Dua hari ini, saya kembali hanyut mengkhatamkan buku “Mbah Wahab Hasbullah; Kiai Nasionalis Pendiri NU”. Mbah Wahab Hasbullah orang pertama yang mengenalkan tradisi Halal Bihalal. Bagi saya, buku setebal 184 halaman ini bukan sembarang buku. Urain dan pilihan diksinya seakan menyimpan magi. Menelaah perhalamannya, kita akan diantarkan untuk melihat dan merasakan langsung perjuangan KH. Wahab Hasbullah. Yakni ikut andil meletakkan pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Khususnya melalui Nahdlatul Ulama. Mungkin, karena buku ini ditulis oleh KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986), salah satu saksi hidup dan orang terdekat KH. Wahab Hasbullah.
Buku yang ditulis KH. Saifuddin Zuhri dalam rangka memperingati 100 hari wafatnya KH. Wahab Hasbullah ini dibagi menjadi 13 bagian. Di bagian awal, kita akan diajak melihat bagaimana KH. Wahab muda merintis perhimpunan “Tashwirul Afkar”, “Nahdlatul Wathan”, “Syubbanul Wathan” dan aktif dalam “Islam Studie Club”. Hingga pada 31 Januari 1926, membentuk Komite Hijaz. Di bagian awal ini, kita juga diantarkan untuk mengetahui hubungan perjuangan Kiai Wahab dengan tokoh pergerakan kemerdekaan, di antaranya adalah HOS Cokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur, Dokter Wahidin Sudirohusodo, Dokter Sutomo.
Di bagian selanjutnya, secara detail, kita akan diajak untuk melihat bagaimana KH. Wahab Hasbullah menjadi ruh dan motor penggerak NU. Baik di masa penjajahan Belanda, Jepang, maupun di era kemerdekaan. Yang menarik, disebutkan bahwa di sepuluh tahun pertama (1926-1936), keberadaan NU belum begitu diperhitungkan. Menurut KH. Saifuddin Zuhri, di tahun-tahun ini, kiprah Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Muhammdiyah lebih dominan. Tahun 1926-1932, KH. Wahab Hasbullah masih menuntun NU dari surau ke surau. Momentum terjadi di tahun 1937-1938, ketika NU tampil memimpin Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Dimana putra Hadratussyaikh Hasyim Asyari (1981-1947), KH. Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) terpilih sebagai ketua. Di era ini, KH. Wahab Hasbullah mampu menampilkan tenaga-tenaga muda.
Di era penjajahan Jepang, NU menghadapi tantangan pelik. Tokoh-tokohnya banyak ditangkap oleh Jepang. Tidak terkecuali Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Pun pula KH. Mahfudz Shiddiq (1907-1944) selaku Ketua Pengurus Besar NU juga ditangkap. Di waktu genting ini, KH. Wahab Hasbullah menghimpun cara dan usaha untuk membebaskan tokoh-tokoh NU. Di antaranya ialah dengan negosiasi berulang kali dengan Panglima Tertinggi tentara Jepang di Jawa, Kepala Pemerintah Militer Jepang di Jakarta, hingga Residen Jepang di Surabaya. Berkat kegigihan dan strategi KH. Wahab Habullah, tokoh-tokoh NU berhasil dibebaskan.
Di era awal kemerdekaan, KH. Wahab adalah tokoh nasional yang menjadi salah satu tokoh sentral partai Masyumi. Berulang kali, beliau terpilih sebagai Ketua Majlis Syuro Masyumi. Karena itu, tidak aneh jika di tahun 1948, ketika terjadi perpecahan dan friksi antar golongan dan aliran politik, Presiden Sukarno meminta nasehat dan pendapat KH. Wahab Hasbullah. Pada pertengahan Ramadhan tahun 1948, KH. Wahab diundang ke Istana.
Dari permasalahan konflik antar golongan yang disampaikan Presiden Sukarno, KH. Wahab Hasbullah mengusulkan untuk diadakan silaturahmi nasional di momen hari raya Idul Fitri. KH. Wahab menyebutnya dengan Halal Bihalal. Akhirnya, usul ini disetujui oleh Presiden dengan istilah Halal Bihalal. Saling memaafkan dan menghalalkan masing-masing kesalahan dan prasangka. Memupuk kembali semangat persatuan dan kesatuan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Sejak tahun itu, Halal Bihalal terus rutin diadakan. Baik di institusi-institusi negara ataupun di masyarakat. Perpecahan dan perbedaan dapat kembali disatukan. Tokoh bangsa kembali bersatu. Lantas, mungkinkah spirit dari tradisi Halal Bihalal ini mampu terus kita rawat untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia?