Belakangan ini, buku anak dengan konten Islami memang sedang marak. Orang tua jadi gemar sekali membeli buku cerita Islami untuk anak-anaknya. Karena selain mudah dicari mereka menganggap buku itu baik untuk untuk memperkenalkan iman dan pengetahuan Islam sejak dini. Saya kerap kali menemui buku semacam itu di bagian buku anak-anak dan tentu menjamur juga di toko-toko buku online. Umumnya bertemakan kisah sejarah Islam khusus anak-anak.
Ada semacam gejala sosial keinginan orang tua untuk mendidik anak menjadi lebih relijius dari fenomena menjamurnya buku anak islami. Buku tersebut menjadi perantara utama bagi orangtua menyampaikan pesan kepada anak mereka agar menjadi anak sholeh dan sholihah.
Namun di sisi lain, menjamurnya buku-buku anak dengan konten Islami tidak bisa dipisahkan dengan agenda komersialisasi. Buku itu menjual moralitas keagamaan untuk menarik minat pembeli. Bahkan, meskipun cerita anak-anak dalam buku Islami meski tak mengindahkan pakem sastra, buku-buku ini tetap saja laris manis di pasaran. Promo-promo buku anak Islami gencar diiklankan melalui media-media sosial dengan menggandeng influencer ataupun artis demi melariskan buku tersebut.
Semakin banyak buku anak dengan konten Islami seharusnya justru memerlukan kecermatan. Tidak berarti orang tua bisa langsung percaya dengan buku Islami seolah-olah selalu menebarkan pesan kedamaian. Padahal, buku Islami bisa saja menyajikan pesan ideologis yang justru berbahaya bagi anak. Seperti halnya yang terjadi pada Januari 2016 silam yang menunjukkan justru buku anak Islami mengandung unsur radikalisme. Menurut kabar itu detik.com, pada tahun tersebut ditemukan buku anak bergenre Islami yang mengandung unsur radikalisme laku keras dipasaran bahkan sudah cetakan ke 167.
Selain radikalisme, buku cerita anak Islami rentan sekali memunculkan bias gender. Kemunculan bias gender ini tentu sama berbahayanya dengan isu radikalisme. Bias ini terjadi ketika penggambaran perempuan ternyata lebih sedikit, bahkan mungkin tidak ada, pada topik-topik sejarah Islam.
Misalnya, kisah peperangan dalam buku anak Islami minim menceritakan perempuan. Jika ada, mungkin representasinya pada peran perawatan luka atau dapur umum dan itupun tak digambarkan dalam ilustrasi gambar. Topik peperangan menjadi wilayah laki-laki. Umumnya, ilustrasi gambar yang ditampakkan adalah laki-laki menunggang kuda dan membawa pedang, tanpa terlihat melibatkan perempuan pejuang. Seolah-olah perang menjadi otoritas laki-laki muslim pada masanya. Hal ini tentu bertolak belakang dengan kisah-kisah yang pernah merunutkan bahwa perempuan juga turut hadir di medan perang, seperti Aisyah atau Khaulah binti Azur.
Meskipun mungkin pula ada buku anak yang menggambarkan sosok perempuan sebagai permberani, seperti sosok Amah binti Khalid yang diceritakan menyebrangi lautan. Namun sayangnya, keistimewaan Amah tersirat bukan karena keberaniannya menyeberangi lautan namun lebih karena dia merupakan istri dari pahlawan Islam Zubair bin Awwam. Selain itu, juga karena dia memperoleh kain istimewa dari Rasullah. Jasa Amah binti Khalid berada dibayang-bayang cerita dibandingkan statusnya sebagai istri dan orang yang menerima kain sutra istimewa itu. Padahal, Amah tak pernah luput membela dakwah Rasulullah melalui aktivitas mengajarnya.
Pada level ilustrasi gambar, buku cerita anak islami terlihat canggung memperlihatkan rupa perempuan. Umumnya buku-buku itu menggambarkan rupa mereka dengan memperlihatkannya dari belakang saja, tidak menyertakan sosok-sosok itu pada gambar, serta menampilkannya dengan pakian cadar. Hanya sedikit saja yang berani menampilkan wajah anak perempuan secara terang-terangan. Hal ini pula yang menihilkan sosok perempuan dalam kisah-kisah yang ditampilkan pada cerita anak Islami. Selain itu, terlalu dini dan serampangan merepresentasikan budaya Islam pada perempuan-perempuan di zaman Rasullullah dengan cadar.
Contoh lainnya adalah buku yang belakangan ini sedang naik daun, kisah Muhammad is My Hero yang dikemas dalam dua versi, yaitu kisah kekinian dan kisah Nabi Muhammad. Buku ini memang menggambarkan ilustrasi wajah anak perempuan secara terang-terangan. Terlebih, pada kisah-kisah pada seri itu juga menampilkan ilustrasi anak perempuan tak berjilbab. Namun, sekali lagi representasi gender tradisonal tak berarti nihil ditemukan.
Salah satu seri pada buku ini berjudul Mandiri dan Bertanggung Jawab, ilustrasi gambar pada sampul cerita itu bahkan sudah sarat memunculkan streotipe gender. Ia muncul pada mainan yang dipegang oleh kedua anak, laki-laki memegang mainan mobil-mobilan bewarna merah, sementara anak perempuan memegang boneka bewarna merah muda. Penampakan mainan itu melaggengkan anggapan masyarakat bahwa mainan memiliki jenis kelamin tertentu.
Anak perempuan hanya dibolehkan bermainan boneka, sementara laki-laki bermain mobil-mobilan merupakan representasi atas peran gender tradisional mereka dalam masyarat. Dengan bermain boneka, anak perempuan diharapkan menjalani peran tunggal dalam pengasuhan, bersikap lemah lembut, dan penyabar. Hal yang sama berlaku pada laki-laki, mobil-mobilan yang dipegangnya sejatinya merupakan simbol harapan yang disematkan kepada mereka agar mereka kelak menjadi ‘motor’ keluarga (pemimpin), hadir pada ranah publik sebagai pencari nafkah, dan bertanggung jawab penuh atas keluarganya.
Cerita anak Islami mungkin memang hadir sebagai upaya untuk menguatkan gerakan literasi keagamaan pada anak. Di sisi lain, cerita anak memiliki peran pula untuk menumbuhkan empati anak. Melalui membaca pengalaman tokoh secara naratif, anak melakukan abstraksi dan merefleksikan cerita itu sehingga tumbuhlah sifat empatinya. Namun, pada iman dan empati yang orang tua semaikan, bibit bias gender juga membututinya.
Kisah pada cerita anak Islami masih menjadi sarana reproduksi atas stereotip gender tradisional pada perempuan baik nampak dalam ilustrasi maupun penyampaian cerita. Sehingga, membacakan cerita-cerita seperti itu, sama juga mengharapkan mereka tumbuh dengan iman tapi alpa untuk berempati pada isu keadilan gender. (AN)