Dalam satu ceramah yang viral, Gur Nur menyebut bahwa ulama adalah makhluk apapun yang takut kepada Allah. Definisi dari Gus Nur itu merujuk pada surat Fatir ayat 28.
Begini terjemahannya:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Batasan yang dibuat oleh Gus Nur membuat kata ulama layak disematkan pada apa saja. Yang penting takut kepada Allah. Ular, ayam, kambing, sampai gunung sekalipun, bisa disebut ulama.
Orang-orang menertawakan ceramahnya. Sedikit yang bisa mengambil hikmah dan pelajaran. Padahal dengan ceramahnya telah tersingkap banyak hal misterius yang untuk beberapa tahun tidak pernah terungkap.
Apa saja?
Pertama, misteri pamali dalam menyantap ayam. Bagi masyarakat jawa tulen, menyantap ayam itu ada tata-kramanya. Bagian-bagian tertentu hanya boleh disantap oleh orang yang sudah sepuh.
Sayap ayam boleh dimakan oleh semua. Tapi bagian kecil dari sayap yang isinya 85 persen tulang itu, tidak boleh dimakan orang yang belum kawin. Namanya tlampik. Sebagian aksen jawa menyebutnya tampik.
Konon, perjaka atau perawan yang melanggar, akan sulit mendapat jodoh. Setiap kali lamaran akan ditampik (ditolak). Bertahun-tahun saya dilarang Bapak saya untuk menyantap itu. Sebelum akhirnya boleh setelah menikah.
Yang lebih aneh adalah brutu alias (maaf) silit pitik, pantat ayam. Pokoknya selain orang tua tidak boleh ada yang makan. Bikin kualat , istilahnya.
Bertahun-tahun ia menjadi misteri, paling tidak bagi saya. Mosok pantat ayam bisa ngualati kayak gitu?
Nah, belakangan ini terungkap. Tentu berkat Gus Nur. Jangan-jangan betul ada ulama dari kalangan ayam. Sehingga bagian tertentu dari ayam, dapat menimbulkan berkah bagi sebagian orang, sekaligus malapetaka bagi sebagian lain. Terpecahkan sudah!
Misteri kedua adalah soal usulan RUU Perlindungan Ulama yang diajukan anggota dewan dari partai Islam. Usul ini tidak mendapat dukungan dari ormas Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, adanya RUU itu dapat menimbulkan diskriminasi pada kalangan non-ulama.
Saya pikir memang benar. Sebab kita tak lagi menganut kasta masyarakat layaknya jaman baheula. Tidak ada lagi kelas masyarakat Brahmana, Ksatria, maupun Sudra.
Nah, Gus Nur lagi-lagi menawarkan terobosan yang tak pernah terbesit dalam pikiran akademisi maupun politisi manapun. Yaitu memperluas makna ulama.
Bayangkan jika penafsiran Gus Nur tadi bisa menjadi arus utama. Perjuangan para politikus akan sedikit lebih ringan.
Pasalnya, RUU Perlindungan Ulama akan mencakup pula perlindungan terhadap hewan dan alam. Kalau begini, kampanye agar RUU itu bisa goal di parlemen bisa menempuh jalur alternatif. Dengan meminjam lidah para pecinta binatang dan pecinta alam. Sudah barang tentu pengusul RUU tadi mendapat tambahan amunisi.
Bisa jadi, Gus Nur telah memberi berkah pada politisi melalu jalan yang tak disangka-sangka.
Misteri yang terakhir adalah soal perumusan ilmu Nahwu (gramatika Arab). Masyhur di kalangan sarjana bahasa Arab bahwa salah satu sebab dicetuskannya ilmu Nahwu adalah ayat 28 dari surat Fatir di atas.
Masyhur itu artinya terkenal. Menjadi cerita dari setiap generasi. Sahih atau tidaknya perlu diteliti para sejarawan. Sahih atau tidaknya itulah yang juga masih menjadi pertanyaan di benak saya dan teman-teman saya dulu.
Dalam cerita yang masyhur tersebut, ada sejumlah orang yang salah memaknai Al Qur’an. Dia membaca makna ayat tersebut dengan terbalik.
Harusnya dimaknai, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. Menjadi “Sesungguhnya Allah takut terhadap ulama”.
Kesalahan itu bisa terjadi karena penggunaan “harakat” yang tidak tepat. Bagi Anda yang kurang akrab dengan bahasa Arab, perlu diketahui bahwa peletakan harakat yang salah bisa menimbulkan kesalahan makna. Kata yang semestinya menjadi subyek bisa berubah menjadi obyek.
Nah, mendengar orang-orang salah memaknai Al Qur’an itu, para ahli lantas merumuskan Nahwu. Menandai mana kata yang menempati posisi “subyek” dan mana yang “obyek”. Mirip dengan pelajaran SPOK bahasa Indonesia. Lalu menjadi sebuah disiplin ilmu yang akrab di telinga pembelajar bahasa Arab.
Sebelumnya cerita ini jadi misteri bagi saya. Hla kok bisa, orang menganggap Allah itu takut pada ulama? Masa’ dicerna pakai hati saja tidak cukup? Masa’ ilmu Nahwu sampai harus turun tangan?
Akhirnya, misteri tersebut terkuak. Lagi-lagi berkat Gus Nur.
Ternyata pemaknaan terhadap Al Qur’an itu memang butuh ilmu “alat”. Butuh modal pengetahuan akan Nahwu dan tetek bengeknya. Butuh ilmu yang bisa mengurai mana pembuka kalimat dan mana akhir kalimat. Butuh ilmu untuk tentukan siyaq atau konteks kalimat.
Memaknai Al Qur’an ternyata tidak cukup dengan membaca terjemahan. Kadang terjemahannya sudah betul tapi “cocoklogi”nya yang salah. Gus Nur membuktikan itu semua.
Tingkah Gus Nur itulah yang membuat saya meyakini bahwa cerita soal salah makna Al Qur’an di atas adalah sahih. Kini saya bisa tidur dengan tenang.