Di era 1980an dan sebelumnya, anak-anak kecil di langgar desa kami belum mengenal apa itu metode modern mempelajari al-Quran, seperti metode Qira’ati atau Iqra’. Mereka belajar baca al-Quran kepada kiai desa dengan metode alalar (menjalar atau meniti satu-satu), sebuah metode tradisional di mana kiai langgar mengenalkan huruf alif-ba-ta kepada anak-anak, dilanjutkan pelafalan dammah-fathah-kasrah, lalu pembacaan kalimat per kalimat dari al-Quran—yang dalam pandangan metode modern mungkin dianggap memakan waktu lama (take times).
Tapi anak-anak kecil pada masa itu menjalaninya dengan riang gembira. Justru dengan cara “lama” itu, mereka bisa semakin dekat dan akrab dengan al-Quran.
Bagi anak-anak pada masa itu, langgar berfungsi sebagai tempat belajar, ruang bermain sekaligus rumah kedua. Selain di sekolah, madrasah dan rumah, hari-hari mereka habiskan di tempat ini. Dimulai dari azan magrib hingga waktu subuh, anak-anak ini berada di langgar—salat berjamaah, mengaji, dan tidur—hingga esok harinya pulang untuk berangkat sekolah. Langgar menjadi melting–pot di mana anak-anak saling berbagi pengetahuan, kenakalan, dan keceriaan.
Di beberapa tempat, kiai langgar tidak hanya mengajari al-Quran, tapi juga mendaras kitab kuning seperti Safīnah al-Najāh dan Sullam al-Taufīq.
Pada bulan Ramadhan, suasana langgar semakin ramai. Anak-anak hampir sepanjang hari berada di langgar. Mereka tidak harus pulang untuk sekedar makan dan minum. Di langgar, mereka bisa mengkhatamkan al-Quran, mengaji kitab kuning, dan tentunya bermain kartu.
Pada malam hari, mereka ikut darusan atau tadarus bersama orang-orang tua usai shalat tarawih. Biasanya kelompok tadarus dibagi menjadi dua: grup besar dan grup kecil, mereka yang sudah lancar mengaji dan mereka yang masih belajar mengaji. Kelompok yang kedua ini biasanya dimonitor oleh salah satu senior yang bertugas menjaga dan memperbaiki bacaan mereka.
Bagi anak-anak, tradisi tadarus juga menjadi ajang pembuktian bahwa mereka sudah lancar mengaji. Berpindah dari kelompok kecil ke kelompok besar adalah sebuah prestasi yang membanggakan. Sebuah pencapaian. Tradisi tadarus bukan semata aktivitas membaca dan mendalami al-Quran, tapi juga peneguhan eksistensi diri.
Sebagai sebuah tradisi, tadarus sudah dilakukan masyarakat Muslim Indonesia sejak berabad silam. Tadarus adalah sebuah upaya kolektif dan semangat keagamaan yang memiliki tujuan agung: menggugah kesadaran membaca (al-Quran).
Ada hal-hal positif yang bisa kita pindai dari tradisi tadarus. Pertama, tadarus diharapkan mampu menanamkan budaya introspeksi dan evaluasi diri. Dalam tadarus, kesalahan baca seseorang bisa langsung dikoreksi oleh anggota tadarus yang lain, tanpa ada kesan menggurui dari yang membenarkan atau kesan diremehkan bagi orang yang dibenarkan bacaannya. Kultur semacam ini penting, sebab di masa ketika kepedulian dan sikap saling menjaga semakin memudar seperti sekarang, perilaku saling menasihati penting ditumbuhkan. Ketika individualisme dan permisivisme mulai mempengaruhi pola-pikir dan pola-hidup sebagian besar masyarakat Indonesia, tawashaw bil haqq menjadi sangat relevan.
Kedua, tadarus mencerminkan kekuatan tradisi belajar bersama. Ia mengajarkan kelapangan dada dan kerendahan hati untuk belajar dari orang lain. Egoisme intelektual dan perasaan benar sendiri harus ditepikan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari kejayaan bangsa lain sekaligus berani mengakui kesalahan yang dilakukan.
Ketiga, tadarus menumbuhkan nilai kolektivitas. Kebersamaan menjadi keniscayaan dalam tadarus. Demikian juga dalam kehidupan bermasyarakat: tak ada masyarakat yang maju dan mandiri dengan cara mengisolasi diri. Kemajuan adalah buah dari kebersamaan yang lahir dari rangkaian kerja-kerja kolektif. Dalam konteks pandemic covid-19, misalnya, pencegahan dan penanggulangan wabah tidak akan berhasil tanpa adanya kerja-kerja kolektif dan masif.
Berangkat dari hal tersebut, tadarus sejatinya bisa menjadi titik pijak untuk membangun tradisi membaca kolektif. Tadarus tidak hanya diartikan sebagai membaca dan menelaah al-Quran, tapi juga menjangkau bacaan-bacaan lain; tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan tetapi merambah bulan-bulan lain; tidak hanya di lingkungan masjid tapi juga di ruang sosial yang lain. Tradisi membaca perlu dipupuk agar tumbuh melintasi ruang dan waktu: tidak hanya membaca teks tapi juga menelaah konteks. Tadarus membuka ruang dialog dalam membaca teks.
Selama dan pasca Ramadhan ini, kita berharap budaya tadarus dapat dikembangkan agar setiap orang bisa memiliki kesempatan membaca di mana pun: di terminal, di taman kota, di stasiun, di gerbong kereta, di bus, hingga mobil pribadi. Semakin banyak ilmu dan pengetahuan kita serap, semakin terang hidup yang kita jalani. Sebab ilmu adalah cahaya, dan membaca adalah sarana utama mendapatkannya. Masih ingat ayat pertama yang turun kepada Nabi? Ya, iqra’ (bacalah!). [rf]