Buya Syafii Maarif adalah seorang “buya sejati” dan ulama teladan bagi putra-putri Bangsa Indonesia. Saya tidak kenal dekat dengan Buya Syafii. Tapi sudah sejak lama saya mengamati dan memperhatikan “sepak-terjang” beliau di dunia kepolitikan nasional. Saya juga sudah lama membaca, mempelajari, dan menelaah tulisan-tulisan beliau yang sangat banyak bertebaran, baik dalam bentuk buku maupun artikel-artikel di berbagai jurnal dan media.
Ketika beberapa tahun lalu, Buya Syafii mendapatkan penghargaan sebagai “Guru Bangsa” oleh sebuah lembaga di Jakarta, sayalah yang diminta oleh panitia dan pendiri lembaga itu untuk menulis biografi singkat beliau.
Kesanku, Buya Syafii bukan hanya seorang sejarawan Islam handal dan cendekiawan Islam mumpuni tetapi juga seorang tokoh agama yang cinta mati dengan Indonesia, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Buya Syafii juga seorang tokoh Muslim yang cinta mati dengan Islam. Keliru besar tuduhan dan fitnahan yang menganggap beliau “tidak Islami” atau “kurang kualitas Islam”-nya hanya karena beliau berbeda pendapat dengan “mainstream” publik Islam tentang “kasus Ahok”. Buya Syafii adalah seorang ulama sejati yang mengerti tentang hakekat Islam, memahami tentang “spirit kenabian”, dan mengetahui tentang bagaimana Islam seharusnya dan idealnya berkiprah di masyarakat yang majemuk.
Cukup panjang pergumulan intelektual dan proses belajar Islam Buya dari Indonesia sampai Ohio dan akhirnya mendarat di Chicago ketika ia belajar doktor di bawah bimbingan ahli Islam ternama kelahiran Pakistan: mendiang Professor Fazlur Rahman. Maka, sangat naif dan ironis, jika seorang ilmuwan besar yang sudah malang-melintang di dunia pendidikan dan kenyang dengan “asam-garam” pengkajian Islam, kemudian dilecehkan oleh anak-anak ingusan yang baru sunat kemarin sore atau oleh “ustad unyu-unyu” yang tidak memiliki kualifikasi akademik tapi hobi ceramah dan nampang di tivi.
Bukan hanya itu, Buya Syafii juga teladan bagi bangsa karena sikapnya dan gaya hidupnya yang sangat sederhana. Sejak dulu, Buya Syafii hidup sangat sederhana. Meskipun ada banyak pengusaha dermawan atau pejabat / politisi kaya yang ingin “menyejahterakan” hidupnya, beliau selalu menlak dengan halus. Dulu Pak Taufik Kiemas juga pernah menawari beliau untuk menjadi Komisari Utama sebuah perusahaan BUMN, tetapi Buya Syafii menolaknya karena merasa tidak layak menduduki jabatan itu. Konon mobil beliau juga cukup Xenia. Rumah beliau juga amat sangat sederhana.
Coba Anda bandingkan kesederhanaan atau kesahajaan hidup beliau dengan para “ustad seleb” atau pemimpin ormas Islam yang hobi mengoleksi mobil-mobil mewah keluaran “negara-negara kapir” yang selalu mereka caci-maki itu? Coba Anda bandingkan kesederhanaan beliau dengan para “penceramah genit” sok alim-saleh bin Islami tapi doyan pamer kemewahan dunia? Coba Anda renungkan: mana sebetulnya yang lebih Islami? Mana sebetulnya yang lebih “Qur’ani”? Mana sebetulnya yang lebih “nyunah rasul”? Mana yang lebih meneladani Nabi Muhammad?
Jika Anda mengaku beragama Islam atau setidaknya ber-KTP Islam tetapi tidak mengindahkan Buya Syafii, maka perlu diragukan keislaman Anda. Jika kalian mengaku Islam tetapi tidak menghormati Buya Syafii, maka gantilah pakaian kalian dengan kain kafan. Jika kalian mengaku Islam tetapi lebih menghormati para ustad yang suka memaki dan berkata kotor seperti got comberan itu, maka Islam mana sebetulnya yang kalian anut? Ajaran Islam mana yang mengajarkan umatnya untuk berkata kotor dan kurang ajar terhadap orang lain, apalagi orang lain itu adalah seorang ulama besar seperti Buya Syafii?
Kita boleh berbeda pendapat dan pemikiran tetapi hendaknya tetap berpegang pada etika dan moral, jangan seenak perutnya sendiri. Jika Anda mengaku sebagai “penyembah Tuhan” tetapi kelakuan kalian seperti “preman jalanan”, saya khawatir, kalian ini sebetulnya adalah “pemuja setan”.
Jabal Dhahran, Arabia