Salah satu dari beberapa hal yang prinsip dalam beragama adalah menjaga amal-amal yang baik dari apa saja yang merusaknya. Sebagai contoh, Allah menganugerahi lisan sebagai sarana untuk bertutur yang baik, sopan, yang bermanfaat, dan menghindarkan dari yang sia-sia atau merusak. Bila tidak dijaga, niscaya lisan beralih fungsi untuk apa yang tidak berfaedah, tidak bermanfaat, bahkan membahayakan.
Tak dapat dipungkiri, amat banyak lisan/lidah manusia tidak terhindar dari ghibah (menggosip) orang lain, terjerumus pada pembicaraan yang tidak perlu, banyak omong, yakni pembicaraan yang tak bernilai positif, dan tiada manfaatnya sama sekali, sehingga membuang-buang waktu, umur, yang amat berharga. Selain itu tentu merupakan perkara yang buruk , karena telah menyalahgunakan anugerah lisan itu untuk menutupi nikmat (kufran al-ni’mah) dan mengalihkan nikmat lisan dari untuk menyebut nama Allah (zikrullah) kepada hal lain yang dilarang. Siapa saja yang banyak omongnya, banyak kelirunya, siapa yang banyak keliru (dalam bicara)nya, banyak bohongnya, sedangkan siapa saja yang banyak dustanya, banyak dosanya.
Amat banyak lidah tidak dijaga dari ghibah, yaitu menyebut aib, kekurangan, atau apa saja yang tidak disukai orang lain, baik sampai kepadanya atau tidak. Menyebut kekurangan yang tidak disukai orang lain itu bisa berkenaan dengan (1) bentuk tubuh (fisik), (2) garis keturunan (nasab), (3) budi pekerti (akhlak), (4) perbuatan, (5) ucapan, (6) agamanya atau (7) duniawinya, hingga (8) soal pakaian yang dikenakannya, (9) tempat tinggalnya, atau (10) kendaraannya.
Menggosip bentuk tubuh (fisik) seseorang misalnya menyebutnya tidak di hadapannya dengan sebutan yang tidak disukai, seperti lemah penglihatan (rabun), juling, botak, cebol/pendek, tinggi, berkulit hitam, pucat, dan sifat apa saja yang menggambarkan suatu sifat yang tidak disukai orang lain saat mendengarnya, apa pun bentuknya. Jadi, intinya adalah jangan menggunakan lidah/lisan untuk menyebutkan apa saja yang tidak disenangi orang lain.
Menggunjing tentang nasab/garis keturunan misalnya mengatakan bahwa orang tuanya fasik (pendosa), dari kasta rendahan, dan sebagainya berupa apa yang menghina, menyinggung, dan menyakiti perasaan orang lain yang digunjingnya. Namun, menceritakan nasab seseorang yang justru membuatnya bangga tidak terkategori meng-ghibah-nya.
Meng-ghibah budi pekerti (akhlak) misalnya lidah mengatakan bahwa seseorang itu berakhlak buruk, baik saat bergaul maupun saat berbincang, kikir, arogan, pemarah, pengecut, lemah dalam berbagai hal, terlalu berani (nekat) sehingga mencelakakan diri sendiri.
Membicarakan orang lain terkait agamanya, misalnya bahwa ia sebenarnya pencuri, copet, koruptor, amat pendusta (kadzdzab), pemabuk, penghianat, sewenang-wenang (zalim), menyia-nyiakan shalat, bersuci, dan zakat, menunda-nunda shalat hingga habis waktunya, enggan membayar zakat harta (mal)nya, atau mengatakan bahwa ia ruku’ dan sujud dalam shalat dengan tidak sempurna, tidak bersikap hati-hati terhadap benda najis, tidak berbakti kepada kedua orang tuanya atau salah satunya, membagi zakat tidak kepada orang yang tepat sasaran, atau mengatakan bahwa orang lain itu tidak menjaga puasanya dari omong kotor.
Meng-ghibah dalam masalah duniawi terkait perilaku dan ucapan, misalnya mengatakan bahwa orang lain itu tidak sopan (qalil al-adab), suka meremehkan orang, banyak omong, banyak makan, hobi tidur, tidur bukan pada waktunya, atau mengatakan bahwa orang lain itu duduk sembarangan, bukan pada tempatnya.
Menggunjing pakaian orang lain misalnya mengatakan pakaiannya kedodoran, lusuh, kumal, kotor, berbau tidak enak, celananya melampaui mata kaki, dan sebagainya yang sekiranya jika didengar oleh pemakainya ia merasa tidak rela.
Jadi, kita sudah beragama dengan benar hanya bila kita mampu menghormati orang lain tanpa membuka kekurangannya di hadapan orang lain. Lidah kita adalah anugerah besar yang wajib disyukuri dengan cara menjaganya dari menyakiti perasaan orang lain, dengan tidak menuturkan apa saja yang tidak disukainya, dengan mengucapkan apa saja yang bermanfaat, dan atau menghindarkan dari yang berbahaya, serta tidak bicara yang sia-sia. Dan lidah/lisan kita pun harus ikut berpuasa, menahannya dari apa saja yang dilarang-Nya.
*Artikel ini diambil dari FB KH. Ahmad Ishomuddin