Bayang-bayang Kelaparan di Tengah Pandemi, Belajar dari Negeri Wano

Bayang-bayang Kelaparan di Tengah Pandemi, Belajar dari Negeri Wano

Hampir mirip dengan Negeri Wano, demikian juga yang terjadi di Indonesia. Bila menyimak wacana mengenai ketersediaan bahan pangan, barangkali ceritanya bisa dimulai dari keputusan perdana menteri Sjahrir pada bulan-bulan April tahun 1946.

Bayang-bayang Kelaparan di Tengah Pandemi, Belajar dari Negeri Wano

Sudah lebih dua bulan Indonesia diteror Corona. Setelah gagap menangani pandemi, baru-baru ini ada wacana lain dari pemerintah. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menginstruksikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuka lahan persawahan baru untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan.

Untuk sebagian orang, pernyataan tersebut mengundang polemik, karena kegagalan menangani bidang pertanian dengan memproduksi kebijakan-kebijakan baru bukan satu-dua kali saja terjadi. Di luar kejenuhan berita semacam itu, pengguna media sosial punya hiburan tersendiri. Salah satunya adalah gorengan isu konspirasi elit global di balik wabah. Sebagai hiburan, saya sendiri memilih maraton menonton One Piece, setelah setahun lebih tidak mengikuti kelanjutan ceritanya.

Sebagai penggemar One Piece, tentunya petualangan Luffy bersama kawan-kawannya selalu dinanti dan menarik disimak. Seperti episode 900, saat bajak laut dari generasi terburuk itu berada di Negeri Wano untuk membikin perkara dengan Yonkou Kaido. Di sana, Luffy terkejut seusai mendengar cerita warga setempat. Bagaimana sebuah negeri yang semula gemah ripah loh jinawi, subur dengan hasil pangan yang melimpah, berubah menjadi kawasan kumuh, udara yang kotor dan aliran sungai yang tercemar limbah beracun.

Tak jauh dari pusat kota, penduduk Wano juga kehilangan sumber air bersih dan mengalami kelaparan. Bahkan ada sebuah wilayah yang demi bisa mengisi perut, warganya mengandalkan sisa-sisa sampah makanan. Anehnya, ini yang membuat Luffy dan kawan-kawannya jengkel, dalam kondisi seperti itu, terdapat satu area yang sangat subur, hasil panen melimpah, sumber mata airnya bersih. Tapi sayangnya hasil pertanian dari daerah itu tidak dapat diakses masyarakat umum. Hanya kelompok kecil yaitu pejabat di bawah kekuasaan Yonkou Kaido saja yang bisa menikmatinya.

Hampir-hampir mirip dengan Negeri Wano, mungkin demikian juga yang terjadi di Indonesia. Bila menyimak wacana mengenai ketersediaan bahan pangan, barangkali ceritanya bisa dimulai dari keputusan perdana menteri Sjahrir pada bulan-bulan April tahun 1946. Ketika itu ia sempat menjadikan beras sebagai bagian dari diplomasi atas nama kemanusiaan. Setengah juta ton beras hasil panen dari Jawa dikirimkan ke India yang tengah terancam kelaparan karena gagal panen. Dengan beras, negara yang baru berusia delapan bulan tersebut segera menyita perhatian dunia.

Tapi itu hanya kliping kecil peristiwa yang beririsan dengan pertanian. Jauh sebelumnya, jika memasuki lorong waktu menuju ke masa kolonial–sebagaimana dicatat dalam buku-buku sejarah, kita akan mendapati cerita mengenai kebijakan yang akan mengubah struktur sosial negeri jajahan di masa-masa selanjutnya. Yaitu undang-undang agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 dan Domein Verklaring, yang mengatur tentang hak kepemilikan tanah dan penguasaannya oleh negara, serta memungkinkan perusahaan swasta melakukan perluasan produksi perkebunan.

Riset Suhartono W.Pranoto (2010) dalam Bandit-bandit Pedesaan 1850-1942, misalnya, menyebutkan bahwa  meluasnya perkebunan di Jawa tidak hanya menyingkirkan kehidupan masyarakat tempatan, tapi juga membuka pintu bagi eksploitasi tenaga kerja yang pada gilirannya mendesak kehidupan pertanian dan turut melahirkan perbanditan.

Bandit yang oleh pemerintah kolonial dipandang sebagai tindakan kriminal, dalam studi Pranoto memperlihatkan kenyataan lain, yaitu sebagai wujud protes akibat meluasnya dominasi perkebunan. Di Probolinggo misalnya, krisis pertanian tahun 1880-an menyulut aksi pembakaran kebun tebu dengan jumlah yang terus meningkat. Pada tahun 1895, dalam laporan kolonial (Koloniaal verslag) tercatat 258 kali kebakaran. Di daerah Surakarta, 371 kali ladang tebu dan los tembakau terbakar tahun 1925-1926. Merespon kejadian itu, negara kolonial pun meningkatkan keamanan dengan menambah jumlah aparatnya.

Ketika kekuasaan negara kolonial berakhir, untuk menghindari ancaman kelaparan, di tahun 1960’an rezim Sukarno secara teratur mengimpor lebih dari sejuta ton beras per-tahun (Levang, 2003: 154). Untuk melepas ketergantungan itu, di rezim selanjutnya, pemerintah melalui Pelita 1 (1969-1974) melakukan modernisasi bidang pertanian yang dijuluki Revolusi Hijau, dengan cara mempermudah penyebaran bibit unggul yang siklus panennya lebih pendek, memperkenalkan penggunaan pupuk pabrikan dan pestisida, membuat ketergantungan petani pada pasar menjadi kian besar.

Kebijakan menggenjot produksi pangan tersebut menuai hasil. Swasembada beras dapat dicapai pada tahun 1983. Sayangnya hal itu tidak bertahan lama, karena pada saat yang sama hama kian merajalela. Selanjutnya, terjadi kegagalan panen berturut-turut yang membuat pemerintah kembali melakukan impor beras.

Bukannya insaf, pengalaman tersebut justru melandasi gagasan pemerintah tentang perlunya melakukan perluasan lahan garapan dan pengkonsentrasian produksi pangan. Caranya dengan menciptakan area pertanian skala besar (food estate). Momen itu ditandai dengan pelaksanaan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di pertengahan tahun 90’an, dengan program sawah sejuta hektar berlokasi di Kalimantan Tengah. McCarthy (2013) dalam “Tenure and Transformation in Central Kalimantan after the “Million Hectare” Project” mencatat, alih-alih berhasil, program itu ambyar dan mengakibatkan kerusakan ekosistem gambut.

Praktis, bencana kebakaran lahan pun menjadi ancaman setiap kemarau. Tapi lagi-lagi pengalaman itu belum cukup menghentikan angan-angan serupa. Daerah yang menjadi sasaran berikutnya Merauke, dengan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Di masa rezim Yudhoyono kala itu, pemerintah menargetkan area produksi seluas 2,5juta hektar. Penelitian Laksmi A.Savitri (2013) di sana yang diterbitkan dalam judul “Korporasi dan Politik Perampasan Tanah” menunjukkan, program itu mengancam ruang hidup masyarakat tempatan. Belakangan, ancaman krisis pangan karena pandemi menjadi momentum pemerintah untuk kembali menargetkan 900.000 hektar lahan di Kalimantan Tengah sebagai area pertanian baru. Kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian seperti diberitakan media dalam konferensi pers virtual, sudah ada 200.000 hektar lahan gambut yang siap untuk itu.

Kembali ke film One Piece. Rupanya, pandemi ini tak hanya berdampak pada bayang-bayang kebijakan pangan di Indonesia, tapi juga pada petualangan Luffy dan kawan-kawannya di Negeri Wano. Karena setelah saya cek lagi, belum ada tanda-tanda kapan anime episode 930 akan tayang.