Habib atau Kiai dua gelar sakral yang disematkan pada tokoh agama. Orang yang menyandang dua gelar ini dianggap otoritas bicara agama dan perilakunya sesuai dengan nilai Islam dan apa yang sudah dicontohkan Rasulullah. Prof. Quraish Shihab menjelaskan Habib merupakan gelar yang diberikan kepada orang tertentu. Gelar itu datang dari masyarakat, bukan dari Habib. Begitu pula dengan Kiai. Masyarakat yang memberinya gelar, bukan Pak Kiainya yang menyebut dirinya Kiai.
Meskipun demikian, tidak dapat disangkal fakta pada masa sekarang dengan adanya perkembangan media televisi, radio, dan media sosial, bermunculan orang yang sebetulnya bukan Habib ataupun Kiai, tetapi dijuluki Habib atau Kiai. Julukan ini bisa karena pengakuan sendiri ataupun dijuluki orang lain.
“Habib itu sebenarnya dahulu, diberikan oleh masyarakat, yang kagum pada orang-orang tertentu, yang memiliki tiga sifat utama: yang pertama dia keturunan Nabi Muhammad SAW; yang kedua dia berilmu yang luas; dan ketiga dia berakhlak yang luhur.” Jelas Prof. Quraish Shihab.
“Dari sisi bahasa gelar Habib memiliki dua makna: yang mencintai dan dicintai. Jadi tidak cukup hanya dicintai, dia harus mencintai.”Tambah Prof. Quraish Shihab.
Tiga sifat utama habib yang disampaikan penulis Tafsir al-Misbah di atas dapat dijadikan patokan untuk menilai kelayakan dan kepantasan seorang untuk dijuluki habib. Kalau ada yang dipanggil habib, paling tidak dia harus memenuhi tiga syarat: keturunan Rasul, ilmu luas, dan berakhlak mulia. Jadi tidak sembarangan julukan habib diberikan pada orang.
Begitu juga julukan Kiai. Menurut Prof. Quraish, Kiai itu orang yang dalam ilmunya dan akhlaknya baik. Yang membedakan Kiai dan Habib itu hanya keturunan Rasul atau tidak. Sisanya, persyaratan sama. Akhlak dan ilmu menjadi standar penting.
Kendati keturunan Rasul dan ilmunya sangat dalam, Prof. Quraish Shihab sendiri tidak mau dipanggil Habib ataupun Kiai. Dalam sebuah wawacara Prof. Quraish mengatakan, “Ilmu saya belum dalam, akhlak saya belum sesuai dengan apa yang diajarkan agama. Jadi tak usah panggil saya Habib, tak usah panggil saya, biar saya berjuang dulu. Mudah-mudahan setelah saya meninggal, orang lihat, oh itu Habib, tapi sekarang tidak.”
Begitulah akhlak dan ketulusan hati seorang ulama. Walaupun mereka layak menyandang gelar itu, mereka tidak mau mengakuinya, bahkan tidak mau dipanggil Habib ataupun Kiai.