Ada sebuah informasi medis yang penting dan penulis kutip dari Federasi Palang Merah Internasional, Amanda Mc Clelland, saat menangani wabah kasus Ebola, yang pernah melanda tiga negara di dunia tahun 2013 dan 2016.Informasi itu menyatakan, “Praktek pemakaman tradisional yang memandikan dan menyentuh jenazah adalah cara utama dari penularan Ebola selama berjangkitnya wabah di tiga negara itu.”
Lebih lanjut, ia menyatakan, “Virus dapat menyebabkan kejadian penularan besar-besaran dimana kami mengamati ada rantai penyebaran yang sangat luas jauh di luar kasus penyebaran virus Ebola di tengah masyarkat ketika si penderita masih hidup,” ujarnya. “Jadi tingkat infeksi di dalam tubuh mengalami peningkatan. Kekuatan penularan virus berada pada puncaknya ketika pengidap virus tersebut meninggal. Jadi, kami lihat ada peningkatan tingkat penularan dari tubuh dibandingkan ketika si pengidap virus masih hidup.” Pernyataan dari Amanda Mc Clelland ini dimuat di salah satu media daring online, Voa Indonesia.
Pernyataan dari Amanda Mc Cleland ini, sebenarnya hanya merupakan sebuah bagi lembaga Palang Merah Internasional, agar bersikap hati-hati dalam melakukan pertolongan kepada penderita wabah yang diakibatkan virus Ebola. Dan informasi ini tidak ada sangkut pautnya dengan agama tertentu atau praktik masyarakat tertentu. Namun, berdasarkan pengalamannya di lapangan, ia menyampaikan mengenai hal penting yang terjadi dan menimpa beberapa sukarelawan di lapangan.
Walhasil, jika laporan itu juga menyentuh wilayah pemakaman tradisional yang melibatkan pemandian dan perawatan jenazah, berarti juga informasi itu secara tidak langsung bersinggungan dengan salah satu praktik yang terjadi pada umat Islam. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Islam ada aturan mengenai hak mayit atas orang yang masih hidup menyangkut 4 hal, yaitu: dimandikan, dikafani, disholati dan dimakamkan.
Itu sebabnya, maka perlu memberikan sedikitnya informasi kepada masyarakat, dengan tetap mempertimbangkan keduanya, yaitu: 1) tidak meninggalkan hak mayat muslim yang turut menjadi korban wabah, dan 2) tetap memperhatikan rekomendasi dan informasi dari para dokter.
Tujuan dari mempertimbangkan keduanya, adalah untuk menarik kemaslahatan bagi masyarakat lain yang tidak terkena wabah, khususnya: a) bagi pelaku yang memandikan jenazah, b) bagi petugas medis yang bersentuhan langsung dengan jenazah, c) bagi keluarga mayat yang masih sehat dan tidak menjadi korban wabah sehingga tetap terjaga kesehatannya, d) bagi masyarakat lain yang turut terlibat dalam proses memandikan, mengkafani, menshalati hingga menguburkan mayit.
لاضرر ولاضرار
“Tidak membahayakan diri dan orang lain”
Ada sejumlah pandangan mengenai beberapa praktik memandikan jenazah dalam Islam, khususnya bila kondisi mayat tidak dalam kondisi normal. Maksud dari tidak dalam normal adalah, mayat tersebut merupakan kasus terbakar, korban tenggelam, kecelakaan, atau bahkan terkena wabah menular. Pandangan ini didasarkan pada beberapa hasil identifikasi menurut bisa atau tidaknya mayit dimandikan, sehingga perlu dilakukan tajhiz mayyit menurut kadar memungkinkan dilakukan.
Pertama, mayat dalam kondisi masih bisa dimandikan
Gambaran dari kondisi mayat bisa dimandikan adalah bilamana anggota badannya masih utuh, akan tetapi tidak mungkin untuk dilakukan dalku (membersihkan mayat). Misalnya, untuk kasus mayat yang gosong karena terbakar, namun jasadnya masih utuh.
Menghadapi mayat seperti ini, menurut kalangan ulama dari Madzhab Hanafi, maka cara memandikannya cukup dengan disiram air sebanyak satu tuangan. Kadar menuangkannya harus hati-hati sekira badan mayit tidak sampai terlepas dari tempatnya.
والمنتفخ الذي تعذر مسه يصب عليه الماء
“Bagi mayat yang badannya gosong sehingga udzur untuk disentuh, maka cukup dengan dituangkan air padanya.” (Muraqiy al-Falakh, halaman 224)
Pandangan ini juga diikuti oleh Ulama kalangan Malikiyah sebagaimana termaktub dalam kitab Al-‘Inayah Syarhu al-Bidayah, Juz 16, halaman 261, dan ulama kalangan Syafi’iyah, seperti Al-Rafii dalam Kitab Syarh al-Kabir li al-Rafii, Juz 4, halaman 410 dan al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz, 5, halaman 178.
Kedua, mayat dalam kondisi tidak bisa dimandikan
Maksud dari kondisi tidak bisa dimandikan adalah disebabkan karena kondisinya hancur, sehingga bila dituangi air, maka justru anggota-anggota tubuhnya terlepas satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini, maka cara melakukan penanganan terhadap mayat adalah dengan ditayamumi.
إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غُسِّل لتَهَرَّى، لم يُغَسَّل بل يُيَمَّم ، وهذا التيمم واجب ؛ لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة ، فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء إلى التيمم كغسل الجنابة ، ولو كان ملدوغاً بحيث لو غُسَّل لتَهَرَّى أو خيف على الغاسل يُمِّم لما ذكرناه
“Bila sulit memandikan mayat sebab ketiadaan air atau mayit gosong sebab terbakar, dengan sekira jika dimandikan justru berakibat merusak, maka ia tidak dimandikan, melainkan cukup ditayamumi. Hukum mentayamumi ini adalah wajib, karena tayamum menjadi wasilah bagi penyucian yang tidak ada kaitannya dengan menghilangkan najis. Kewajiban berpindah pada mentayamumi ini juga berlaku bagi pihak yang tidak bisa tersentuh air, seperti layaknya kasus jinabat. Meskipun kondisi mayat itu hancur, dengan sekira bila dimandikan maka menjadi terkelupas, atau timbul kekhawatiran bagi orang yang memandikannya, maka cukup dengan mentayamumkannya, sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5, halaman 178 dan I’anatu al-Thalibin, Juz 2, halaman 127).
Ketiga, untuk kondisi mayit yang masih bisa dimandikan akan tetapi berbahaya karena timbulnya kekhawatiran bagi yang memandikan, seperti tertular penyakit dan sejenisnya.
Jika menghadapi mayat dalam kondisi semacam ini, maka ada tahapan-tahapan yang penting untuk diupayakan, antara lain:
- Mengupayakan mayat agar bisa dimandikan. Misalnya dengan jalan petugasnya memakai perlengkapan yang dibenarkan secara medis dan memenuhi standar keamanan dan kesehatan
- Mengkondisikan mayat untuk dimandikan di tempat yang khusus dan tidak membahayakan bagi orang lain, seperti sebab percikan airnya atau yang semisalnya
- Bila dua prosedur di atas tidak bisa dilakukan, maka solusi terakhir adalah dengan jalan mentayammumkannya. Akan tetapi, bagi pihak yang mentayammumkan, hendaknya juga tetap memakai prosedur baku yang memenuhi standar kesehatan.
Dasar hukum dari pelaksanaan ini adalah sebagaimana yang disampaikan oleh al-Rafii dalam Syarhu al-Kabir dan mendapat dukungan dari al-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, yang menyatakan:
وصب على مجروح أمكن الصَّب عليه من غير خشية تقطُّعٍ أو تزلعٍ ماءٌ من غير ذلك ؛ كمجدور ونحوه ، فيُصبُّ الماء عليه إن لم يَخَفْ تزلُّعه أو تقطُّعه فإن لم يُمكن بأن خيف ما ذَكَرَ يُمِّمَ
“Cukup dituangkan air pada mayat dengan wabah menular sekedar kemampuan menuangkannya, tanpa unsur khawatir terlepasnya anggota badan mayat, atau dirusakkan oleh air, dan semacamnya. Seperti orang yang tertimpa cacar misalnya, maka cukup dituangkan air ke badan mayat, jika tidak takut rusaknya badan mayat atau terpotongnya. Namun, jika khawatir lepas, atau rusaknya mayat, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka ditayamumi.” (Al-Syarhu al-Kabir li al-Rafii, Juz 4, halaman 410).
Walhasil, mayat muslim adalah wajib untuk dimandikan karena memandikan adalah merupakan perintah nash. Akan tetapi, pelaksanaan kewajiban, juga hendaknya tetap memperhatikan standart prosedur keamanan, karena ada nash juga yang melarang seseorang untuk menjerumuskan diri dalam kerusakan.