Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab mengundurkan diri dari jabatannya pada Senin (10/8) setelah ledakan dahsyat di Beirut yang memicu kemarahan publik. Diab mengatakan dirinya telah sampai pada kesimpulan bahwa korupsi di negaranya sudah pada titik “lebih besar dari negara.”
Langkah tersebut berisiko membuka jalan bagi negosiasi yang tertunda atas Kabinet baru di tengah seruan mendesak untuk reformasi. Hal ini mengikuti protes anti-pemerintah akhir pecan lalu, setelah ledakan dahsyat 4 Agustus di pelabuhan Beirut yang menyebabkan kehancuran massif, menewaskan sedikitnya 160 orang dan melukai sekitar 6.000 lainnya.
Dalam pidato singkat di televisi setelah tiga menterinya mengundurkan diri, Perdana Menteri Hassan Diab mengatakan dia dan pemerintahannya mengundurkan diri.
“Semoga Tuhan melindungi Lebanon,” katanya, mengulangi kalimat tersebut tiga kali. Saat dia berbicara, pengunjuk rasa telah berdemonstrasi di jalanan dekat parlemen tiga hari berturut-turut.
Momen tersebut menggambarkan situasi politik Lebanon yang dilematis. Sejak Oktober, telah terjadi demonstrasi massal yang menuntut pengunduran diri dari seluruh kepemimpinan berbasis sektarian karena korupsi yang mengakar akut dan inkompetensi pemerintah.
Tetapi oligarki yang berkuasa telah memegang kekuasaan begitu lama – sejak akhir perang saudara pada tahun 1990 – sehingga sulit untuk menemukan sosok politik yang kredibel yang tidak ternoda oleh politik sektarian.
Hassan Diab menyalahkan politisi korup yang mendahuluinya atas bencana yang melanda Lebanon.
“Seharusnya mereka (para politisi) malu pada diri sendiri karena korupsi mereka yang menyebabkan bencana yang tersembunyi selama tujuh tahun ini,” tambahnya, dilansir oleh APNews (11/8).
“Saya telah menemukan bahwa korupsi yang terjadi lebih besar daripada negara dan bahwa negara dilumpuhkan oleh komplotan (penguasa) ini dan tidak dapat menghadapi atau menyingkirkannya,” kata Diab, yang adalah seorang profesor di American University of Beirut sebelum menjabat sebagai Perdana Menteri Lebanon.
Setelah bencana tersebut, Diab dikabarkan berusaha untuk bertahan selama dua bulan untuk mengatur skema pemilihan parlemen baru dan memungkinkan adanya reformasi. Tetapi tekanan dari dalam kabinetnya sendiri terbukti terlalu berat. Dengan pengunduran diri massal di pemerintahannya, seruan untuk pemilihan lebih awal tampaknya akan buntu, sehingga faksi yang sama akan berdebat tentang pembentukan Kabinet baru.
Pemerintahan Diab dibentuk setelah pendahulunya, Saad Hariri, mengundurkan diri pada bulan Oktober sebagai tanggapan atas demonstrasi tersebut. Butuh berbulan-bulan perselisihan di antara faksi-faksi kepemimpinan sebelum akhirnya Diab menjabat sebagai Perdana Menteri.
Pemerintahannya, yang didominasi oleh kelompok militan Hizbullah dan sekutunya, pada dasarnya sudah dikutuk sejak awal. Mereka bertugas memenuhi tuntutan untuk reformasi, tapi terdiri dari semua faksi yang tidak diinginkan oleh para reformis.
Pada akhirnya saat ini, proses perselisihan politik yang alot harus dimulai lagi dari awal.