Isra Miraj merupakan dua peristiwa penting yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Kejadian ini disebutkan Allah dalam al-Quran surah Al-Isra ayat satu. Ada banyak hikmah Isra Miraj yang bisa kita pelajari.
Isra adalah suatu perjalanan di malam hari dari Makkah menuju Baitul Maqdis yang terletak di Palestina. Kalau dihitung, rentang jarak keduanya kurang lebih sekitar 1230 km. Jika dilakukan pada masa itu, Isra saja, normalnya perjalanan ini dapat ditempuh hingga mencapai 15 hari. Namun, perjalanan ini ditempuh oleh Nabi dalam waktu yang begitu singkat.
Ini merupakan suatu kejadian yang mustahil dan tak mungkin dialami oleh manusia secara empiris. Sebab, hal ini sangat bertentangan dengan akal dan kebiasaan pada zaman tersebut, serta berlawanan dengan hukum alam.
Namun, peristiwa ini menjadi berbeda dan istimewa karena yang memperjalankan adalah Allah. Prof. Quraish Shihab menggambarkan, seekor lalat bisa saja terbang dari Jakarta ke Makassar misalnya, hanya dengan menempuh waktu dua jam apabila ia ikut berada dalam pesawat. Seperti ini pula lah yang dialami oleh Nabi Saw. Beliau diperjalankan oleh Allah.
Hukum alam harus kita sadari bahwa ia adalah hasil pukul rata dari suatu statistik. Misalnya air. Setiap saat ia pasti mengalir dari tempat tinggi menuju dataran yang lebih rendah. Ini adalah sunnatullah. Kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan Allah dalam mengatur alam semesta. Di luar itu, sebenarnya bisa saja Allah melakukan apapun yang luar biasa, sebab sifat Maha Kuasa-Nya.
Dalam agama ada yang disebut dengan Sunnatullah, yakni ketetapan Allah, dan ada pula ‘Inayatullah – pertolongan Allah.
Api, sesuai sunnatullah, ia bersifat panas dan membakar. Namun dengan Inayatullah, justru bisa terjadi sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Nabi Ibrahim saat dibakar oleh penguasa zalim saat itu. Api menjadi dingin dan sama sekali tidak membakar Nabi Ibrahim sehelai benang pun sebagaimana disebut dalam QS. 21: 69.
Pada saat bersamaan, ada perkara-perkara yang mesti dipahami dan didekati dengan caranya masing-masing. Seperti jangan menilai merdunya suara melalui mata. Tentu tidak akan bisa. Begitupun Isra Miraj, ia harus didekati dan dipahami dengan rasa penuh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak bisa semata-mata dengan pendekatan rasio saja.
Pada intinya salah satu hikmah dari adanya peristiwa Isra’ maupun Mi’raj yang dialami oleh Nabi adalah menyadarkan manusia, bahwa Allah begitu kuasa sehingga mampu melakukan sesuatu yang bisa saja akal sehat manusia tidak mampu menerimanya.
Momen Isra Miraj pada tahun ini ‘kebetulan’ bertepatan dengan mewabahnya covid-19 atau virus corona.
Prof. Quraish berpesan, sebagai kaum beriman, dalam menyikapi wabah ini seyogianya kita mengedepankan rasa husnuzhan, bersangka baik kepada Allah. Jangan mengaitkan kejadian ini dengan siksa ataupun azab Allah, sebagaimana anggapan sebagian orang.
Pendiri Pusat Studi Al-Quran ini berpandangan bahwa wabah adalah sebuah peringatan dari Allah. Sedangkan peringatan, bagi penerimanya dapat menjadi sebuah nikmat apabila disikapi dengan bijak. Dalam hal ini Allah peringatkan manusia untuk tidak angkuh.
Dengan peringatan ini, mestinya manusia semakin mendekatkan diri pada Allah, memenuhi berbagai tuntunan dan perintah-Nya. Salah satunya tuntunan-Nya adalah dengan tidak sombong dan merasa dirinya mampu, dan semakin menyadari akan kuasa Allah. Karena sejatinya manusia tak memiliki daya dan kekuatan apapun tanpa seizin dan pertolongan Allah.
Dalam menghadapi wabah ini, manusia tidak boleh hanya sekadar berpangku tangan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Apa yang menimpa seseorang sedangkan ia ingin lepas darinya, maka ia harus berikhtiar.
Sebagai kekasih-Nya, Allah juga tetap perintahkan Nabi Saw. untuk tetap bekerja, berdagang dan berusaha di kehidupan sehari-hari. Padahal Allah janji akan kabulkan apapun yang menjadi permohonannya. Contoh lain adalah saat membela Islam dalam peperangan, beliau pun turut serta angkat senjata bersama para sahabat. Padahal jika mau meminta, gunung pun bisa ditimpakan ke musuh-musuh Nabi. Di tengah perang, orang yang disayangi Allah itu tetap mengalami luka layaknya manusia biasa.
Dalam konteks ini Allah berpesan untuk tidak hanya mengandalkan Allah semata sebelum manusia berusaha semaksimal mungkin. Prof. Quraish katakan “dapat dipastikan tidak lengkap pemahaman Islam seseorang jika ia hanya berpangku tangan tanpa disertai dengan usaha.”
Salah satu upaya kita dalam menghadapi wabah ini adalah dengan menahan diri untuk tidak keluar rumah (social distancing). dan bentuk kewaspadaan seperti ini, kata Prof. Quraish, adalah suatu ibadah tersendiri. Sikap seperti ini sejalan dengan tujuan agama, yakni hifz nafs:, sbagai upaya menjaga diri agar terhindar dari sesuatu yang dapat membahayakan fisik dan kesehatan.
Baca Juga: Berikut Doa dan Amalan dari Gus Mus Sebagai Ikhtiar Menghadapi Corona
Bahkan apabila seseorang tak mengikuti himbauan pemerintah sehingga ia keluar rumah, itu dapat menjadi suatu kedurhakaannya kepada Allah. Karena ia tak menjaga diri dan hal itu dapat menyebakan dirinya terjangkit, bahkan menularkannya kepada orang lain. Sebab, agama sangat mengedepankan tanggung jawab sosial.
Salah satu prinsip dalam Islam adalah persoalan agama bisa ditunda demi mengedepankan kemanusiaan, bahkan kebinatangan. Ini dapat terjadi jika seseorang memiliki air yang sangat terbatas untuk keperluan berwudhu, sementara ia berpapasan dengan seekor anjing yang kehausan. Maka dalam hal ini agama menganjurkan lebih mengutamakan untuk memberi air minum kepada anjing.
Hal ini tidak lain menunjukkan kepada kita bahwa cerminan agama yang sesungguhnya, dapat muncul saat seseorang memiliki akhlak terhadap sesama bahkan pada binatang. Saat inilah nilai sosial sebagai terjemahan ibadah seseorang dinilai.
Wallahu a’lam.