Belum terciumnya aroma positif menandai berakhirnya pandemi corona di dunia, mulai membuat beberapa orang khawatir perihal corona yang akan mengganggu ‘perayaan’ bulan Ramadhan yang akan datang beberapa minggu lagi. Makin hari makin bertambah jumlah pasien corona tiap hari. Ditambah akan segera menyusul musim haji selepasnya, semakin membuat orang bertanya-tanya “masa gak ada solat id karena corona?” dan “masa gak ada haji tahun ini karena corona?”
Doa-doa yang tampak baik-baik saja meskipun muatan teologisnya bermasalah tentang corona ini pun mulai berdiaspora di media sosial. Doa yang seharusnya penuh muatan memohon, berakhir sia-sia karena berisi tentang gothak-gathuk corona dengan praktik keagamaan. Seperti doa “puasa datang, corona hilang”. Doa itu cukup membuktikan kekhawatiran beberapa pihak kalau-kalau corona belum minggat saat bulan puasa esok telah datang. Doa itu senada dengan klaim Indonesia bebas corona karena qunut, yang nyatanya tidak terbukti.
Kenapa doa yang seperti itu sia-sia, pertama, karena memang tidak ada hubungan antara puasa Ramadhan dengan corona. Tanpa atau ada corona, kita tetap wajib melaksanakan puasa. Tidak ada alasan orang bisa meninggalkan puasa, kecuali dengan adanya alasan sesuai ketentuan, semisal sakit parah. Tentu teruntuk pasien corona yang kondisinya sangat lemah, bisa tidak melaksanakan puasa terlebih dahulu. Namun untuk kita yang baik-baik saja, puasa masih menjadi kewajiban. Dalam bulan Ramadhan pun kita tetap bisa sholat tarawih, bahkan jamaah masih bisa dikerjakan, yakni di rumah masing-masing. Jadi tidak akan ada yang berubah ritual kita pada bulan Ramadhan meskipun corona itu masih ada. Oh iya, sudah tahu kan, sholat id itu sunnah? Kalau tidak ada sholat id, ya biasa aja, toh ibadah sunnah.
Memang, kalau corona ini hilang saat bulan Ramadhan datang, mau ngapain? Kita tetap puasa, tetap berbuka, tetap tarawih, tetap tadarus, tetap solat malam, tetap memperbanyak membaca kalimat thoyibah. Tidak ada masalah yang akan mengganggu proses percumbuan kita dengan Tuhan meskipun corona masih ada di bulan puasa.
Yang tidak akan ada saat bulan puasa ketika corona masih ada adalah gerogotan keserakahan yang berbalut ketakwaan. Tidak akan ada buka puasa dan sahur yang kebablasan dan serba berlebihan. Tidak ada juga daya beli gila-gilaan untuk baju baru, peralatan rumah dan dapur yang tidak terlalu kita butuhkan. Tidak ada juga selfie-selfie manis berbuka bersama teman, atau menggunakan mukena yang menandakan seseorang telah tarawih. Hanya itu.
Kedua, doa seperti tadi menjadi sia-sia karena bukan bulan puasa yang mengusir corona. Kita sudah diberitahu berkali-kali baik di media daring atau luring, bahwa obat untuk corona saat ini belum ditemukan. Beberapa laboratorium yang estafet membuat vaksin masih berusaha menyelesaikan hasil risetnya, jadi doa “semoga vaksin cepat tercipta” rasanya lebih oke.
Kita juga sudah tahu bahwa virus corona ini akan mati sendiri di dalam tubuh seseorang dengan masa inkubasi selama 14 hari pada orang dengan imun kuat. Cara pencegahan yang terbukti paling efektif menangkal corona juga kita sudah tahu, yakni menjaga jarak fisik dan rajin cuci tangan. Ini nyata dan sudah melalui hasil riset. Sehingga doa “semoga kita semua patuh aturan dan membuat virus kehabisan inang” juga menjadi lebih penting dari doa gotak-gatuk macam tadi.
Ketiga, karena corona ini seharusnya kita sudah ‘puasa’ sejak sekarang. Kita tidak perlu menunggu bulan puasa untuk berpuasa. Puasa di sini tentu bukan puasa yang tidak makan dari pagi sampai maghrib, tetapi puasa yang levelnya lebih tinggi. Puasa yang mengelola hawa nafsu di setiap lekuk diri kita. Bukan puasa yang mengusir corona, tetapi corona bisa hilang dengan kita ‘puasa’. Kita puasa bertemu dan puasa hidup jorok. Dengan puasa itu virus secara otomatis kehabisan inang dan kita bisa segera terbebas dari pandemi ini.
Dengan adanya corona, kita telah memulai puasa pada banyak hal. Mulai dari puasa terhadap gaya hidup yang konsumtif dan berlebihan, sehingga kita mengatur pola makan, minum, dan tidur agar imun tetap kuat. Kita juga puasa berkumpul dan menghabiskan waktu di tempat tongkrongan yang barangkali selama ini kita sering berbuat sia-sia di sana. Kita juga puasa berlebih-lebihan bahan bakar fosil. Selama ini kita sering kali membakar bahan bakar untuk kegiatan yang sia-sia, tetapi saat ini kita mengendarai motor hanya ketika sangat dibutuhkan saja.
Sama dengan puasa, musim haji pun tidak perlu kita risaukan kalau misal pada kenyataannya corona masih ada pada saat musim haji telah datang. Memang kalau tidak ada haji tahun ini, kenapa? Haji kan hukumnya wajib bila mampu. Sementara takaran mampu tidak hanya dengan ukuran materi. Mampu dalam haji juga bisa berupa kesempatan dan kekuatan.
Banyak orang yang mampu secara finansial tapi belum memiliki waktu yang luang. Pun banyak orang yang kaya tetapi secara fisik ia tidak mampu. Nah kondisi ini bisa menjadi dalil, bahwa jika corona ini masih ada saat bulan haji datang, bukan kita tidak mampu secara finansial, tetapi kita tidak mampu melaksanakan haji karena alasan kesempatan dan keselamatan. Jadi, tidak perlu memaksakan harus ada haji ketika pandemi ini belum tuntas.
Dan akhirnya, kita tidak perlu khawatir jika corona masih ada sampai bulan puasa dan musim haji. Bulan suci Ramadhan akan tetap suci baik dengan atau tanpa corona. Pun Makkah akan tetap menjadi kota yang suci baik ada atau tidak adanya corona. Kita bisa dekat dengan Tuhan kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Yang perlu lebih dikhawatirkan adalah sikap pemerintah kita yang tidak serius menangani corona seperti membuat peraturan tentang pembatasan sosial secara besar yang isinya tidak ada beda dengan apa yang sudah kita lakukan selama ini. Juga sikap bebal masyarakat yang masih menyepelekan pandemi ini.
Baca juga Makkah-Madinah pun Terdampak Covid-19: Kota Ditutup, Jam Malam Diberlakukan