Pentingnya Sex Segregated Data dalam Analisis Wabah Covid-19

Pentingnya Sex Segregated Data dalam Analisis Wabah Covid-19

Dalam beberapa kasus, perempuan lebih rentan terdampak wabah karena perannya dalam masyarakat. Sex segregated data menjadi penting untuk meminimalisir penyebaran wabah covid-19.

Pentingnya Sex Segregated Data dalam Analisis Wabah Covid-19
Jaber Abdulkhaleg/Anadolu Agency

Wabah covid-19 yang menjadi pandemi global setiap harinya masih saja terus memakan korban. Hingga hari Rabu tanggal 19 April 2020 dilansir Worldometers, terhitung 2.347.815 pasien dari seluruh negara tercatat positif covid-19 dengan jumlah kematian sebanyak 161.128. Dari angka tersebut, hingga tanggal 19 April 2020 warga Indonesia yang terjangkit sejumlah 6.575 positif covid-19 dengan angka kematian sebanyak 582 orang.

Namun, yang menjadi pertanyaan penulis adalah berapa jumlah pasien laki-laki dan perempuan dalam setiap perhitungan positif, sembuh, dan meninggal dari covid-19? Data tersebut tidak disebutkan secara gamblang, khususnya yang ada di Indonesia.

Sex Segregated Data dan Fungsinya

Sex segregated data adalah pemilahan data sesuai dengan jenis kelamin dan kemudian bisa juga dikembangkan sesuai dengan umur, kehamilan, serta faktor lainnya. Dalam kasus wabah covid-19 ini, tidak secara gamblang diakumulasikan berapa jumlah pasien positif, sembuh, dan meninggal sesuai dengan jenis kelamin dari tingkat daerah hingga nasional di Indonesia. Padahal sex segregated data dapat membantu ahli untuk menganalisis kecenderungan siapa yang terjangkit wabah, bagaimana polanya, dan bagaimana kaitannya dengan kerentanan peran sosial atau gender role di suatu wilayah. Analisis sex segregated data bisa menjadi tindakan penanggulangan pemerintah untuk pertimbangan kebijakan kedepan atau bahkan data sejarah untuk tindakan preventif agar tidak terulang lagi kefatalan pasien covid yang terus naik. Kita bisa belajar dari sex segregated data beberapa wabah yang menjangkit berbagai negara di masa silam.

Wabah SARS

SARS yang merupakan virus dengan kemiripan genetik 85% dengan Covid19 ini telah lebih dulu dideteksi oleh WHO sebagai penyakit yang menjangkit beberapa negara di dunia tahun 2002-2003. Dalam laporan WHO yang berjudul Addressing Sex and Gender in Epidemic-Prone Infectious Diseases menyebutkan bahwa di tahun 2003 dari kasus 8.098 pasien positif SARS, lebih dari setengahnya adalah perempuan.

Perempuan lebih banyak terinfeksi karena berhubungan dengan gender role masyarakat yang mengidentikkan perempuan bekerja sebagai tenaga medis. Proporsi kasus yang menjangkit tenaga medis berkisar antara 8% di negara dengan kasus SARS relatif sedikit hingga 57% di Vietnam, dengan rata-rata keseluruhan 21%.

Data tersebut bisa menggambarkan bagaimana gender role dapat berpengaruh kepada kerentanan pasien SARS sesuai jenis kelamin. Perempuan yang diidentikkan oleh masyarakat bekerja sebagai tenaga medis terutama perawat lebih rentan terpapar SARS karena pekerjaannya harus berhubungan lagsung dengan pasien SARS. Dari data tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai kebijakan tentang pertolongan preventif bagi tenaga medis terutama perempuan agar sejarah penyebaran SARS tidak terjadi dengan keburukan yang sama.

Dalam kasus SARS, perempuan hamil pun memiliki  kerentanan lebih besar dibanding pasien perempuan SARS yang tidak hamil. Meskipun data ini dalam sex segregated tidak masif tercatat secara sistematis, namun dari 20 kasus kehamilan perempuan yang terdeteksi oleh WHO: lima kasus di Cina, 12 kasus di Hong Kong SAR, dua kasus dari Amerika Serikat, dan satu kasus dari Kanada, memberikan indikasi adanya berbagai dampak seperti keguguran di trimester pertama, adanya persalinan prematur dan gangguan ganstrointestinal (pencernaan), meskipun ada pula kasus di Amerika yang melahirkan tanpa gangguan.

Wabah Ebola

Ebola merupakan penyakit yang ditularkan ke orang lain oleh kontak hewan ke manusia atau kontak manusia ke manusia melalui organ yang terinfeksi, seperti melalui sekresi tubuh (darah, feses, urin, muntah, keringat dan air mani). Dalam catatan WHO di laporan yang sama, terdapat dua kemungkinan terpapar ebola sesuai dengan gender role di masing-masing wilayah.

Kasus dalam beberapa wilayah membuktikan bahwa laki-laki lebih rentan terpapar ebola karena kegiatan berburu lebih sering dilakukan oleh laki-laki. Laki-laki yang biasa pergi ke hutan, berburu hewan, melakukan pemotongan hewan lebih mungkin terpapar daripada perempuan yang tidak memiliki gender role berburu. Namun, bagi perempuan resiko terpapar ebola menjadi tinggi karena berhubungan dengan gender role nya yang mendominasi tenaga medias di beberapa wilayah.

Gender role selanjutnya yang berpengaruh terhadap penyebaran ebola beberapa tahun silam adalah peran perempuan dalam pemakaman. Di distrik Gulu, suatu daerah di Uganda menunjukkan bahwa perempuan lanjut usia memiliki resiko lebih besar terpapar penyakit karena secara tradisi perempuan lanjut usia  memiliki peran merawat orang sakit dan persiapan prosesi pemakaman.

Fungsi Sex Segregated Data Ebola dan SARS

Data terkait resiko wabah penyakit SARS dan Ebola yang bersumber dari sex segregated data di atas memberikan pelajaran tentang beberapa hal, seperti:

  • Perbedaan pemaparan perempuan dan laki-laki yang berhubungan dengan gender role berfungsi untuk memahami bagaimana tanggungjawab gender yang mempengaruhi pemaparan penyakit;
  • Terdapat pola penularan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki;
  • Terdapat keterkaitan kerentanan penyakit dengan tradisi pemakaman. Hal ini berdampak pada pentingnya pembekalan bagaimana cara merawat orang sakit atau menguburkan jenazah. Edukasi kepada masyarakat merupakan langkah yang bijak agar masyarakat tidak terpapar ataupun tidak menolak jenazah;
  • Pemilahan data ibu hamil dapat menjadi bekal pembelajaran bagaimana resiko pada ibu dan janin untuk meminimalisasi korban.

Wabah Covid19 di Indonesia

Pembatasan aktivitas yang dilakukan masyarakat sudah dilakukan sejak pertengahan Maret 2020 lalu. Hanya ada beberapa orang yang harus keluar rumah untuk keperluan pekerja informal, penyedia barang dan jasa pokok,  akses kesehatan ataupun belanja kebutuhan harian. Sex segregated data yang tidak ditampilkan untuk publik menghalangi identifikasi kecenderungan masyarakat lapisan apa yang rentan terhadap paparan Covid-19.

Apabila sex segregated data sudah dilakukan, pemerintah dapat menganalisisnya dan menjadi input kebijakan berbasis data, misalkan saja data berapa jumlah perempuan dan laki-laki yang terpapar? Kenapa perempuan dan lelaki dapat terpapar? Dimana kecenderungan lokasi perempuan dan laki-laki bisa terpapar? Apakah terdapat kemungkinan terpaparnya perempuan dan laki-laki karena gender role nya dalam tugas bekerja sebagai kepala keluarga, sebagai tenaga medis, atau tanggungjawab berbelanja di pasar? Jika iya, bisa menjadi output himbauan SOP dalam proses jual beli di pasar atau tempat perbelanjaan, ketentuan kebijakan jaminan sosial, tindakan preventif agar tenaga medis tidak tertular, dan kebijakan lainnya.

Bagi masyarakat pun sex segregated data dan hasil analisisnya merupakan hal penting. Bukan untuk menakut-nakuti tentunya, tetapi untuk mengetahui siapa, mengapa, dan dimana kerentanan Covid19 dapat menyebar. Keterbukaan data ini bisa membuat masyarakat lebih waspada.

Sex segregated data dapat dikoordinatori oleh pemerintah dengan koordinasi rumah sakit di seluruh Indonesia. Entah apakah saat ini pemerintah sudah memiliki sex segregated data atau tidak karena nyatanya belum pernah dibuka kepada publik. Namun, paparan di atas dapat menggambarkan begitu pentingnya sex segregated data agar pemerintah dapat melangkah secara tepat dan masyarakat berhati-hati lebih ketat.