Akhir-akhir ini, saya akun youtube saya cukup banyak berseliweran akun youtube dari selebgram Indonesia yang menikahi gadis di bawah umur, Adhiguna dan Sabrina. Saya pun cukup penasaran dengan keduanya, hingga akhirnya saya menemukan riwayat kedua pasangan tersebut. Adhiguna menikahi Sabrina yang umurnya baru 16 tahun. Dengan kata lain, Adhiguna melanggengkan pernikahan anak dan bagi saya glorifikasinya begitu berlebihan. Padahal, sejumlah masyarakat sipil dan pemerintah tengah memerangi perkawinan anak.
Tahun lalu, usia perkawinan naik berhasil diperjuangan oleh kawan-kawan aktivis perempuan menjadi 19 tahun. Aturan tersebut tertulis dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang usia perkawinan. Dalam catatannya pada 2016 menurut State of The World Children, Indonesia menjadi negara ketujuh yang menempati angka perkawinan anak. Bahkan, Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi yakini mencapai 273.300 kasus. Angka yang cukup membuat kaget bukan?
Secara global, kasus perkawinan anak ini terjadi ada tiga faktor. Pertama, pendapatan keluarga yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan berada di lingkungan pedesaan. Ada banyak alasan kenapa perkawinan anak sangat ditentang oleh sejumlah aktifis, jelas ini sangat merugikan perempuan. Nampaknya, terlebih Sabrina tidak faham dampak yang dialami oleh perempuan ketika melakukan perkawinan di bawah umur. Apa saja dampaknya?
Pertama, perkawinan anak akan menyumbang angka kasus perceraian yang paling tinggi. Di mana perempuan yang menikah dibawah umur, belum memiliki mental, fisik dan spiritual yang cukup untuk menjalankan pernikahan.
Kedua, akan berdampak pada buruknya kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Ketiga, menjadi penyebab tingginya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam data global misalkan perempuan yang menikah d ibawah 15 tahun kemungkinan mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga meningkat sekitar 50 persen.
Keempat, perkawinan anak menjadi penyebab berbagai masalah kesehatan. Misalkan pada kasus Kematian Ibu terjadi disebabkan karena ketidaksiapkan fungsi organ reproduksi. Ditambah lagi dengan angka kematian anak yang mana akan menyumbang kelahiran anak yang prematur. Terakhir, jika masyarakat terus melanggengkan perkawinan anak, tentu saja program pengentasan kemiskinan dan program belajar 12 tahun tidak akan berjalan dengan baik di Indonesia.
Nampaknya, Adhiguna dan Sabrina ini tidak mengerti aturan yang ada di Indonesia. sehingga, dalam vlog mereka malah menampilan kisah romantisme tentang pernikahan. Dengan kata lain, mereka malah membuat kampanye tentang perkawinan anak. Ini sangat ironi sekaliSabrina dengan usia yang baru saja mencapai 16 tahun masih dikatakan anak-anak. kategori anak atau bukan sudah jelas dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kasus perkawinan anak dari selebgram ini perlu menjadi refleksi bersama. Apa saja yang menjadi refleksinya? Perihal Sanksi bagi para pelaku. Di mana perlu ada sangsi hukum bagi pelaku (orangtua atau pasangan) pelanggar Undang-undang yang dibuat. Selama ini, sanksi tidak dibahas dengan jelas oleh berbagai pihak. Tampaknya, dengan adanya kasus ini, perlu ada sanksi yang tegas bagi para pelakunya. Bukan hanya penjara, denda yang tinggi bisa jadi opsi sanksi.
Fakta lainnya yang perlu direfleksi, pengadilan agama banyak melolosan dispensasi perkawinan selama tahun 2019. Di Semarang, berdasarkan data yang dihimpun dari Januari hingga November 2019 ada 91 permohonan dispensasi perkawinan. Harusnya para hakim bisa menelusuri detail setiap permohonan, yang mana dispensasi perkawinan menjadi kendala baru dalam menekan angka perkawinan anak. Hingga, menurut saya, perlu ada pedoman permohonan dispensasi Perkawinan untuk diaplikasikan.
Tidak semua orang memiliki perspektif yang sama terkait perkawinan anak ini. Apa saja pedoman yang perlu diurai? Mulai dari pengajuan dispensasi kawin, syarat administrasinya sampai pertimbangan keputusan.