Problem ekonomi perempuan selama Covid-19 semakin meningkat. Jika sebelum pandemi saja perempuan sudah kesulitan mengakses pekerjaan, saat ini kesulitan mereka lebih kompleks; Mulai dari pendataan yang tidak rapi sehingga banyak perempuan tidak mendapat bantuan, PHK selama covid-19 yang dialami perempuan hingga sulitnya mencari kerja di saat Covid-19.
Artikel ini akan membahas apa saja masalah perekonomian perempuan, khususnya perempuan kepala keluarga, selama Covid-19 serta kemungkinan jalan keluarnya.
PHK Perempuan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia sebesar 51,88% (BPS, 2018). Dari jumlah TPAK tersebut, di masa pandemi ini 14,2% nya merasakan PHK (LIPI, 2020). Perempuan banyak mengalami PHK di sektor perdagangan, rumah makan, dan akomodasi yang total PHK nya sebesar 28,9%.
PHK tersebut bagi perempuan menjadi masalah tersendiri. Terlebih saat ini semakin banyak perempuan yang menjadi tumpuan perekonomian keluarga alias kepala keluarga. Menurut data Badan Pusat Statistik serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di tahun 2018 tercatat 15,17% perempuan yang menjadi kepala keluarga.
Dari 15,17% itu, 14,48% nya ada di desa dan 15,74%nya ada di kota (BPS, 2018). Meskipun sebenarnya apa yang dicatat oleh Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) lebih besar dari 15,17%, melainkan mencapai 24%. Dari 24% yang dicatat PEKKA, 50% nya berada di bawah garis kemiskinan.
Definisi Kepala Keluarga yang Sempit
Perempuan kepala keluarga ini mendapat beban tambahan ketika keberadaan dirinya tidak terdata sebagai kepala keluarga. Alasan tidak tercatatnya perempuan kepala keluarga itu karena sempitnya definisi kepala keluarga yang hanya menumpukan pada satu orang dari anggota keluarga yang bertanggungajwab pada kebutuhan sehari-hari.
Padahal perempuan kepala keluarga dimungkinkan tinggal bersama kedua orangtuanya. Sehingga yang dicatat kepala keluarga hanyalah keluarga orangtuanya saja, bukan keluarga dari perempuan yang sudah memiliki anak. Hal ini terbukti dari bedanya data antara BPS dan PEKKA seperti di atas. Dampaknya, bantuan dari pemerintah pusat selama Covid ini tidak didapat oleh perempuan kepala keluarga tersebut.
Perempuan Kepala Keluarga Sulit Mencari Kerja
Setelah mengalami PHK, perempuan kepala rumah tangga tersebut mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan kembali. Salah satu penyebabnya adalah pendidikan perempuan kepala keluarga yang masih rendah. Persentase penduduk perempuan kepala keluarga di atas 15 tahun yang bekerja menurut tamatan pendidikan paling banyak masih ada di tamatan SD ke bawah sebesar 32,08%, tamatan SD sebesar 24,74%, tamatan SMP sebesar 13%, 30,18% (BPS, 2018).
Rendahnya pendidikan perempuan kepala keluarga ini menyebabkan peluang pekerjaan yang tersedia ada di sektor jasa yang merupakan pekerjaan informal, seperti salon, pijat, pelayan restoran, dan akomodasi. Padahal sektor-sektor tersebut sedang lesu di masa Covid-19 ini karena berpotensi menimbulkan kontak langsung atau kerumunan yang tentu saat ini sedang dihindari.
Dana Desa untuk Perempuan Kepala Keluarga
Dana Desa bisa menjadi jalan keluar perempuan kepala keluarga yang 14,48% nya ada di desa. Bahkan peraturan menteri desa terkait kondisi Covid-19 pun sudah mengakomodasi dana desa bagi perempuan. Sesuai Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 7 tahun 2020 menyatakan bahwa dalam kondisi tanggap darurat bencana alam maupun non-alam, diantaranya Covid-19 ini, Dana Desa dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan khusus perempuan, anak, lansia, difabel, dan kelompok rentan lainnya. Perempuan kepala keluarga terutama yang ada di bawah garis kemiskinan seyogianya menjadi prioritas dalam penggunaan dana desa tanggap darurat tersebut.
Perempuan Kepala Keluarga dalam Musyawarah Desa
Perempuan sampai saat ini memang masih tidak sebebas laki-laki dalam menyampaikan usulannya di muka umum. Berbagai penyebab mulai dari stigma perempuan yang dianggap tidak lazim menyampaikan pendapatnya di muka umum, perempuan dianggap tidak berkompeten dalam menyampaikan pendapat, hingga pembatasan perempuan bergabung dalam musyawarah pengambilan keputusan. Padahal ketika mengacu pada Permendes PDTT Nomor 16 tahun 2019 tentang Musyawarah Desa, kelompok perempuan menjadi hal yang wajib masuk dalam musyawarah pemangku kepentingan dan musyawarah desa.
Apa beda musyawarah pemangku kepentingan dan musyawarah desa?
Musyawarah pemangku kepentingan merupakan musyawarah yang dilakukan untuk membahas bahan pembahasan dalam musyawarah desa. Dalam musyawarah pemangku kepentingan ini, kelompok perempuan menjadi unsur masyarakat yang wajib dilibatkan.
Hal ini tertuang dalam pasal 28 ayat 3 Permendes PDTT Nomor 16 tahun 2019. Begitupun pelibatan kelompok perempuan dalam musyawarah desa yang menjadi unsur masyarakat wajib untuk dilibatkan tertuang dalam pasar 10 ayat 2. Bahkan untuk membuat situasi musyawarah pemangku kepentingan dan munsyawarah desa “ramah” terhadap perempuan, dalam Permendes yang sama sudah tercantum larangan pelaksanaan musyawarah di malam hari bagi daerah yang melarang perempuan ke luar rumah di waktu malam.
Perempuan kepala keluarga yang masuk dalam unsur masyarakat kelompok perempuan menjadi penting mengikuti musyawarah pemangku kepentingan dan musyawarah desa karena pengalaman khas perempuan mereka diperlukan. Pengalaman khas perempuan itu salah satunya seperti keluhan mereka terhadap sulitnya mengakses simpan pinjam, kesulitan mengakses dana bantuan pemerintah, hingga kebutuhan-kebutuhan personal yang perlu disediakan untuk merespon perempuan kepala keluarga yang ditinggal cerai atau ditinggal meninggal oleh suaminya. Kebutuhan khusus perempuan inilah yang dimaksudkan dalam (Permendes PDTT) Nomor 7 tahun 2020.
Tergantung Kesadaran dan Keberanian Kepala Desa
Dalam tataran undang-undang yang dieksplisitkan di peraturan menteri desa terkait alokasi dana desa bagi kesejahteraan kelompok perempuan, partisipasi perempuan dalam musyawarah desa serta musyawarah pemangku kepentingan sudah terbilang baik. Selanjutnya, implementasinya tergantung pada kepala desa masing-masing. Apakah kepala desa memiliki kesadaran gender yang baik atau tidak.
Apabila kepala desa memiliki kesadaran gender yang baik, maka kepala desa tersebut akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendorong perempuan khususnya perempuan kepala keluarga dalam mengikuti musyawarah pemangku kepentingan dan musyawarah desa. Tentu memberi ruang saja tidak cukup, perempuan perlu didorong untuk terlibat karena tidak dipungkiri selama ini mereka sudah terbiasa “tidak didengarkan” suaranya sehingga wajar apabila awalnya sulit berharap mereka memberikan masukan bagi desa. Mendorong perempuan Kepala Keluarga agar terlibat dalam musyawarah desa dan musyawarah pemangku kepentingan bisa dengan berbagai pendekatan, salah satunya melalui PKK.
Selain kesadaran gender, kepala desa juga perlu memerlukan keberanian untuk mengalokasikan dana desa khusus bagi perempuan. Apabila kebutuhan khusus perempuan kepala keluarga sudah terkumpul melalui musyawarah desa, selanjutnya apakah berani kepala desa menjawab kebutuhan tersebut? Karena tidak dipungkiri, khususnya dalam kondisi Covid-19 ini tarik menarik kepentingan sangat ketat untuk mendahulukan golongannya agar diberi bantuan.
Akan tetapi, kepala desa yang berani mengalokasikan dana desa untuk menjawab kebutuhan perempuan terutama perempuan kepala keluarga saat Covid-19 ini patut diacungi jempol karena sudah berupaya membangun desa yang inklusif dan ramah perempuan. [rf]