Muhammad Thahir ibn ‘Asyur memiliki pemahaman tersendiri tentang kemerdekaan. Pemahaman Ibnu Asyur terejawentahkan dalam sebuah karyanya berjudul Maqashid al-Syari‘ah al-Islamiyyah dalam bab khusus “al-hurriyyah ma’naha, wa madaha, wa maratibuha fī nadzri al-Syari’ah”
Muhammad Thahir ibn ‘Asyur (w. 1974) adalah ulama ahli tafsir dan filsafat hukum Islam yang karya magnum opusnya, Maqashid al-Syari‘ah al-Islamiyyah, menginspirasi ulama sesudahnya untuk mengkaji kembali khazanah pemikiran Islam yang telah lama tenggelam: maqashid syari‘ah atau filsafat hukum Islam. Karya tafsirnya, at-Tahrir wa at-Tanwir juga menjadi pelopor tafsir maqasidi yang kini jadi primadona dalam jagad keilmuan tafsir era kontemporer.
Mantan Mufti Malikiyyah Tunisia ini hidup di dua fragmen sejarah bangsanya: sejarah ketika Tunisia menjadi protektorat Prancis dan sejarah Tunisia merdeka. Sebagai seorang nasionalis yang mencintai bangsanya, ia juga mempunyai perhatian terhadap kemerdekaan dan menulis bab khusus yang berjudul “al-hurriyyah ma’naha, wa madaha, wa maratibuha fī nadzri al-Syari’ah” (Kebebasan : Arti, Ruang Lingkup dan Tingkatannya dalam Pandangan Syariah)
Menurut Ibnu ‘Asyur, kemerdekaan/kebebasan (hurriyyah) merupakan tujuan agama yang agung, karena digali dan di-inferensi dari banyak dalil yang secara akumulatif mencapai derajat mutawatir. Ada sejumlah nash dan ketentuan syariah yang secara substantif berorientasi pada tujuan terwujudnya hurriyyah atau kemerdekaan.
Anjuran untuk memerdekakan budak, perintah untuk menerima permohonan mukatabah (pemerdekaan secara mencicil), menjadikan pemerdekaan budak sebagai kafarat (tebusan) pelanggaran aturan syariat, serta perintah untuk memberi makanan dan pakaian budak sama dengan makanan dan pakaian majikan, merupakan sedikit dari banyak bukti bahwa Tuhan menghendaki agar manusia meraih kemerdekaanya.
Ruang lingkup kemerdekaan/kebebasan
Menurut Ibn Asyur, ada lima ruang lingkup atau aspek kebebasan dikehendaki oleh syariat:
Pertama, merdeka berarti terbebas dari perbudakan (hurriyyah ‘an al-‘ubudiyyah). Budak dengan makna haqiqi memang sudah terhapus dari peradaban, namun perbudakan gaya baru masih dijumpai di era modern. Bertalian dengan yang kedua, Ibn Asyur membuat definisi bahwa merdeka dari perbudakan berarti “tindakan seseorang ‘secara asal’ tidak bergantung atas ijin orang lain”. Penekanan kata ‘secara asal’ dimaksudkan untuk mengecualikan pembatasan atas orang idiot (safīh) untuk membelanjakan hartanya, misalnya, karena pembatasan ini sejatinya untuk kemaslahatan dirinya, sehingga pembatasan ini tidak merusak makna kemerdekaan.
Ditinjau dari perspektif lebih luas, kaitannya dengan kolonialisme, merdeka berarti kebebasan sebuah bangsa untuk menentukan nasib dan cita-citanya sendiri tanpa bergantung oleh ijin bangsa lain. Di sini tampak bahwa pemikirannya tentang maqaṣid syarī‘ah tidak hanya berkutat dalam persoalan fikih an sich, namun juga menyinggung tentang nasionalisme.
Kedua, merdeka berarti kebebasan untuk berkeyakinan (hurriyyah al-i’tiqad). Kebebasan ini tercermin dalam penegasan tidak ada paksaan untuk memeluk agama (la ikraha fi al-din), kebebasan memilih keyakinan (fa man sya’a falyu’min wa man sya’a fal yakfur) dan anjuran untuk berdebat dengan bijaksana (wa jadilhum bil lati hiya ahsan).
Kebebasan berkeyakinan ini dibatasi oleh hifdzu din (pelestarian agama), sehingga kendati seseoramg bebas memeluk agama yang diyakini, namun ia tidak dibenarkan menyerang atau menyatroni ajaran agama lain.
Ketiga, merdeka berarti bebas berpendapat dan bersuara (hurriyyah al-aqwal). Kebebasan berpendapat ini dibatasi oleh hifdzu din (menjaga agama) dan hifdzu al-‘irdh (menjaga harga diri), sehingga meskipun seseorang memiliki kebebasan berbicara, namun ia tidak boleh menyerang ajaran agama dan tidak boleh merisak harga diri orang lain.
Perundungan, fitnah, merundung cara beragama orang, bukanlah bentuk kemerdekaan, melainkan justru merusak makna kemerdekaan itu sendiri, karena sejatinya kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain dan kemerdekaan kita tidak boleh mengganggu kemerdekaan orang lain.
Keempat, merdeka berarti bebas berkarya atau berwirausaha (hurriyyah al-‘amal). Kebebasan ini dibatasi oleh hifdzul mal (pelestarian aset) dan hifdzul bi’ah (pelestarian lingkungan). Seseorang boleh bekerja, berkarya, namun dalam berusaha tidak boleh merusak aset orang lain, menguasai sumber daya yang oleh syariat ditetapkan sebagai milik umum (air, api dan rumput) serta tidak boleh merusak alam.
Oleh karena itu eksplorasi alam secara berlebihan yang mengganggu ekosistem dan merusak sumber penghidupan rakyat, tidak dibenarkan secara syariat. Bangsa yang membiarkan hal tersebut belum layak disebut bangsa yang merdeka, kendati ia telah lepas dari penjajahan dari bangsa lain.
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa kemerdekaan sejati, dalam pandangan syariah, baru bisa diraih manakala kebebasan sudah terejawantahkan dalam empat aspek: aspek kehendak (masyi’ah), aspek keyakinan (i’tiqad) , aspek perkataan (aqwal) dan aspek perbuatan (af’al).
Bangsa kita memang sudah terbebas dari penjajahan dari bangsa lain. Secara geo-politik di mata bangsa-bangsa di dunia dan juga secara hukum Internasional, Indonesia jelas negara merdeka. Namun dalam pandangan syariah sepertinya belum sepenuhnya kita raih, selagi masih ada penyerangan atas kelompok lain, pembungkaman suara kritis dan perusakan atas sumber daya alam, meminjam istilah perbankan, kemerdekaan kita masih kemerdekaan konvensional, belum kemerdekaan syariah. (AN)
Wallahu a’lam.