Menikah dan menjadi kehidupan rumah tangga menjadi salah satu cita-cita yang didambakan oleh beberapa orang. Mereka mencari pasangan hidupnya untuk bersama dalam ikatan yang kuat, dalam menjalani bahtera rumah tangga. Tak ayal, mereka mengidamkan pernikahan yang berbuah sakinah (ketenangan), mawaddah dan rahmah (cinta dan kasih sayang) di dalamnya. Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum [30]: 21).
Tentunya, untuk menciptakan sakinah, mawaddah dan rahmah dalam rumah tangga, harus ada dasar yang menyangga demi mewujudkan itu semua. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam menjelaskan, setidaknya ada lima pilar yang harus diwujudkan demi menciptakan pernikahan yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Sebelumnya ia menegaskan, bahwa lima pilar ini harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Konsenkuensi dari hal ini adalah, hubungan antara suami dan istri adalah bersifat kesalingan, kemitraan, dan kerjasama. Tidak boleh salah satu dari dua belah pihak menindas yang lain. Adapun lima pilar yang dimaksud ialah:
Pertama, komitmen pada ikatan janji yang kokoh sebagai amanah dari Allah SWT. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt
وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا ٢٠ وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا ٢١
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?. Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 20-21)
Mitsaqan ghalizan (perjanjian yang kuat) ditafsiri sebagai janji yang dinyatakan dan diakui sebagai tanggung jawab diri, yang mempunyai komitmen dengan prinsip “berkumpul secara baik-baik atau berpisah secara baik-baik.”
Janji dan komitmen ini bersifat resiprokal, sehingga berlaku bagi suami dan istri. Ikatan janji ini harus dijaga, diingat, dan dipelihara bersama, sehingga membuahkan makna ghalizan (yang kuat) di dalamnya. Sehingga, tidak bisa hanya salah satu pihak saja yang diminta berkomitmen, sementara pihak yang lain tidak peduli.
Kedua, prinsip berpasangan dan berkesalingan. Hal ini berlandaskan firman Allah Swt.:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum [30]: 21).
Dari prinsip ini, suami dan istri masing-masing adalah separuh bagi yang lain, dan baru lengkap jika keduanya menyatu dan berkerja sama. Suami dan istri dalam hal ini diibaratkan sepasang sandal yang saling melengkapi, yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Ketiga, sikap saling memperlakukan dengan baik. Sikap ini adalah etika yang paling fundamental dalam relasi suami-istri yang bertujuan menciptakan kebaikan di dalamnya. Kebaikan di dalamnya harus dihadirkan dan sekaligus dirasakan kedua belah pihak. Hal berlandaskan firman Allah Swt:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا ١٩
“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 19)
Kalimat yang menjelaskan sikap saling memperlakukan dengan baik adalah wa Aa’syiruhunna bil ma’ruf. Aa’syiruhunna pada ayat diatas menggunakan bentuk kata (فاعل) yang memiliki arti kesalingan. Sehingga, suami dan istri harus saling berlaku baik. Tidak bisa hanya satu pihak saja yang berlaku baik, sedangkan pihak yang lain tidak, atau bahkan berbuat jahat.
Keempat, kebiasaan saling berembuk/bermusyawarah bersama. Dalam hal ini, segala sesuatu, terutama yang terkait dengan pasangan dan keluarga, tidak boleh langsung diputuskan sendiri tanpa melibatkan dan meminta pandangan pasangan. Hal ini berlandaskan firman Allah Swt.:
فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ٢٣٣
“Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 233)
Ayat di atas berbicara mengenai pentingnya berembuk antara suami dan istri atau ayah dan ibu. Kasus penyapihan pada ayat di atas hanyalah contoh, sehingga tidak bersifat eksklusif. Dengan bermusyawarah, akan muncul keaneka ragaman prespektif dalam menyikapi suatu masalah, yang akan membantu dalam mengambil sebuah keputusan.
Kelima, saling memberi kenyamanan/kerelaan (taradhin). Kerelaan adalah penerimaan paling puncak dan kenyamanan yang paripurna. Hal ini begitu penting dalam kehidupan berumah tangga, sehingga melahirkan rasa cinta kasih dan bahagia. Hal ini berdasarkan Q.S. al-Baqarah [2]: 233, bahwa penyapihan saja membutuhkan kerelaan suami dan istri, apalagi untuk hal lain dalam kehidupan berumah tangga yang lebih mendasar.
Demikianlah ringkasan singkat mengenai lima pilar dalam kehidupan rumah tangga dari buku Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Qodir, semoga membuka wawasan kita. (AN)
Wallahu a’lam.