah foto yang merekam pelaksanaan ritual Asyura oleh kelompok Syiah. Tanggapan dan komentar negatif pun turut membanjiri linimasa media sosial. Walau tidak sempat menimbulkan kekerasan, namun kejadian tersebut tentu menempatkan mereka dalam perasaan tidak aman dan nyaman dalam melakukan ritual.
Dua ihwal di atas hanya sebagian dari apa yang dialami oleh kelompok pengagum Imam Ali tersebut. Dalam dua kasus di atas terkesan kelompok Syiah sama sekali dibiarkan merasakan kekejaman yang dilakukan orang lain. Kekerasan yang dibiarkan dan dianggap biasa terlihat sebagai sebuah hegemoni yang luar biasa terhadap sebuah kelompok keagamaan yang ada di Indonesia.
Bicara tentang kelompok Syiah di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini, kisah tentang penyerangan, teror, ancaman dan intimidasi yang mereka alami sepertinya lebih sering muncul dalam pemberitaan media. Bahkan, aparat keamanan dan pimpinan daerah biasanya lebih sering mengikuti desakan massa atau tokoh agama dalam menyikapi keberadaan kelompok Syiah. Kondisi ini mereka rasakan hingga sekarang.
Jadi, pembiaran terhadap tindak kekerasan terhadap kelompok Syiah seharusnya tidak boleh lagi terjadi, termasuk pemberitaan yang menyebarluaskan tindakan tersebut juga harus dapat menghadirkan empati dan pemahaman terhadap masyarakat. Warga harus memhami bahwa tidak ada tindak kekerasan yang bisa ditolerir apalagi dibiarkan atau dijadikan peneguh hegemoni sebuah kelompok.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin