Perbincangan mengenai kota santri-nya Tunisia, Kairouan seakan tidak ada habisnya. Tidak hanya diakui di mata dunia karena mampu melahirkan tokoh-tokoh fikih ternama, kota ini juga dikenal sebagai lumbung penghasil ilmuan berbakat. Salah satunya adalah Ibnu Al-Jazzar, sosok legendaris, yang menjadi icon kedokteran rakyat Tunisia. Ia tumbuh berkembang di abad 4 H/10 M yang tidak lain adalah salah satu golden age kota Kairouan di bawah pendudukan Dinasti Ubaidiah.
Nama lengkapnya ialah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Abi Khalid. Para sejarawan sepakat bahwa ia lahir di Kairouan, Tunisia. Namun mereka berbeda pendapat soal tahun kelahirannya. Menurut pakar sejarah Tunisia, Hasan Husni Abdul Wahhab, ia lahir di awal abad 4 H. Sedangkan menurut pegiat kajian turats tarbawi, Fathi Hasan Malkawi meyakini bahwa Al-Jazzar lahir di tahun 895 M. Kendati para ahli berbeda dalam hitungan beberapa tahun, bisa disimpulkan bahwa Ibnu Al-Jazzar tumbuh berkembang pada abad 4 H/10 M. Sebagaimana ia meninggal tahun 979 M versi Hasan Husni atau 980 M versi Fathi Hasan Malkawi.
Sanak keluarga Ahmad Ibnu Al-Jazzar tergolong serba berilmu dan berkecukupan. Mereka telah lama berkecimpung di dunia medis. Oleh karena itu, sejak dini akses untuk mendapatkan ilmu kedokteran sudah terpampang lebar bagi pemuda cerdas satu ini. Ibnu Al-Jazzar memanfatkan betul kondisi menguntungkannya itu dengan menuntut ilmu langsung dari sang ayah, Ibrahim bin Abi Khalid yang merupakan dokter spesialis mata. Di sisi lain ia juga mendapat didikan dari Abu Bakar bin Abi Khalid seorang dokter bedah terkemuka pada masanya yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Kedua orang ini lah yang berpengaruh dalam tahap pembentukan awal sang dokter muda.
Seiring bertambahnya usia, pengembaraan intelektual Al-Jazzar dikembangkan lagi dengan berburu ilmu kedokteran dari dokter-dokter istana kerajaan. Sebagaimana tercatat dalam buku – buku sejarah bahwa ia pernah berguru pada Ishaq bin Imran, tokoh kenamaan Irak sekaligus dokter pribadi pimpinan tertinggi Kerjaan Aghalibiah Ibrahim II. Ia juga berguru pada dokter terbaik di masanya, yakni Ishaq bin Sulaiman Al-Israilli. Dia adalah seorang Yahudi berprofesi sebagai dokter khusus raja Aghlabiah selanjutnya, Ziyadatullah III.
Adapun genealogi berfikir Ibnu Al-Jazzar sangat dipengaruhi oleh buku-buku bacaan yang ia pelajari. Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa sejak abad-2 H geliat transmisi ilmu pengetahuan dari peradaban lain melalui penerjemahan bahasa Yunani ataupun Persia ke bahasa Arab sedang marak digaungkan. Setidaknya ini menjadi salah satu unsur pengantar menuju masa keemasan ilmu pengetahuan Islam di abad 3 H.
Dari kondisi bergelimang ilmu pengetahuan tadi, lagi-lagi Ibnu Jazzar memperoleh keberkahan dengan tersedianya fasilitas untuk mengarungi luasnya samudera keilmuan. Tercatat sejumlah manuskrip fenomenal dunia tentang ilmu kedokteran habis ia lahap. ‘Adil Muhammad Ali Syekh Husain dalam karyanya yang berjudul Ibnu Al-Jazzar Al–Qairowani sebagimana dilansir dari surat kabar Al-Hayat Al-jadidah no 6160 (28/12/12) memaparkan sejumlah diktat yang pernah ditelaah oleh Ibnu Al-Jazzar.
Dalam surat kabar ini disebutkan bahwa ia pernah mempelajari buku babon tentang bahan dasar pembuatan obat, Maqalat al Khumus (De Materia Medica) karya dokter dan farmakolog Yunani, Pedanius Dioskoreides yang hidup di awal abad 1 M. Kemudian Al-Maqalat As-Sitt fi Al-Adwiyah Al-Mufradah karya Claudius Galen seorang tabib sekaligus ahli anatomi tubuh manusia yang konon hidup di abad 2 M. Selain dua jenius tadi ia juga membaca kumpulan teori filsuf dan dokter Yunani kuno lainnya seperti Phythagoras, Aristoteles, Hippokrates dan Rufus of Ephesus.
Literatur-literatur Mesir kuno pun tidak luput dari pandangannya, seperti saat ia mempelajari formulasi medis milik ratu sekaligus pujangga ilmu kedokteran Mesir, Cleopatra. Kemudian ia menjelajahi karangan-karangan dan terjemahan hasil karya Masarjawaih, seorang Yahudi Persia yang menjabat sebagai dokter dan penerjemah. Konon ia adalah orang yang pertama kali menerjemahkan buku kedokteran berbahasa Suryani ke dalam bahasa Arab.
Selain itu, ia terbilang cukup up to date dalam membincang dokter dan tokoh beken yang seperiode dengannya. Misalnya, ketika mengelaborasi pemikiran Yuhanna Ibnu Masawih dokter ternama pemerintahan Al-Rasyid. Atau menggali kedalaman karya-karya filsuf pertama muslim yang mahir dalam bahasa Yunani, Abu Yusuf Ibnu Ishaq al-Kindi.
Ketersedian sosok dokter yang profesional, kompeten serta berpengalaman di masa itu masih sangat terbatas. Jika pun ada, umumnya mereka saling menargetkan diri agar dapat bekerja di istana kerajaan atau melayani orang-orang elit yang secara finansial mampu menyewa jasa tenaga medis. Hal ini berbeda dengan jalan yang ditempuh Ibnu Al-Jazzar.
Ibnu Al-Jazzar, dicuplik dari penuturan Abu Dawud Sulaiman (Ibnu Juljul) dalam Tabaqat al-Atibba wa al-Hukama, tidak mengkhususkan diri untuk melayani birokrat pemerintahan atau masyarakat kalangan atas. Padahal untuk bergabung dalam lingkungan elit itu baginya mudah, sebab ia adalah salah satu dokter terbaik yang namanya sudah melambung di berbagai belahan dunia.
Alih-alih bekerja di istana yang mungkin akan bergelimang harta, dia justru memilih bergerilya di tengah – tengah masyarakat serba kekurangan di sekitar rumahnya. Dikisahkan hubungan spesial dengan keluarga kerajaan hanya cenderung berkutat dengan Abi Thalib paman Ma’ad (Raja Dinasti Ubaidiyyah) yang tidak lain adalah teman lamanya. Itu pun dijadwalkan hanya satu minggu sekali yakni di setiap hari Jum’at.
Jika musim panas tiba, ia pergi ke kota Monastir Tunisia untuk mendedikasikan dirinya di salah satu rumah sakit. Kota ini terletak di wilayah pesisir pantai sekitar 165 km dari ibu kota Tunis, kampung halaman sekaligus tempat peristirahatan terakhir Presiden pertama Republik Tunisia, Habib Bourguiba.
Setelah menjalani hari-harinya di Monastir sepanjang musim panas, ia kemudian kembali ke tempat asalnya. Di kediamannya ia membuka sebuah praktik pribadi. Untuk memaksimalkan kinerja kliniknya, ditugaskanlah seorang pemuda bernama Rasyiq untuk mengelola segala jenis obat-obatan yang telah dibuatnya.
Pemuda ini ditempatkan terpisah dari tempat pemeriksaan pasien tepatnya di pintu depan rumahnya. Ini adalah kekhasan penerapan protokol medis Ibnu Al-Jazzar, yang didapat selama pergulatannya dalam dunia kedokteran dan pengalaman-pengalamannya saat menangani pasien.
Sesuai dengan salah satu konsep terbarukan yang diusung Ibnu Al-Jazzar berupa pemisahan antara kinerja dokter dan apoteker. Dokter fokus memeriksa kondisi pasien, sedangkan apoteker mempersiapkan racikan obat berdasar resep dokter. Berkat kepiawaiannya ini, ia dinobatkan sebagai At-Thabib As-Shaidali Al-Islami Al-Kabir. Jelas, ini bukanlah sebuah gelar kaleng – kaleng.
Mengabdikan hidupnya bagi masyarakat tanpa pandang bulu. Begitulah ia dikenang masyarakat Tunisia. Reputasi mengkilapnya sebagai seorang dokter berjiwa besar didasari oleh ketulusan hatinya dalam membantu menyembuhkan penyakit yang mendera masyarakat kalangan bawah. Keikhlasan serta kepeduliannya betul-betul ia terapkan dengan tidak membebani biaya operasional bagi masyarakat kurang mampu.
Dari mulai datang ke klinik hingga pulang membawa obat, semuanya gratis. Dengan begitu masyarakat tidak perlu pusing-pusing memikirkan biaya untuk layanan kesehatan dan biaya penebusan obat. Maka tidak mengherankan, jika banyak literatur Islam mengambil sisi kedekatan Al-Jazzar dengan kaum pinggiran sebagai contoh yang perlu diteladani semua pihak. Sebab pada dasarnya, Islam mengajarkan tolong menolong antar sesama, apalagi terhadap mereka yang sedang membutuhkan.
Thabib Al-Fuqara wa Al-Masakin pernahkan Anda mendengar kitab tersebut ? Ya, kitab satu ini adalah salah satu karangan Ibnu Al-Jazzar yang dibuat khusus guna membahas seluk beluk penyakit-penyakit yang umum terjadi di kalangan masyarakat lengkap beserta tata cara mengobatinya. Dalam kitabnya itu, ia menggunakan diksi yang sangat sederhana sehingga dapat dipaham dengan mudah oleh penduduk pra-sejahtera. Sebuah bentuk edukasi medis yang sangat bermanfaat.
Tidak hanya peduli terhadap kalangan bawah, sang dokter juga bermuamalah baik dengan para konglomerat. Seperti yang dikisahkan oleh Ali Abdul Fattah dalam ‘Alam-Mubdi’in, tatkala Ibnu Al-Jazzar dipanggil menuju istana kerajaan untuk menyembuhkan penyakit salah satu putra hakim An-Nu’man. Sebagai rasa terimakasih atas kesembuhan Ibnu Nu’man, Ibnu Jazzar dihadiahi sejumlah uang dan pakaian mewah. Ketika Ibnu Jazzar menerima hadiah tersebut ia mengembalikannya seraya berkata, “Sesungguhnya saya mengobati pasien, baik mereka yang kaya maupun miskin bukan karena kecintaan terhadap harta atau kekayaan, melainkan mengharap balasan dari Allah Swt”.
Disiplin, tekun, telaten dan juga produktif. Sifa-sifat ini sudah terpatri dalam diri Ibnu Al-Jazzar, si pejuang kemanusiaan. Pasca kepulangannya rahimahullah, dia masih memberikan sumbangsih berupa peninggalan catatan berharga dalam bidang kedokteran seperti karyanya yang bertajuk, Zad al-Musafir wa Quwwat Al-Hadir, Adz-Dzam wa At-Tahdzir Min Ikhraj Ad-Dam Li Ghairi Hajat, Siyasatussibyan wa Tadbirihim dan masih banyak lagi. Total buku kedokteran yang ia tulis berjumlah 25 karangan. Selain dalam bidang medis, ia juga menulis soal sejarah seperti At-Ta’rif bi Sahih At-Tarikh dan Akhbar Daulah Fathimiyyah.
Karya-karyanya ini mendapat perhatian penuh dari kalangan bangsa Eropa. Mereka berdecak kagum melihat karya fenomenal dokter asal Kairouan ini. Lantaran dinilai begitu banyak faidah yang terkandung dibalik catatan-catatan peninggalan Algazir ini – begitulah ilmuan Eropa mengenalnya, maka tidak sedikit dari manuskripnya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin guna dijadikan sebagai bahan penelitian terhadap pengembangan ilmu medis. Sebagaimana diutarakan Hasan Husni Abdul Wahab dalam Khulasat Tarikh Tunis. (AN)
Wallahu a’lam.