Kita biasa menyebutnya ekstremisme. Tapi tak jarang pula disebut radikalisme atau fundamentalisme. Istilah-istilah ini sebenarnya tidak pernah terdefinisikan dengan baik. Masing-masing individu atau lembaga yang berkepentingan memakai daftar istilah tersebut selalu punya tawaran dan takaran masing-masing. Sampai saat ini, tidak ada satu pun definisi yang diadopsi secara universal.
Namun untuk menghindari definisi yang saling menumpuk, saya akan memilih satu istilah yang bagi saya tepat untuk mengurai permasalahan dalam tulisan ini, yaitu ekstremisme. Dalam konteks agama, ekstremisme merujuk pada sebuah keyakinan yang melebihi batas wajar, tak bisa ditawar, dan seringkali melanggar hukum, norma, atau kesepakatan publik yang berlaku untuk mencapai tujuan ekstremnya. Ekses dari ekstremisme biasanya akan merugikan orang lain atau pihak yang dianggap bertentangan dengannya.
Di Indonesia, apa yang sering dikaitkan dengan tindakan terorisme sebenarnya lebih dekat dengan definisi ekstremisme, alih-alih radikalisme apalagi fundamentalisme. Hal ini mengacu pada pemahaman bahwa pada batas-batas tertentu, menjadi “radikal” atau “fundamental” dalam beragama memang diperlukan. Lagi pula stigma masyarakat (juga pemerintah) pada definisi kelompok radikal sangatlah semu, seperti pelabelan pada pemakai cadar, celana cingkrang, berjenggot panjang, hingga menolak salaman. Atribut-atribut fisik tersebut tidak selalu menjamin mereka bertindak ekstrem dan merugikan orang lain.
Di samping itu, The International Centre for Counter-Terrorism (ICCT) mendeskripsikan ekstremis agama sebagai sekelompok orang yang menolak kesetaraan hak, terutama bagi perempuan dan kelompok minoritas. Mereka juga menolak prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat dan konsep Hak Asasi Manusia (HAM).
Para ekstremis cenderung menginginkan masyarakat monokultur, seperti kekhalifahan Islam misalnya, serta cukup lantang menentang keragaman dan pluralisme. Dalam aksinya, mereka menunjukkan ketiadaan empati dan bersikap otoriter, diktator, dan totaliter, baik dengan kekerasan atau aksi politik.
Zaki Mubarak dalam penelitiannya berjudul “Dari NII ke ISIS: Transformasi Ideologi dan Gerakan dalam Islam Radikal di Indonesia”, membagi gerakan ekstremisme Islam menjadi empat gelombang. Gelombang pertama muncul pada tahun 1950-an, yaitu melalui gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Setelah ditangkapnya pemimpin NII, Kartosuwiryo, gelombang kedua muncul. Fase ini terjadi pada tahun 1970-an hingga 1980-an dengan munculnya gerakan Komando Jihad (Komji) yang didalangi oleh beberapa mantan anggota DI/TII.
Selanjutnya, gelombang ketiga ditandai oleh berbagai teror dan kekerasan berbasis agama pada era pascareformasi hingga hari ini. Inilah fase di mana Orde Baru sebagai representasi negara totaliter pada masa itu telah jatuh, dan sebaliknya, gerakan masyarakat sipil mulai menguat. Organisasi Islam ektremis yang sebelumnya hanya bergerilya, kini mengambil kesempatan untuk tampil ke hadapan publik. Sedangkan gelombang terakhir ditandai dengan berkembangnya kelompok-kelompok ekstremis baru, terutama dari kalangan muda, yang dipengaruhi oleh peristiwa global, seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Fase ini banyak dipengaruhi oleh dampak kampanye ekstremisme di internet dan media sosial.
NII bisa dibilang sebagai hulu historis gerakan ekstremisme Islam di Indonesia. Sejak NII diplokamirkan oleh Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, DI/TII telah banyak melakukan aksi kekerasan (pemberontakan) demi tujuan mendirikan negara Islam di sejumlah daerah.
Pengaruh DI/TII kala itu sangatlah kuat. Menurut Petrik Matanasi dalam Prajurit-Prajurit di Kiri Jalan (2011), selain memengaruhi rakyat sipil yang kebetulan beragama Islam, DI/TII juga menyelinap ke tubuh militer. Hal ini sempat menyebabkan saling curiga di kalangan militer, pemerintah, dan ulama. Meski akhirnya konflik di tubuh militer dapat diredam, dan para ulama kemudian membentuk Badan Musyawarah Alim Ulama (cikal bakal Majelis Ulama Indonesia) untuk membantu pemerintah dalam menumpas DI/TII.
Tapi seperti kita tahu, badan boleh saja disergap, organisasi bisa saja dilumpuhkan, tapi ide tidak mudah mati. Beberapa tahun setelah Kartosuwiryo dan para petinggi DI/TII seperti Kahar Muzakkar ditangkap, para mantan anggotanya kembali melancarkan aksi. Nama-nama seperti Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang dikenal pada era sekarang sebenarnya sudah menyeruak sejak tahun 1970-an.
Pada masa Orde Baru, muncul serangkaian kekerasan dan pengeboman oleh para ekstremis Islam yang sering dikaitkan sebagai penerus Kartosuwiryo. Katakanlah, pembajakan pesawat Woyla oleh jamaah Imron bin Muhammad Zein pada akhir Maret 1981. Kelompok pembajak yang tak segan membunuh dan melakukan kekerasan ini merasa muak dengan pemerintah yang dituduhnya telah menyudutkan kelompok Islam politik dan menuntut pembebasan rekan-rekannya dari penjara. Atau sebut saja kasus lain seperti peledakan candi Borobudur oleh dua bersaudara Abdulkadir dan Hussein al-Habsy pada Januari 1985 yang menghancurkan beberapa stupa di tempat ibadah umat Buddha tersebut.
Sepanjang era reformasi, ekspresi ekstremisme semakin tak terbendung. Kita barangkali menjadi saksi atas beberapa serangan mengatasnamakan agama yang melukai rasa kemanusiaan banyak orang. Mulai dari pengeboman gereja-gereja, masjid, kantor polisi, kedubes, hingga bom bali berseri yang menjadi sorotan internasional. Belum lagi aksi-aksi kekerasan, persekusi, pengusiran, diskriminasi, oleh kelompok ekstremis lain yang tidak saling terafiliasi.
Sebelumnya, perlu kita tahu, tidak semua ekspresi ekstremisme beragama selalu disertai cara kekerasan. Alex P. Schmid (2014) dalam penelitiannya membagi bentuk ekstremisme menjadi dua, yaitu ekstremisme non-kekerasan (non-violent extremism) dan ekstremisme dengan kekerasan (violent-extremism). Dalam konteks Indonesia, kelompok ekstremis non-kekerasan ditempati oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Khilafatul Muslimin (KM). Sedangkan kelompok ektremisme dengan kekerasan diisi oleh, di antaranya, Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok-kelompok pro-ISIS, seperti Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Daulah, dan Jamaah Ansharut Tauhid.
Kelompok-kelompok ini tidak semua memiliki latar belakang sama. Bahkan strategi dan dasar gerakan mereka agaknya saling berbeda. Namun semuanya dipersatukan oleh satu motivasi ideologis yang sefrekuensi, yaitu ingin mendirikan negara Islam, atau setidaknya, mendambakan Indonesia berlandaskan syariat Islam.
Kalau pun mau dilacak jejaknya, jejaring ekstremisme di Indonesia sebenarnya tidak terlalu jauh dari akarnya. Misal, embrio Khalifatul Muslimin (KM) sebenarnya masih dekat dengan NII. Para aktor kunci KM sebelumnya merupakan anggota NII, seperti pendirinya Abdul Qodir Baraja. Begitu juga dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang memiliki jejak historis kekerasan lewat Komando Jihad (bersama mantan anggota NII lain), hingga sekarang menjadi amir Jamaah Islamiyah yang dianggap bertanggungjawab pada beberapa kasus pengeboman di Indonesia.
Kalau mau digali semua, sebenarnya ada banyak sekali aksi ekstremisme Islam yang terjadi. Semua kasus di atas belum meliputi penyerangan jamaah Ahmadiyah oleh Front Pembela Islam (FPI) di Tasikmalaya, persekusi Front Jihad Islam (FJI) kepada Pesantren Waria Al-Fatah di Jogja, pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, oleh sekelompok orang anti-Syiah yang menganggapnya sebagai ajaran sesat, dan aksi kekerasan lain yang menyasar kelompok minoritas dan rentan.
Dalam pengantar bukunya Laskar Jihad: Islam, Militansi dan Pencarian Identitas di Indonesia Paska Orde Baru (2008), Noorhaidi Hasan mengingatkan pada kita bahwa ekstremisme di dunia Islam tidak dapat dilepaskan dari sejarah dunia Islam yang dipenuhi konflik politik dan doktrinal di abad-abad lampau. Bisa jadi, apa yang mereka sebut “jihad” merupakan penafsiran atas konteks Islam di masa lampau (meski tak selalu relevan), atau hanyalah perwujudan dari ekspresi beragama yang tekstual dan membabibuta.
Tapi apa pun itu, jejak-jejak ekstremisme Islam yang terjadi di Indonesia selama ini telah melukai rasa kemanusiaan kita bersama. Pandangan ekstrem yang dipaksakan pada dasarnya telah melawan arus keberagaman identitas yang kita miliki. Banyak kerugian, tentu. Namun yang amat disayangkan, membawa nama Islam sebagai basis tindakan ekstrem di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia adalah kesalahan fatal. Apa yang para ekstremis lakukan bukanlah menjunjung tinggi ajaran Islam, justru sebaliknya, hal itu akan mencoreng citra baik agama yang penuh kedamaian ini di mata dunia.