Beberapa hari lalu (30/6), Kemenag merencanakan kerja sama dengan TNI AD dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama. Rencana ini disampaikan oleh Menteri Agama – yang juga mantan Wakil Panglima TNI – Fachrul Razi dalam sebuah rapat bersama Waaster Kasad Brigjen TNI Sugiyono.
Sebagai warga negara, dan produk sekolah yang dinaungi Kemenag dari Raudhatul Athfal sampai kuliah, masuknya TNI dalam kehidupan keagamaan sama sekali tidak terbayangkan. Rasanya tidak terbiasa saja membayangkan pasukan TNI yang sangar mendengungkan semboyan “ikhlas beramal” yang menjadi prinsip Kemenag.
“Kita perlu membahas apa saja yang telah dilakukan dari sisi pertahanan, sehingga Kemenag bisa melengkapi dan memainkan peran optimal dalam pendekatan keagamaan. Tujuan kita tentunya, peningkatan kerukunan umat beragama,” Demikian ungkap Menteri Agama Fachrul Razi sebagaimana dirilis oleh website resmi Kemenag (30/6).
Ungkapan Pak Menag terdengar masih samar dan global, memang. Pasalnya, ukuran secara rinci peningkatan kerukunan keagamaan itu yang seperti apa? Terjemahan “kerukunan beragama” saja masih bisa melebar ke mana-mana, apalagi tafsirnya. Bisa macam-macam.
Kalau memang konsep “kerukunan beragama” yang dimaksud itu adalah “yang penting tidak ada konflik”, dalam praktiknya tidak semudah itu. Di tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kerukunan atau perdamaian tidak semata absennya konflik. Karena ketiadaan konflik bisa jadi malah menyimpan keresahan yang tidak tersuarakan.
Prinsip “tidak ada konflik” rentan beririsan dengan bungkamnya suara, atau bahkan kekerasan lain, bagi mereka yang tidak mendapatkan keadilan. Baik karena tiadanya perlindungan hukum, atau karena memilih bungkam karena kalah dari suara mayoritas.
Assistant Professor Kajian Islam dan Timur Tengah New York University, Ismail Fajrie Alatas, pernah menguraikan dalam sebuah tulisan, bahwa perdamaian bukanlah oposisi biner dari kekerasan. Kekerasan adalah realitas yang niscaya ada dalam setiap manusia, atau kelompok keagamaan. Oleh karenanya, perdamaian bukanlah lawan dari kekerasan. Melainkan adalah sebuah aspirasi; kedamaian memiliki fungsi sebagai wacana regulatif yang mencoba mengatur interaksi manusia dalam sebuah formasi sosial. Maka, perdamaian dimaknai sebagai ketahanan di kekerasan dan konflik.
Wasiat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) “perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi” menjadi makin relevan diperbincangkan di sini. Ketika keadilan tidak ditegakkan sebagaimana mestinya, perdamaian (kerukunan) antar agama akan mirip seperti ketika oknum polisi mengutip uang damai dari pelanggar lalu lintas. Damai, pastinya. Tidak ada pelanggaran tercatat secara resmi. Tapi dengan sendirinya itu bukan tindakan yang benar. Malah, justru memunculkan kekerasan baru lagi yang dilakukan dalam senyap.
Yang perlu dipastikan dari rencana kerja sama Kemenag dan TNI dalam kerukunan beragama yaitu TNI mesti tunduk pada asas prosedur demokrasi. Adapun ‘ketundukan’ yang dimaksud adalah dari segi TNI tidak merasa superior dalam konteks dengan warga sipil. Masih cukup banyak oknum militer yang beranggapan mereka memiliki posisi lebih baik daripada pihak sipil.
Belum lagi dalam tubuh TNI sendiri dihidupi oleh pola pikir yang hirarkis dan bertopang mutlak atas ketertundukan kepada atasan. Oleh karenanya komando bersifat mutlak. Sesuatu yang justru berpotensi menghambat TNI berperan demokratis, apalagi dalam wilayah keagamaan.
Sudut pandang ini diuraikan secara apik oleh Presiden Gus Dur dalam sebuah esainya yang berjudul “TNI dan Demokratisasi” yang dimuat di Kompas pada 9 Agustus 2003:
“Bahkan kini pun masih cukup banyak kaum militer yang beranggapan mereka lebih baik daripada pihak sipil. Ini jelas merupakan pandangan individual, karena TNI sendiri sebagai institusi telah menerima dihapusnya Fraksi TNI-Polri dari DPR-RI tahun 2004 dan dari MPR-RI tahun 2009. Karena mereka harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak membeda-bedakan golongan manapun, maka dengan sendirinya sebagai institusi mereka harus tunduk kepada proses demokratisasi.”
Gabungan kelompok gerakan masyarakat sipil yang antara lain terdiri dari YLBHI, Jaringan Gusdurian, Lakpesdam PBNU, dan Pusad Paramadina, telah menerbitkan Outlook Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Indonesia 2020 yang memuat catatan terhadap kelompok militer dalam wilayah keberagamaan. Outlook tersebut menguraikan bahwa selama ini, Indonesia masih memiliki track record intervensi pemerintah dalam mengatasi problem sosial dengan satu resep, yakni melalui pendekatan keamanan semata.
Hal ini ditambah dengan keputusan Presiden Jokowi mengangkat Menteri Agama dari kalangan militer, dengan dalih menugaskan untuk mengatasi radikalisme dan terorisme berbasis agama. Jika kemudian resep keamanan ini dilanggengkan, justru akan memperlebar kerentanan sipil terhadap pelanggaran dan pengekangan.
Padahal, yang lebih diperlukan dalam tercapainya kerukunan beragama adalah dialog dan inisiatif untuk saling mendekatkan umat beragama. Itulah mengapa Presiden Gus Dur – yang juga seorang ulama – menekankan bahwa dalam tercapainya masyarakat yang terbuka mensyaratkan adanya demokrasi (syura), keadilan (‘adalah), dan persamaan (musawah). Dan demokrasi sendiri adalah pendekatan non-otoriter, apalagi represif.
Membincangkan kerja sama Kemenag dan TNI, mengingatkan saya kepada salah satu humor Gus Dur, yang mengisahkan seorang tentara (Pak Danramil) yang dikenal galak, sedang bertugas menyampaikan khutbah Jumat di masjid. Hal ini lazim terjadi di masa Orde Baru. Seperti umumnya khatib, Pak Danramil mulai berwasiat untuk bertaqwa kepada para jamaah, sesuai rukun khutbah jumat.
“Para hadirin jamaah Jumat rahimakumullah. Saya berwasiat mari semuanya meningkatkan takwa kepada Allah Subhanahu wa taala..”
Sejenak kemudian sang Pak Danramil melanjutkan: “Awas kalau tidak!”
Akhirul kalam, mungkin ini bisa menjadi sedikit masukan buat Pak Menteri Agama. Kalau memang mau melibatkan TNI di wilayah keagamaan itu kuncinya satu: asal tidak pakai “Awas!” saja.