Pandemi virus Corona ternyata tidak menggentarkan aksi massa. Teranyar, Persaudaraan Alumni (PA) 212 dkk menggelar kumpul-kumpul lagi di lapangan Ahmad Yani kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada Minggu, 5 Juli 2020.
Jubelan orang itu menyuarakan penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Hanya saja, konsentrasi wacana yang diangkat bisa dibilang lawas.
Bertajuk “Apel Siaga Ganyang Komunis”, mereka membacakan sebuah ikrar yang berisi lima poin.
“Kami laskar aliansi nasional anti-komunis dengan ini berikrar dan bertekad…,” ujar Ridho saat membacakan pembuka ikrar lalu diikuti peserta apel serta massa yang hadir.
Satu, bahwa kami akan menjadi pembela agama bangsa dan negara;
Dua, bahwa kami siap siaga dan menyiapkan diri untuk jihad qital mempertahankan akidah Islam dan melawan kaum Komunis’ di bawah komando ulama;
Tiga, bahwa kami siap siaga dan menyiapkan diri untuk menjaga para ulama, dari serangan kaum komunis;
Empat, bahwa kami siap siaga dan menyiapkan diri untuk menghadapi gerombolan tri sila dan ekasila yang akan mengganti Pancasila;
dan Lima, bahwa kami siap siaga dan menyiapkan diri dari serangan operasi intelijen hitam pro komunis.
Selain merapal ikrar, mereka juga menyatakan siap perang.
Ya, dalam apel tersebut, Sobri Lubis mengajak massa yang hadir tidak gentar dalam membela bangsa dan agama. Sobri juga meminta DPR dan pemerintah tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP.
“Pada kesempatan yang juga apabila RUU HIP tidak juga dihentikan dan inisiator-inisiator tidak ditegakkan kepada mereka, siap turun besar-besaran? Bahkan siap perang? Takbir,” kata Sobri.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa tidak ada kata mundur untuk membela negara dan agama.
“Untuk membela negara dan agama saat ini tidak ada kata ‘mundur’. Kita akan bangga sebagaimana orang tua kita dulu mengganyang komunis. Maka kita siap mengganyang mereka. Ini yang bisa sampaikan kuatkan barisan segala fitnah bertebaran mungkin akan ada ke depan. Siap berjihad? Takbir,” imbuhnya.
Yah, dalam sebuah ibarat, aksi anti-komunis yang berdawai belakangan ini barangkali bisa disetarakan dengan kiprah tenaga kesehatan. Keduanya sama-sama “memerangi” yang tidak kelihatan. Bedanya, perangnya tenaga kesehatan itu dengan ilmu (medis), sedangkan perang melawan komunis itu dengan anggaran. Takbir!!! (AK)