“Yang berbahaya dari menurunnya minat baca, adalah meningkatnya minat berkomentar”, Zen Rachmat Sugito (Zen RS). Lebih alang bahaya lagi bila berlaku dalam wacana agama. Tidak membaca al-Quran, tidak membaca hadis, tidak membaca literatur turats ataupun kitab kontemporer, namun mengoceh sana sini tentang Islam. Bahaya sekali! Bahkan berkali-kali.
Saya mengenal seorang ‘alim tulen. Seorang jebolan universitas Al-Azhar Al-Syarif, Kairo, di Mesir sana yang melahap tidak hanya studi S1 tapi tuntas S3 secara close concern pada Teologi Islam. Gelar S3 yang didapatnya tertulis Doctor of Philoshophy (Ph.D) berpredikat summa cum laude, dengan spesialisasi Teologi Islam.
Gelar ini nampak lebih dari cukup, bila dia banyak cuap di berbagai arena akademik. Namun senyatanya, tidak demikian. Orang ini lebih sering silent argumen. Menurutnya “seorang alim betulan tahu apa yang diomongkan, bukan mengomongkan yang dia tahu”. Sehingga orang-orang yang mengenal betul kepakarannya, menjadi lebih banyak dipenuhi harap-harap rindu, akan pendapat-pendapatnya dalam merespon aktualitas problem keagamaan.
Kerinduan ini bersuajawab tak lama selepas pandemik COVID-19 meriuh. Ada kabar bahwa, pikirannya terbukukan dan tak jauh dari meja cetak penerbit. Tak pelak muncul godaan benujum-nujum riya. Halus dan tipis-tipis. Kira-kira seperti apa dia merespon aktualitas dinamika keislaman di sekitar kita?
Aktualitas keagamaan yang dimaksud adalah perihal massifnya anggapan bahwa agama begitu keras dan kaku dalam praktik sosialnya. Sebegitu keras sampai tak mempan pada dialog, tak mengenal strategi meliuk. Jangankan membayangkan ada tarian indah sapa sosial, bahkan menundukkan kepala sebagai rasa hormat kemanusiaan saja terkesan emoh. Jejak digital tentu punya banyak data tentang ini. Misalnya sikap-sikap atas COVID-19 yang terkesan anti sains. “ke ATM berani, ke pasar lanjut, ke mall jalan, eh giliran ke masjid gak berani”, satu dari seloroh mereka.
Orang yang sedang kita bahas ini adalah Yunus Masrukhin. Seorang muslim sejak lahir. Santri dari kecil yang sampai sekarang masih memiliki ketekunan pilih tanding dalam kajian ilmu-ilmu keislaman. Khususnya teologi Islam sebagaimana sudah kita singgung sebelumnya.
Wajah Islam yang kaku, keras dan cenderung bebal ini, memang bukan cerminan seluruh watak keberagamaan muslim seluruhnya. Bahkan di negeri kita, terbilang minor. Tetapi kenyaringan opini mereka begitu lantang. Trend ini cukup jelas dalam pergulatan politik Pilpres kemarin. Lalu bagaimana respon teologis terkait fenomena ini? Teologi yang referensial dan kokoh secara ilmiah.Yunus Masrukhin merespon ini melalui sebuah sodoran naskah: Menjadi Muslim Moderat; Teologi Asy’ariah di Era Kontemporer. Sebuah buku yang sedikit-sedikit akan kita intip ruas-ruas tematiknya.
Buku ini terbilang minimalis, baik dari isi maupun pemasaran. Dari sisi pemasaran sangat terbatas. Tidak ada endorse dari tokoh-tokoh pesohor disiplin ilmu terbahas. Tidak ada blow up institusional. Hanya melalui sosial media (Facebook, Instagram, WA secara terbatas). Itu pun dilakukan dengan inisiatif mandiri oleh beberapa online book store indie yang menjual buku ini. Tidak oleh toko-toko buku mapan semacam Gramedia dan sebangsanya.
Secara isi, cukup minimalis karena menggunakan kerangka penuturan semi populis. Nampak sekali kehati-hatian dari penulisnya, dalam rangka menghindari kejenuhan pembaca. Karena tema bahasan di dalamnya adalah tema disiplin keilmuan yang terlanjur dianggap rumit: teologi.
Kehati-hatian atau bisa juga dibaca ‘kejelian’ penulisnya dalam pilihan gaya tutur, tidak lantas menjadikan bahasan utama menjadi rapuh. Sama sekali jauh dari kesan itu.
Menjadi Muslim Moderat, secara sistematis dibabar menjadi enam bagian bahasan. Rumah besar tematiknya, seperti sudah dipampang di sub judul adalah perihal Teologi Asy’ariah. Di bagian awal, diberikan penjelasan memadai terkait sejarah latar ruh dan jasad buku ini. Bagian ini cukup vital karena menjadi panduan awal tentang wilayah-wilayah yang akan dibahas terkait diskursus teologi Asy’ariah. Satu rumusan teologis yang menjadi pedoman mayoritas muslim di Indonesia.
Empat bagian pembahasan setelahnya, mengajak pembaca kepada wilayah penting perihal teologi Asy’ariah. Penulis buku ini nampak mempertimbangkan secara rinci runtutan pembahasan. Pertimbangan yang rinci ini begitu kentara, terlihat pada dibuatnya topik ‘pendahuluan’ dan ‘kesimpulan’ di tiap bagian pembahasan. Semacam sangat enggan bila mana terdapat kesalahan intensi ketika sudah mulai masuk mencerna tema. Praktik sekurisasi diskursif yang disengaja melalui style pendahuluan-kesimpulan di tiap bagian pembahasan ini, jauh dari kesan boros kata, alih-alih boros space. Keberadaan pembuka-penutup ini selalu mengimplisitkan benang merah bahasan yang begitu rapat.
Bagian utama pembahasan dalam buku ini, menyoroti sejarah perkembangan teologi Islam dari mulanya sampai menjadi satu disiplin keilmuan mapan. Tentu saja space paling banyak adalah tentang teologi (ilmu kalam) Asy’ariah secara sistem pemikirannya. Sejarah teologi yang dimaksud bukan sebatas sejarah politisnya tetapi membahas secara serius ‘sistem pemikiran’ yang berkelindan di dalamnya. Sejarah ini sangat penting supaya teologi dapat dipahami sebagai anak kandung dari dinamika keilmuan Islam yang merentang sampai sekarang.
Memasuki pembahasan lebih dalam, kaidah-kaidah pokok teologi Asy’ariah, dijelaskan perlahan secara serius. Keseriusan yang dimaksud adalah dengan memberikan penjelasan bahasan yang bersumber dari literatur utama ke-Asy’ariah-an. Dikatakan ‘sumber utama’ karena rujukan yang digunakan adalah buah pertama dari karya empunya Asy’ariah, yaitu Abu Al-Hasan Al-Asy’ary sendiri berikut ulama-ulama otoritatif setelahnya.
Dua bagian pembahasan setelahnya, concern pada pokok-pokok formatif teologi Asy’ariah kaitannya dengan situasi teologis dan sosial terkini. Tema-tema seputar diskursus agama di ruang publik-politis terbahas secara serius. Di wilayah ini, pembaca akan mendapatkan zona terang secara teologis terkait kekusutan sengkarut paradigmatik antara sikap teologis dan sikap politis.
Pengalaman paling melekat setelah membaca buku ini adalah hadirnya kemapanan pengetahuan tentang teologi Asy’ariah yang bersumber dari rujukan-rujukan utama literatur ke-Asy’ariah-an. Sebuah pengalaman yang langka di batas kultur akademik berstudi teologi, di Indonesia dewasa ini.
Judul : Menjadi Muslim Moderat; Teologi Asy’ariah di Era Kontemporer
Penulis : Mohammad Yunus Masrukhin (Ph.D)
Penerbit : Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) cabang Indonesia
Cetak : Pertama, April 2020
Tebal : viii + 199 hlm
ISBN : 978-623-7800-37-8