Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat yang lalu mengecam orang-orang kafir yang mempertuhan atau meminta bantuan kepada selain Allah SWT dengan menyangka bahwa hal tersebut akan menyelamatkan mereka. Pada ayat ini, kecaman atas sangka keliru itu dilanjutkan oleh Nabi atas perintah Allah. Terkait hal ini, Allah SWT berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا () ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Qul hal nunabbi’ukum bil akhsarina a‘mala () alladzina dholla sa‘yuhum fil hayatid dunya wa hum yahsabuna annahum yuhsinuna shun‘a
Artinya:
“Katakanlah, ‘Apakah ingin Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang perbuatan-perbuatannya paling merugi?’. (Mereka itu) orang yang usahanya sia-sia dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka itu berbuat sebaik-baiknya.” (QS: Al-Kahfi Ayat 103-104)
Syekh al-Sya‘rawi mengungkapkan dalam tafsirnya, orang-orang yang tidak beriman pada Allah, sekalipun sudah melakukan banyak perbuatan baik dan positif, itu akan sia-sia di hari kiamat nanti. Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh Nawawi Banten dalam tafsir Murah Labid bahwa memerdekakan budak, berderma, atau menolong orang yang kesusahan itu tidak certatat sebagai amal baik di akhirat bagi orang yang tidak beriman pada Allah. Menurut Syekh Nawawi, bentuk ketaatan itu tidak bermanfaat sama sekali bila disertai kekufuran terhadap Allah.
Imam al-Baghawi dalam Ma‘alim al-Tanzil mengatakan bahwa al-akhsarina a‘mala ‘orang-orang yang perbuatannya merugi’ adalah kelompok Yahudi dan Nashrani secara umum. Menurut pendapat lain, kata al-Baghawi, mereka adalah para pendeta yang mengasingkan diri mereka di dalam tempat-tempat peribadatannya.
Imam al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat melampaui penafsiran ulama-ulama di atas. Menurutnya orang yang paling rugi di akhirat nanti adalah mereka yang beramal saleh tetapi disertai riya dan ujub. Amal mereka tidak ada artinya di akhirat nanti karena ingin pujian dan kehormatan di mata masyarakat. Bila demikian, ini bisa terjadi juga pada orang-orang Muslim yang beriman pada Allah secara formalitas. Mengapa formalitas? Orang mukmin yang hakiki pada dasarnya tidak ingin pujian, kehormatan, atau hal-hal yang bersifat duniawi lainnya. Ia hanya berharap pada keridhaan Allah SWT.
“Amal perbuatan mereka hilang sia-sia karena beramal memiliki tujuan selain Allah, sesuatu yang dilakukan karena selain Allah itu tidak bermanfaat,” jelas al-Qusyairi.