Marhaban Ya Ramadhan! Selamat datang wahai bulan suci nan mensucikan. Kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia saat ini sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan sebagai wujud implementasi dari ketaatannya akan perintah wajibberpuasa selama satu bulan penuh. Momentum Ramadhan tentu menjadi waktu tersendiri bagi kaum muslimin untuk meningkatkan kualitas diri, baik kualitas spiritual maupun kualitas intelektual. Sebagai sarana meningkatkan kualitas intelektual, kajian online menjadi alternatif bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih dalam tentang ajaran agama Islam.
Berbagai media sosial telah menyediakan materi keislaman dari beranekamacam bidang kajian, tentunya dengan seorang ustadz yang dinilai mempunyai kompetensi di bidangnya. Nah, di tengah-tengah semaraknya kajian online di media sosial ini penting kiranya untuk diperhatikan bagaimana menentukan kualifikasi seorang ustadz dapat diambil ilmunya ataukah tidak.
Mula-mula ketahuilah terlebih dahulu latar belakang dari Ustadz tersebut, kepada siapa saja ia belajar tentang ilmu-ilmu keislaman. Mengapa demikian? sebab ajaran agama ini disampaikan melalui suatu transmisi keilmuan yang bermula sejak era Nabi dan para sahabat dahulu sampai sekarang sehingga otentisitas ajaran agama tetap terjaga melalui apa yang disebut sanad. Mengenai betapa pentingnya sanad keilmuan, kiranya ungkapan dari Abdullah bin Mubarak berikut dapat menjelaskan:
اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلَا الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ (مقدمة ابن الصلاح في علوم الحديث, ص:239)
Maksudnya yakni sanad itu bagian dari agama kalaulah tanpa keberadaannya maka setiap orang akan sesuka hati berkata tentang persoalan agama.
Baca juga: Sisi Lain Ngaji Kitab Online: Harus bersanad atau Cukup Penguasaan Atas Kitab yang Dibacakan Saja?
Persoalannya menjadi tidak mudah untuk bisa mengetahui latar belakang dari mana seorang Ustadz dahulunya belajar karena tidak setiap dari mereka menyertakan informasi terkait dirinya atau riwayat pendidikan yang pernah ia tempuh. Namun, setidaknya ada empat hal mendasar yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang yang ingin mengambil konten ilmu agama melalui kajian online di media sosial. Jika salah satu dari empat hal ini dijumpai pada seorang Ustadz atau penceramah agama, maka segeralah berpindah mencari pemateri yang lain!
Pertama, mereka yang gemar ‘menstandarisasi’ kadar keimanan orang lain dengan melabeli kafir (Takfiri) kepada kelompok yang dianggap berbeda pendapat dengan dirinya, maka sebaiknya jangan mengambil ilmu dari orang semacam ini. Persoalan agama banyak dijumpai khilafiyah (perbedaan pendapat) dari para ulama sehingga terlalu naif apabila sedikit-sedikit menstigmasi orang dengan kekafiran hanya karena ketidaksamaan dalam memilih pendapat para ulama.
Kedua, mereka yang suka sekali membid’ah-bid’ahkan (Tabdi’i) amaliyah kelompak lain hanya karena dianggap tidak ada tuntunannya dari al-Qur’an maupun as-sunnah, padahal amaliyah yang sudah mentradisi di masyarakat tersebut kalau dicari dalil tentang pelarangannya juga tidak akan didapati dalam al-Qur’an maupun as-sunnah. Hanya dengan berbekal satu hadis tentang bid’ah seolah-olah semua ajaran kebaikan dalam agama menjadi sirna.
Ketiga, mereka yang hobi menyandangkan status syirik (Tasyriki) terhadap perilaku saudaranya sesama muslim hanya karena dianggap menyekutukan Allah, yakni tidak menjadikan Allah Swt satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan dimintai pertolongan. Padahal kalau dipikir secara nurani saja, mana ada orang Islam yang dengan sengaja menduakan Tuhannya sendiri yang sejak lahir sudah ia yakini sebagai Dzat yang wajib disembah. Keempat, mereka yang sering kali menanamkan syak/keragu-raguan (Tasykiki) terhadap ajaran-ajaran Islam yang selama ini dianggap sudah mapan serta dibangun kokoh oleh para ulama di atas fondasi al-Qur’an dan Hadis.
Nah, keempat kriteria di atas dapat diperhatikan melalui sisi isi/konten kajiannya sehingga harapannya setelah orang menyimak kajian dari ustadz yang bersangkutan dapat menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya tanpa merasa diri lebih baik dari orang lain. Wallahualam.