Perjuangan Para Perempuan Hebat untuk Membela Lingkungan (2/2)

Perjuangan Para Perempuan Hebat untuk Membela Lingkungan (2/2)

Perjuangan Para Perempuan Hebat untuk Membela Lingkungan (2/2)

Konsep hidup ugahari ala More bisa dijumpai dalam gerakan menjaga laut yang dilakukan para perempuan di Papua Barat. Sejak tahun 2010, para perempuan di Kapatcol, Raja Ampat melakukan konservasi laut secara swadaya. Mereka mengambil hasil laut sebatas kebutuhannya saja. Aktivitas tersebut merupakan bagian dari Sasi atau peraturan adat yang melarang eksploitasi suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.

Ide Sasi khusus perempuan ini dilatarbelakangi oleh tidak memuaskannya hasil sasi umum yang pada waktu itu dilakukan oleh bapak-bapak dikarenakan salah memilih lokasi sasi. Para perempuan di Kapatcol kemudian membentuk sasi khusus perempuan yang seluruh tahapannya dilakukan oleh remaja perempuan dan para ibu. Film Semesta (2020) mendokumentasikan bagaimana remaja dan ibu-ibu menyelam untuk memeriksa keadaan biota laut sebelum memutuskan untuk mengakhiri periode sasi di kawasan laut yang dilindungi.

Sasi khusus perempuan dimotori oleh beberapa orang, salah satu yang paling menonjol perannya ialah Almina Kacili. Di bawah pengorganisasiannya, sasi khusus perempuan mendapat dukungan dari Gereja Kapatcol khususnya melalui Persekutuan Wanita Gereja di mana Almina juga aktif berkegiatan di sana.

Proses mengambil biota laut dilakukan dengan cara menyelam. Serentak para remaja dan ibu-ibu terjun dari perahu menuju dasar laut begitu ada aba-aba dari Almina. Perahu-perahu itulah yang digunakan sebagai penampungan sementara hasil tangkapan selama para perempuan menyelam. Waktu untuk menyelam juga dibatasi. Begitu aba-aba selesai, para penyelam harus menyudahi aktivitasnya memanen biota laut.

Hasil panen biota laut itu biasanya dijual dan hasilnya digunakan untuk berbagai kebutuhan para perempuan di kampung Kapatcol. Mulai dari membuat seragam, membantu keluarga yang sedang sakit, kesusahan keuangan, dan lain sebagainya. Di tahun 2014, hasil penjualan biota laut dari sasi khusus perempuan bahkan digunakan untuk membantu salah seorang anggota sasi yang anaknya ingin mendaftarkan diri di akademi kepolisian.

Segala rangkaian sasi dilakukan secara bersama-sama oleh para perempuan. Termasuk penghitungan laporan keuangan dan rencana kegunaannya yang selalu diputuskan melalui musyawarah. Sasi merupa aktivitas sosial-ekologis yang berhasil menumbuhkan kemandirian sekaligus solidaritas para perempuan di kampung Kapatcol.

Teknologi yang Selaras dengan Alam

Proses memanen biota laut yang dilakukan para perempuan di kampung Kapatcol, Papua Barat juga menjadi bentuk kecaman terhadap penangkapan hasil laut yang membabi buta. Misalnya menggunakan pukat harimau yang potensial merusak pelbagai biota laut. Akibatnya, ancaman ketidakseimbangan bahkan kepunahan biota laut tertentu terpampang di depan mata.

Terampasnya keseimbangan lingkungan alam disebabkan oleh besarnya gelombang industrialisasi modern. Teknologi-teknologi canggih bekerja dengan logika eksploitatif terhadap alam dan segala sumber dayanya. Kita melihat logika eksploitatif itu misalnya dari cara kerja pabrik semen, bisnis pertambangan, pembangunan insfrastuktur seperti jalan tol dan bandara, serta industri-industri gigantis lain.

Apa yang kita alami hari ini, jauh-jauh hari sudah digambarkan oleh Hiroshi Fujimoto dan Motoo Abiko. Melebur dalam nama pena Fujiko F. Fujio, pada tahun 1970 dua kartunis Jepang ini mengembangkan karakter Doraemon. Kartun itu menceritakan bagaimana hubungan Nobita dengan Doraemon yang merupakan robot kucing dari masa depan. Doraemon dengan kantong ajaibnya merupakan representasi dari teknologi canggih yang kita kenal hari ini.

Nobita seringkali menyalahgunakan teknologi itu untuk berbagai keperluan dalam hidupnya. Ia lebih banyak menggunakan teknologi dari kantong ajaib Doraemon dengan cara yang sungguh serampangan. Alih-alih membantu menyelesaikan pekerjaannya, ia lebih sering ketiban sial. Hari-hari ini kita mungkin mirip dengan Nobita.

Tetapi, di tengah gempuran indutrialisasi modern yang eksploitatif itu, kita mendengar suara-suara alternatif. Percobaan demi percobaan penciptaan teknologi ramah lingkungan terus berlangsung. Tidak hanya di tataran profesional, komunitas masyarakat pun turun tangan mencari formulasi teknologi ramah lingkungan sebagai solusi nyata kehidupan di wilayahnya masing-masing. Sebagai contoh Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat Nusa Tenggara. Jauh sebelum itu, di akhir tahun 90-an, masyarakat adat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat juga melakukan hal yang sama.

Selain menyuplai sendiri kebutuhan sumber daya listriknya, masyarakat adat Ciptagelar memberlakukan sistem menanami lahan pertanian satu kali dalam satu tahun. Menariknya, hasil pertanian dari panen sekali setahun itu justru lebih melimpah dan bisa digunakan sebagai lumbung pangan selama tiga tahun.

PLTMH di Jawa Barat dan di Nusa Tenggara menjadi contoh nyata pemanfaatan teknologi yang tidak mencederai alam. Hal ini juga yang dilakukan oleh seorang jurnalis radio di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ia mengembangkan pupuk cair organik yang bahan bakunya dari ampas kotoran ternak dan campuran urin manusia. Selain itu, ia juga berusaha memenuhi kebutuhan energi rumah tangganya yang diolah dari kotoran babi.

Kenyataan-kenyataan sebagaimana tersebut di atas berhasil melampaui apa yang disebut Heidegger sebagai pemahaman dangkal terhadap teknologi sebatas pada tahap pembingkaian (enframing). Tahap pembingkaian ini merujuk pada penciptaan teknologi hanya untuk memuaskan dahaga manusia. Tetapi sudah lebih jauh lagi yakni sebagai bagian dari penyibakan atau poiesis. Teknologi berhasil menyibak relasi manusia dengan dunianya, yang pada tataran ini penggunaanya tidak kontraproduktif terhadap keberlangsungan kelestarian alam. Tsah!

Baca artikel sebelumnya.