Terlepas dari perdebatan antara sebutan ujian, cobaan, bala, bencana, musibah, hukuman atau lainnya, yang jelas fenomena mewabahnya Covid-19 saat ini adalah bagian dari ketentuan Allah yang di baliknya terdapat hikmah dan manfaat.
Beberapa pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apa arti ketentuan Allah dalam musibah ini? Apa hikmah yang berkaitan dengannya? dan apa manfaat yang bisa diambil oleh manusia di baliknya? Catatan berikut akan membincang tentang qadha Allah dan merangkum beberapa hikmah di balik terjadinya musibah.
Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam salah satu “masterpiece”nya, Al-Insanu Musayyarun am Mukhayyarun? memaknai ketentuan atau qadha Allah yang berkaitan dengan musibah ini sebagai suatu ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba (af’alul ibad) yang tidak ada unsur opsional (ikhtiar) di dalamnya. Artinya, segala musibah dan kejahatan yang terjadi adalah murni karena sudah ditentukan oleh Allah dengan pengetahuan dan kehendak sebelumnya, bahwasanya Dia akan menciptakan musibah pada waktu yang telah ditentukan, tanpa bisa dihindari oleh manusia.
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri“. (QS. Al-Hadid, 22- 23).
Buku catatan yang dimaksud di atas adalah kitab yang berisi catatan pengetahuan Allah.
“Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di langit dan di bumi, melainkan (tercatat) dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh)“. (QS. An-Naml, 75).
Maksudnya adalah catatan pengetahuan Allah tentang segala hal yang akan terjadi di dunia, baik yang berkaitan dengan perbuatan hamba ataupun perubahan kondisi dunia dan akhirat.
Lantas apa hikmah yang sebenarnya hendak disampaikan Allah pada hamba-Nya melalui musibah tersebut?
Al-Buthi menyatakan bahwa sebenarnya pertanyaan ini sudah pernah dikemukakan para filosof dan peneliti (termasuk non-muslim), sejak dulu hingga sekarang. Hal yang mereka anggap rumit adalah permasalahan ketentuan Tuhan. Saat menyukai kebaikan terjadi pada hamba-Nya, maka pada saat yang sama tidak mungkin Dia memberinya keburukan. Demikian halnya bila Dia menghendaki kejelekan terjadi pada seorang hamba, maka tidak mungkin pula Dia memberikan kebaikan pada waktu yang sama.
Ada sebagian dari mereka yang berusaha (lebih tepatnya memaksakan) menjawab dengan hipotesis adanya dua tuhan, satu untuk kebaikan dan yang lain khusus kejahatan. Keduanya memiliki peran mengelola alam semesta sesuai dengan kehendak masing-masing. Padahal sesungguhnya permasalahan ini sangatlah mudah untuk dijawab. Andai saja mereka mau merenungkan kandungan kitab Allah serta memeriksanya, niscaya akan menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Semua musibah pasti memiliki hikmah. Penjelasan berikut ini akan menghantarkan kita pada tiga hikmah di balik semua ketentuan Allah, termasuk di dalamnya musibah dan kejahatan yang menimpa manusia.
Pertama, secara garis besar ada dua kelompok pemikiran terkait sebab ketundukan alam semesta pada manusia. Sebagian mengatakan karena faktor alami, sementara yang lain berpendapat sebab perkembangan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak seluruhnya salah dan tidak mutlak betul. Karena memang dua hal itu mampu memberi pengaruh pada perubahan alam semesta.
Namun, di sisi lain Allah memerintahkan alam semesta agar sesekali menentang sifat alamiahnya atau ilmu pengetahuan manusia. Tanah yang secara alamiah memiliki kandungan kekayaan di dalamnya termasuk minyak, ternyata tidak begitu saja dapat dieksplorasi dengan ilmu pengetahuan yang telah maju. Sehingga yang keluar bukanlah bahan bakar yang bermanfaat, tapi lumpur panas yang membawa bencana.
Bumi yang sedari awal tenang dan tunduk pada kemauan manusia sehingga mereka nyaman tinggal di atasnya, terkadang sesekali memuai dan bergerak tidak seperti gerakan rotasi, akibatnya terjadi gempa, longsor, badai, tsunami, gunung meletus, banjir dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa sejatinya pergerakan maupun tetapnya bumi bukan hanya bersifat alami ataupun hasil rekayasa ilmu pengetahuan manusia, namun menjadi bagian dari otoritas Allah. Dia yang menundukkannya untuk kebaikan manusia sebagai anugerah dan kemurahan dari-Nya.
“Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?. Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu kepadamu? Namun kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku.” (QS. Al-Mulk, 16-17).
Hewan-hewan ternak yang tunduk dan patuh kepada manusia sesungguhnya bukan karena sifat alamiahnya. Bukan pula sebab karakter dasarnya. Namun murni karena kemurahan Allah yang menundukkannya untuk manusia. Jikalau tidak, maka hewan-hewan tersebut dapat sewaktu-waktu berubah liar, beringas dan ganas, bisa merusak bahkan membunuh. Sehingga tak seorang pun mampu mengendalikannya padahal sebelumnya patuh, termasuk kepada anak kecil sekalipun.
“Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya? Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian untuk mereka makan.” (QS. Ya-Sin, 71-72)
Sesungguhnya ini semua bagian dari ketentuan terbaik dari Allah. Anjing yang tunduk pada manusia dan mampu menjaga serta melayani tuannya bukanlah karena memiliki karakter hewan penurut. Sebab hiena (anjing hutan) dan serigala yang notabene berasal dari spesies yang sama ternyata tidak demikian. Anjing mampu menjaga ternak sedangkan hiena dan serigala justru memangsanya.
Binatang atau makhluk kecil nan lemah pun di luar kendali manusia. Mereka yang mampu mengendalikan hewan-hewan semisal kuda, sapi, kerbau dan keledai untuk kepentingannya ternyata tidak bisa terbebas dari serangan binatang-binatang kecil seperti serangga berbisa, lalat dan nyamuk atau yang lebih kecil lagi semisal bakteri, kuman, basil, mikroba dan virus. Kecuali jika mereka menggunakan obat pembasmi. Bahkan seseorang yang tampak kuat dan sehat tiba-tiba bisa terpapar virus tanpa tahu dari mana awal mula terjangkitnya.
Uniknya, untuk menyelamatkan diri dari serangan bahaya virus-virus itu, terkadang manusia harus kembali pada virus tersebut demi menemukan penawarnya. Mereka mengadakan penelitian demi menghasilkan vaksin atau serum yang berfungsi sebagai “anti virus”. Contoh yang nyata adalah hasil penelitian pada lalat. Hewan ini membawa kuman pada satu sayap dan obat penawar pada sayap yang lain.
“Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah”. (QS. Al-Hajj, 73).
Fenomena-fenomena di atas menyadarkan manusia bahwa sesungguhnya kendali alam semesta ada di “tangan” Allah. Bukan berada pada manusia ataupun ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Tidak juga karena sudah dari “sononya”.
Kesadaran semacam ini bisa muncul seiring dengan datangnya musibah yang menimpa manusia yang cenderung tidak dapat dinalar. Kesadaran itulah hikmah sesungguhnya di balik semua musibah.
Kedua, sesungguhnya Allah menjadikan manusia sebagai makhluk mukallaf. Dia memberikan perintah untuk beribadah kepada-Nya, menjalankan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan taklif (beban) ini pula manusia menjadi berbeda dengan malaikat. Bahkan dia bisa menjadi lebih utama daripada malaikat manakala dia mampu mengemban beban tugas ini dengan baik.
Meskipun demikian, manusia masih memiliki kebebasan untuk berikhtiar dan berusaha guna melaksanakan semua tugas itu dengan sebaik-baiknya. Tentunya dalam menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, manusia tidak lepas dari berbagai macam cobaan yang berupa musibah atau lainnya. Karena jika hidup seseorang terbebas dari segala kesulitan maka menjadi tidak jelas arti taklif tersebut.
Sekedar contoh, ketika Allah memerintahkan untuk memberi atau berbagi kebahagian dengan sesama dan mengutamakan orang lain, maka wujud beban yang dirasakan manusia adalah karakter bakhil dan egoisme yang dimilikinya. Dia dituntut untuk mampu mengalahkan itu semua demi melaksanakan perintah tersebut. Jika tidak demikian, maka perintah itu tidak layak disebut taklif.
“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. (QS. An-Nisa’, 128).
Demikian juga ketika Allah memerintahkan untuk berperang dan berjihad di jalan-Nya, maka hal yang dirasakan oleh manusia adalah rasa kikir dan keengganan berperang dalam dirinya.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu”. (Al-Baqarah, 216).
Sama halnya saat Allah memerintahkannya agar tidak memperturutkan hawa nafsu, maka beban taklif yang dirasakan adalah kuatnya dorongan nafsu dalam dirinya. Dia merasakan kesulitan luar biasa untuk bisa terbebas dari hawa nafsu atau mengendalikannya.
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang”. (QS. Ali ‘Imran, 14).
Dalam konteks menjalankan perintah-Nya, perselisihan antara karakteristik taklif dengan tabiat manusia sering terjadi dalam kehidupan manusia. Dua karakter yang senantiasa berlawanan antara menjalankan perintah dengan perasaan berat atau mengikuti kecenderungan untuk rehat, memberi atau menerima, tuntutan hidup atau resikonya, dan menuruti nafsu atau mengalahkannya. Semua ini bisa dikategorikan bagian dalam menghadapi cobaan. Karena tidak mungkin seseorang dapat mencapai derajat mulia sebagai pengemban taklif jika tanpa memikul beban dan merasakan ujian. Dan sebab derita itulah akan tampak beda antara hamba yang jujur dalam mengabdi dan yang dusta, serta antara yang ikhlas dan yang berpura-pura.
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?. Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut, 2-3).
Pendek kata, kenikmatan apapun (baik di dunia maupun di akhirat) akan tampak dan terasa setelah adanya musibah. Sebagaimana nikmat sehat hanya bisa dirasakan oleh orang yang sedang sakit. Bijak bestari mengatakan: “Al-shihhatu tajun ‘ala ruusi al-ashihhai la yarahu illa al-mardla”. (Kesehatan adalah mahkota di atas kepala orang sehat, yang hanya bisa dilihat oleh orang yang sakit).
Demikian halnya kenikmatan di akhirat akan diperoleh orang yang mau memperjuangkannya ketika hidup di dunia. Inilah sesungguhnya inilah hikmah di balik musibah.
Ketiga, sesungguhnya Allah menjadikan kehidupan di dunia sebagai jembatan menuju hidup abadi di akhirat. Kehidupan dunia dan segala dinamikanya hanya bersifat sementara. Istilah sekarang “hanya numpang lewat”. Pertanyaannya, pantaskah kehidupan yang sebentar ini hanya diisi dengan kesenangan, foya-foya, pesta pora dan lain sebagainya? Layakkah manusia, dengan masa hidup yang terbatas dan dalam kondisi sedang melewati jembatan menuju akhirat, memenuhi umurnya cuma dengan suka-suka, menuruti hawa nafsu, dan sebagainya?.
Andaikan kehidupan manusia hanya berisi kebahagiaan, tidak ada kesedihan. Hanya ada kemudahan, tidak ada kesulitan. Dan yang ada hanya mimpi-mimpi indah, tak pernah ada mimpi buruk. Maka manusia akan sock atau terguncang hatinya manakala dia tahu bahwa kematian sebentar lagi menjemputnya. Dia merasa berat harus meninggalkan dunia yang begitu dinikmatinya. Seperti halnya anak bayi yang tengah nikmat menyusu lalu mendadak dilepaskan begitu saja.
Untungnya Allah memberikan kemurahan pada hamba-Nya. Dia mendesain tatanan kehidupan di dunia ini layaknya sebuah jembatan. Allah memberikan semua fasilitas “penyeberangan”. Dia pun menyiapkan segala kebutuhan bagi “penyeberang”. Allah juga mengkondisikan manusia agar sadar bahwa mereka sedang melewati, tidak sedang menetap di jembatan.
Pada awalnya manusia hidup secara normal. Mereka makan, minum dan berenang-senang. Sesekali menghadapi musibah, sakit dan ujian. Hingga akhirnya mereka melewati masa muda dan memasuki masa tuanya. Tubuhnya tidak sekuat dulu. Darahnya tidak lagi menggelora seperti saat masih muda. Sedikit demi sedikit namun pasti badannya pun melemah dan mudah sakit. Harapan dan cita-citanya yang bersifat duniawi mulai berkurang. Lambat laun dia menjauhi dan berpaling dari kehidupan dunia. Seperti halnya orang yang menolak makanan yang mengeluarkan aroma basi. Padahal sebelumnya dia menyantapnya hingga puas.
Sebaliknya, dalam kondisi seperti di atas, orientasi hidup manusia mulai berubah. Cita-citanya mengarah pada kehidupan setelah kematian. Baik di alam barzah maupun kehidupan akhirat. Kehidupan yang dipenuhi dengan kenikmatan abadi tanpa batas. Dan ketika maut menghampirinya dalam suasana hati seperti ini, maka dia tidak lagi menghiarukan dunia atau menyesalinya.
Bahwa peralihan manusia dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat sejatinya adalah musibah yang harus dihadapi manusia. Karena ada keharusan melewati gerbang kematian di dalamnya. Dan sesungguhnya musibah-musibah yang pernah terjadi dalam kehidupan adalah mukaddimah atau permulaan untuk persiapan melewati gerbang itu.
Sesungguhnya Allah telah mendesain kehidupan di dunia sebagai tempat transit, bukan tempat tinggal selamanya agar manusia tidak terlena dengan kenikmatan dan kesenangan di dalamnya. Pun agar tidak terkejut dan kecewa manakala mengalami kesulitan hidup. Karena sejatinya kehidupan dunia adalah sementara dan penuh tipu daya. Tidak perlu terlalu senang tatkala mendapatkan apa yang disenengi dan tidak harus berputusasa manakala kehilangan sesuatu.
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami”. (QS. Al-Anbiya’, 35).
Tatanan hidup yang telah didesain Allah sedemikian rupa akan terasa besar hikmahnya bagi orang-orang yang mau merenungkannya. Ketiga hikmah di atas memiliki peran dalam menghiasi hidup dengan warna-warni kenikmatan dan musibah, agar “hidup lebih hidup”. Ibarat minuman kopi akan terasa lebih nikmat, ketika racikan antara rasa pahit kopi dan manisnya gula sama-sama terasa di lidah. Wallahu A’lam.