Abad pertengahan merupakan salah satu sejarah kelam. Masa-masa itu pernah terjadi wabah Black Death dan belum ada epidemiologi yang akurat untuk mencegah dan mengobatinya. Presepsi masyarakat yang muncul malah bermacam-macam.
Yuval Noah Harari (dalam bagian awal bukunya Homo Deus: Masa Depan Umat manusia) menyebut Wabah penyakit sebagai satu dari tiga faktor yang berada di puncak mimpi buruk umat manusia, di samping perang dan kelaparan. Lain halnya dengan dua faktor lain, yang telah lebih dapat dikendalikan dan dicegah, wabah penyakit adalah tragedi yang paling sulit diatasi, bahkan untuk sekedar dipahami dan diprediksi.
Satu dari pandemi wabah paling dahsyat yang pernah terjadi di muka bumi adalah wabah Black Death atau maut hitam. Wabah sampar ini menyeruak pertama kali di Eropa, membunuh hingga 200 juta orang. Wabah ini begitu mengerikan, sesuai namanya, ia membuat kulit-kulit di bagian tubuh penderitanya menghitam akibat jaringan-jaringan di bawahnya mati.
Baca juga: Hadis Nabi yang Menunjukkan bahwa Wabah Bukan Konspirasi
Wabah ini juga menyebar ke beberapa kawasan Islam khususnya wilayah Afrika Utara dan Asia Barat. Selain dipandang dari efeknya yang dahsyat, wabah tersebut juga dihadapi manusia dengan bekal yang begitu terbatas. Pemahaman mereka terhadap wabah dan epidemiologi masih amat dangkal. Akhirnya respon terhadap wabah Black Death, baik di Eropa maupun di Asia, menjadi isu yang penting. Bagaimana ia menjadi pelajaran untuk menghadapi pandemi yang sedang dan akan terus terjadi.
Pemahaman Masyarakat tentang Hakikat Wabah
Joseph A. Legan (dalam sebuah jurnal yang diterbitkan oleh James Madison University: The Medical Responses to The Black Death, hlm. 36), menyatakan ada tiga cara pandang yang dominan di kalangan masyarakat islam kala itu, dalam melihat kemunculan wabah yaitu: (1) wabah merupakan proses penghapus dosa dan penyebab kesyahidan (meninggal dalam keadaan mulia), (2) seseorang tidak boleh keluar-masuk dari area yang menjadi penyebaran wabah, (3) dan tidak ada penularan dari penyakit karena ia semata-mata datang dari Allah.
Tiga prinsip yang menjadi arus utama ini merupakan pengaruh dari pemahaman hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Lihat Bukhari, No.3473 dan 2221.
Cara pandang terhadap merebaknya wabah dalam bingkai teks-teks keagamaan memang sangat dominan. Arus pemahaman semacam ini dapat disaksikan dalam karya tulis Ibn Hajar Al-‘Asqalani berjudul Bazlul Mal’un fi fadhli Tha’un. Al-‘Asqalani merupakan salah seorang ulama besar yang hidup dan menyaksikan tragedi tersebut saat di Mesir. Dalam bukunya, Al-‘Asqalani turut membahas hakikat wabah sebagai hukuman kepada orang kafir dan keterlibatan jin dan setan dalam penyebarannya.
Tiga sudut pandang ini begitu mempengaruhi opini dan sikap umat islam terhadap peristiwa wabah tersebut. pandangan bahwa wabah sebagai bentuk hukuman bagi orang kafir, dan kasih sayang (di tambah pemberian status syahid bagi korban meninggal) untuk orang beriman memberi suatu efek ketenangan bagi masyarakat, dalam menghadapi bencana mengerikan (yang juga hanya dapat disikapi dengan cara yang mengerikan pula).
Larangan bepergian dari dan menuju kawasan yang telah dihinggapi wabah black death juga turut memberikan peran, meski larangan ini tidak ditaati sepenuhnya. Ada banyak bukti yang menunjukkan arus perpindahan penduduk cukup tinggi selama masa wabah, khususnya arus urbanisasi. Banyak orang di pedesaan yang kemudian lari menuju kota-kota besar.
Hal ini dipengaruhi oleh banyak sebab. Pertama, ketersediaan dan akses terhadap makanan dan gaji (setelah wabah berlangsung bertahun-tahun dan menyebabkan guncangan ekonomi), di daerah perkotaan yang lebih bisa diharapkan. Kedua, daerah perkotaan memiliki bangunan masjid-mesjid besar, yang diyakini sebagai tempat suci, dan juga mengadakan acara seremonial keagamaan yang dipercaya dapat memberikan proteksi yang lebih “menjanjikan” dari wabah. (lihat: Michael W. Dols: The Comparative Communal Responses to The Black Death in Muslim and Christian Societies, hlm.9).
Prinsip ketiga bahwa wabah penyakit tidak menular dari satu orang ke orang lain, juga menimbulkan efek yang sangat reaktif. (sama halnya dengan prinsip pertama) ia memberi sedikit rasa ketenangan bagi masyarakat. Namun, sebagian Intelektual Muslim juga menolak keras hal ini. Mereka secara tegas menyatakan transmisi wabah justru berasal dari penularan dari satu orang ke orang lain. Hal ini sekaligus menjadi kritik terhadap bentuk interpretasi hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah ini.
Di antara penolakan bahwa wabah penyakit, termasuk black death tidak menular berasal dari Lisanuddin Ibnul Khathib (1313-1374) seorang penyair, penulis, ahli hukum, dokter di Andalusia. Beliau menulis satu kitab berjudul Muqni’at As-Sai’l ‘An Al-Mardh Al-Hai’l yang berarti “berbagai pertanyaan terkait penyakit yang mengerikan”. Dalam bukunya, beliau mengkritik banyak keyakinan tentang wabah yang diyakini umat Islam, berbagai anggapan yang berbasis dari ajaran agama, atau setidaknya interpretasi terhadap teks-teks agama.
Sayangnya apa yang dilakukan oleh Ibnul Khathib di masa itu justru berakibat buruk terhadap dirinya sendiri. Ia mengalami banyak persekusi, tuduhan-tuduhan anti agama hingga ateis. Ibnul Khathib sendiri kemudian tewas terbunuh. Pembunuhan beliau dilatarbelakangi oleh banyak motif kebencian yang sudah menumpuk pada diri beliau, mulai diri motif politik, hingga kebencian kaum radikal. (lihat Az-Zirikli, Al-A’lam VI:hlm.235. Ibn Khalliqan, Syazaratuz Zahab I:hlm 69. Ibn Khaldun, Tarikhul Barbar, hlm 70).