Seorang sarjanawan Belanda pada abad ke 19 pernah melaporkan akan peran penting dunia pesantren terhadap perkembangan sufi di tanah air. Dalam laporan ini disampaikan bahwa aspek moral, akhlak, dan tasawuf merupakan bagian terpenting yang diajarkan dalam kurikulum pesantren kala itu. Sarana pembinaan ketiga aspek itu dilakukan melalui ajaran dan praktik thariqah, khususnya bagi santri-santri yang tidak menetap di pondok. Pembina aktifitas terakhir ini disebut mursyid atau guru sufi yang masyhur dan diikuti oleh ratusan bahkan ribuan santri yang sudah cukup usia.
Catatan-catatan ini setidaknya menggambarkan, betapa peran lembaga-lembaga pendidikan pesantren di Indonesia (bahkan Nusantara) adalah cukup besar dan diakui sejak lama dalam naskah karya ilmiah. Kebetulan catatan ini tersimpan di negeri Belanda dalam sebuah manuskrip yang diberi judul Het Mohammadaansche Godsdientonderwijs op Java en Madoera en de Daarbij Gebruikte Arabische Boeken. Penulisnya adalah L.W.C Van den Berg yang ditulis tahun 1886.
Setelah catatan itu, tidak banyak studi tentang pesantren yang dilakukan, khususnya yang berskala internasional, kecuali hanya tiga saja, yaitu The Pesantren Tradition oleh Zamakhsyari Dhofier (1980), The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teachings oleh Abdurrahman Mas’ud (1997) yang ditulis dalam bentuk karya tulis disertasi Ph.D, dan ketiga berjudul Peaceful Jihad oleh Ronald Alan Luken-Bull (1997) yang juga berupa karya disertasi. Dalam tiga karya ilmiah terakhir ini setidaknya memberi catatan bahwa pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam telah mampu membuktikan keberadaan dan keberhasilannya dalam membangun dan meningkatkan sumberdaya manusia (human resources development).
Dari kesekian catatan itu, catatan yang terpenting adalah bahwa kebanyakan pesantren ini dulunya didirikan bermula dari cikal bakal lembaga pendidikan al-Qur’an saja. Di sini santri digembleng untuk bisa membaca, menghafal, memahami al-Qur’an. Namun, selang beberapa waktu kemudian, lembaga itu berubah menjadi sebuah pesantren yang didalamnya memiliki struktur kurikulum pendidikan yang justru saat itu nusantara belum mengenalnya. Kurikulum yang berkembang di pesantren ini adalah kurikulum pembelajaran kitab kuning.
Perkembangan berikutnya adalah pesantren yang memiliki pola pembelajaran dan kurikulum semacam, ternyata menghasilkan banyak tokoh dan pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Tidak berhenti sampai di situ, pesantren ternyata menghasilkan pengaruh terhadap warna dan corak kehidupan masyarakat. Hebatnya lagi, corak yang diberikan ini tidak hanya terhenti pada lingkup masyarakat sekeliling pesantren berada, melainkan juga terhadap masyarakat tempat di mana santri berasal dan perlahan menyebar ke seantero wilayah nusantara.
Menariknya, pengaruh ini tidak saja meningkatkan taraf hidup dan mutu budaya masyarakat, melainkan juga mampu menjadi “benteng yang kokoh” dari gempuran gelombang budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an dan khususnya nilai-nilai ilahiyah. Fakta ini merupakan catatan sejarah tersendiri dan sekaligus menjadi bagian dari prestasi pesantren dalam membentuk kultur dan sekaligus benteng pertahanan awal terhadap nilai-nilai religius.
Persoalannya kemudian adalah apakah prestasi dari dunia pesantren ini mampu dipertahankan dan ditingkatkan di masa depan? Gambaran dari masa depan ini adalah suatu masa yang mana saat itu kita berada di tengah kehidupan pasar bebas. Pada masa itu, bukan hanya komoditas ekonomi yang bebas masuk ke pasaran domestik, melainkan juga budaya asing yang bisa mempengaruhi dan mengubah kultur budaya masyarakat yang sudah mapan ini. Inilah masalah yang perlu dijawab itu. Namun, dengan melihat gelombang arus perubahan yang terjadi di dunia pesantren dewasa ini, nampaknya kita perlu optimis bahwa pesantren sudah berjuang dalam meresponnya.
Adanya arus globalisasi dan modernisasi, sepertinya menjadi pemicu bagi kalangan Kyai untuk melakukan jihad dalam damai. Bagaimana jihad damai diterapkan? Berikut ini gambarannya.
Ketika media elektronik sudah mulai menggejala diakses oleh masyarakat, pihak dunia pesantren ternyata meresponnya lewat dunia pendidikan. Sistem pendidikan yang dibentuk tidak lagi memakai sistem lama dengan berbekal kajian klasik. Mereka merespon dengan bersikap terbuka (inklusif) terhadap media tersebut. Sikap inklusif ini sejatinya bukan hal baru bagi pesantren. Sejatinya sifat inklusif ini sudah menjadi tabiat dasar pesantren dalam memberi respon. Standar utama inklusifitas pesantren ini adalah status mujma’ ‘alaih yang disepakati ulama terdahulu, yaitu stabilitas masyarakat dan ke-Indonesia-an yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan dan identitas keberagamaan.
Berbicara soal keterbukaan, sudah barang pasti tidak bisa meninggalkan tema-tema kemajemukan (keberagaman), toleransi dan demokrasi. Konsep toleransi dan kemajemukan dunia pesantren cukup jelas, yaitu menjaga terlaksananya maqashid al-syari’ah berupa menjaga agama, jiwa, harta, keluarga, akal sehat dan kehormatan. Upaya menjaga maqashid ini merupakan hal yang wajib bagi dunia pesantren.
Lantas, apa yang menjadi tolok ukur dari sikap terbuka (inklusivisme) dunia pesantren ini? Sebenarnya tolok ukur ini ada dalam satu pertanyaan penting, yaitu apakah dunia pesantren selama ini memaknai Islam dengan kekerasan, ataukah dengan perdamaian? Jika dijawab dengan kekerasan, maka sudah barang tentu hal ini adalah gambaran bahwa pesantren sangat jauh dari inklusivisme.
Namun, apabila dijawab sebaliknya, misalnya bahwa agama itu adalah rahmah, senyum ramah, serta damai, itu menandakan bahwa inklusivitas adalah merupakan bagian dari ideologi pesantren dan sekaligus merupakan rumah. Buktinya apa? Dapat dilihat di lapangan, bahwa pendidikan pesantren selama ini justru steril dari ideologi-ideologi radikalisme. Inilah fakta jihad damai dari pesantren yang merupakan indikasi dari sikap inklusivitas pesantren menghadapi era globalisasi.
Ada fakta lain dari sikap inklusivisme pesantren adalah jumlah pesantren di seluruh Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan tren peningkatan. Mau tak mau tren ini sejatinya menggambarkan indikasi politik jihad damai yang dikumandangkan oleh pesantren itu. Meskipun juga tidak jarang dijumpai bahwa belakangan ini disinyalir banyak pesantren yang mengalami krisis kepemimpinan dan manajerial yang serius. Biasanya krisis ini muncul sepeninggal kyai atau pendiri pesantren disebabkan keturunan kyai tidak ada yang mampu melanjutkan tongkat estafet perjuangan yang ditinggalkan.
Bagaimana pesantren mengatasi krisis tersebut? Dunia pesantren dewasa ini rupanya telah mengkonversi pola manajerial lembaganya. Jika dulu, pola manajerial pesantren dipimpin langsung secara total oleh sosok pengasuh, akan tetapi sekarang, beberapa unsur kelembagaan yang ada di pesantren sudah diserahkan perjalanannya pada pihak-pihak tertentu yang dipercaya lewat rapat yayasan. Jadi, ada perubahan sistem dari sentralistik menjadi semi otonom. Akhirnya, pesantren-pesantren ini ditemukan masih eksis hingga sekarang bahkan bisa tetap menjaga marwahnya dengan visi yang kuat dan prospektif kedepannya. Ini juga sekaligus merupakan bukti dari sikap inklusif dunia pesantren yang tidak bisa kita nafikan begitu saja.
Akhiran, pesantren merupakan ujung tombak dari perubahan dan penjagaan nilai-nilai religius dan kultur di masyarakat. Tidak hanya di masa yang lalu, akan tetapi juga di masa yang akan datang. Untuk menjaga perannya itu, pesantren menyikapinya dengan bersikap terbuka dan toleran terhadap perubahan. Tidak hanya perubahan kurikulum, melainkan juga manajerial. Semua ini adalah bukti inklusivitas dunia pesantren di era globalisasi yang tengah berlangsung dewasa ini.